Kesenjangan Bahasa Pendidikan
Maryanto, Pemerhati
Politik Bahasa
SUMBER
: KORAN TEMPO, 01 Mei 2012
Sulit bagi anak untuk mengakses pendidikan
tanpa bahasa sendiri. Akses pendidikan bakal terputus-putus apabila para
pendidik dan penyelenggara pendidikan tidak mau repot-repot memanfaatkan aneka
ragam bahasa yang dibawa anak ke sekolah dari lingkungan rumah masing-masing.
Keanekaragaman bahasa anak merupakan tantangan dan--sekaligus--peluang
meningkatkan mutu layanan pendidikan.
Layanan pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah pusat di Jakarta baru-baru ini memasang tema “Prestasi Yes, Jujur
Harus”. Tema pendidikan nasional tersebut dibuat di Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) yang di lokasi sekitarnya sudah terjadi kesenjangan
pemakaian bahasa di ruang publik. Di sekitar Kemendikbud terdapat pusat belanja
Plaza Senayan. Ada pula Ratu Plaza, yang konstruksi namanya dibiarkan tidak
sesuai dengan bahasa Indonesia.
Slogan “Prestasi Yes, Jujur Harus” merupakan
sebuah contoh bahasa pendidikan yang bisa menciptakan distorsi makna bagi para
peserta didik. Bagi mereka yang terdidik di daerah perkotaan, tema pendidikan
itu mungkin tidak bermasalah untuk dipahami, kecuali ada masalah kerusakan
karakter berbahasa Indonesia. Di daerah perbatasan terdepan, daerah pedesaan
tertinggal, atau daerah termiskin--tempat sebagian besar anak Indonesia tumbuh
dan berkembang--kata-kata yes dan harus tidak semestinya
dituturkan sebagai bahasa rumah. Bentuk bahasa pendidikan itu akan menyulitkan.
Bahasa Transisi
Prinsip berprestasi dengan jujur tentu
sudah mulai ditanamkan oleh setiap orang tua kepada anak di rumah. Begitu anak
masuk sekolah--tanpa bahasa transisi--akan terputuslah hubungan komunikasi anak
dengan orang tua di rumah. Anak akan merasa dipaksa meloncat, meninggalkan
kehidupan rumah begitu saja, dan memasuki kehidupan sekolah yang benar-benar
baru, terutama budaya berbahasa yang serba baru. Ini sangat berbahaya bagi
anak.
Lebih berbahaya--sekali lagi bagi
anak--ketika dunia pendidikan sekolah sudah terkooptasi menggunakan bahasa yang
sangat asing dalam kehidupan berbahasa sehari-hari di rumah. Anak akan terjebak
hanya beretorika: “Prestasi Yes, Jujur Harus”. Sementara itu, nilai kejujuran
sulit tertanam pada diri anak di sekolah. Jika pendidikan nilai ini gagal, anak
akan lebih terlatih bertindak lancung dan--sebagai salah satu akibatnya--tidak
akan tergerak ikut mengakses pendidikan antikorupsi.
Tema “kejujuran untuk berprestasi” muncul
dengan latar belakang adanya kecurangan praktek pendidikan dalam ujian
nasional. Dengan tema pendidikan itu, para penyelenggara pendidikan Indonesia
beramai-ramai mengajak pendidik dan peserta didik agar bertindak jujur untuk
meraih prestasi. Apalah arti prestasi kalau diraih dengan curang. Ajakan
Kemendikbud tersebut tentu akan lebih mudah diikuti oleh anak sekolah apabila
dikomunikasikan, terutama di tingkat dasar, dengan menggunakan bahasa transisi
yang cocok di setiap daerah.
Secara linguistik, keharusan bertindak jujur
tersebut memperlihatkan sikap pengguna bahasa atas tindak tutur yang diperbuat.
Tidak jarang penggunaan keterangan sikap mewarnai perbuatan berbahasa. Warna
bahasa yang berupa keterangan sikap, oleh para linguis, disebut modalitas yang
mencakupi bentuk epistemik dan deontik. Semua keterangan sikap merupakan
ungkapan pengolah rasa bahasa yang, jika dibina dengan baik, bisa jadi
pembentuk karakter berbahasa dan--tentunya--karakter berbangsa.
Bangsa Indonesia--yang keberadaannya digagas
(oleh M. Tabrani dkk pada Kongres Pemuda I, 2 Mei 1926) dalam satu paket dengan
keberadaan bahasa Indonesia--sangat kaya akan pengungkap modalitas. Bukan hanya
dengan bentuk kata harus, modalitas deontik ini terungkap. Alih-alih harus,
pada orang Indonesia yang bersuku Minang, kata haruih lebih terbiasa
dituturkan, terutama di lingkungan rumah. Di lidah mereka, bentuk bahasa
Indonesia lokal akan terasa lebih bermakna. Bagi anak Minang, tentu akan lebih
mudah memahami bahasa pendidikan seperti ini: “Prestasi Iyo, Jujur Haruih”.
Beda halnya dengan anak Sunda: “Prestasi Nya,
Jujur Mah Kudu”. Di lidah Sunda, ungkapan itu--selain mudah terpahami--akan
terasa lebih kuat menanamkan budaya bertindak jujur untuk meraih prestasi
sekolah. Adapun untuk anak sekolah dasar di daerah suku Jawa, buat saja tulisan
slogan pendidikan: “Prestasi Iya, Jujur Kudu”. Lain halnya dengan anak Bugis,
yang akan lebih mudah memahami dan mengamalkan ajakan seperti “Prestasi Iya,
Jujur Melo”. Ajaklah anak Batak berbahasa pendidikan dengan kultur Batak:
“Prestasi Olo, Jujur Ikkon”. Semua itu merupakan strategi komunikasi pendidikan
yang berbasis kearifan lokal.
Tampak tidak arif ketika kata yes
dipilih untuk membentuk bahasa pendidikan Indonesia dari tingkat nasional
hingga lokal. Bentuk modalitas epistemik itu ternyata terungkap beraneka ragam
di daerah, antara lain, iya, iye, iyo, olo, dan nya. Perbedaan
bahasa antar-daerah itu memperlihatkan kesenjangan bahasa yang dibawa anak ke
sekolah. Untuk menangani kesenjangan bahasa ini, para pembuat kebijakan
pendidikan--baik di tingkat nasional maupun lokal--perlu bertindak arif. Kalau
kata ya sekarang digunakan, bentuk bahasa nasional itu pun tidak bisa
dipaksakan untuk berkomunikasi dengan semua anak sekolah, terutama di sekolah
dasar.
Semua anak sekolah tidak bisa dipukul rata
dengan satu bentuk bahasa pendidikan. Bahasa pendidikan--sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Pasal 33) dan UU Nomor 24 Tahun 2009 mengenai Bahasa Negara (Pasal
29)--perlu dirancang secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan perkembangan
bahasa daerah pada anak. Secara khusus, untuk sekolah dasar, kesenjangan bahasa
pendidikan perlu diatasi dengan merencanakan bahasa transisi: memanfaatkan
korpus data bahasa daerah sebagai dasar penguasaan bahasa Indonesia.
Bahasa Guru
Bahasa pendidikan--jika dirancang dengan
mengharmonisasi tuntutan bahasa rumah dan bahasa sekolah--akan mempermudah
akses pendidikan. Rendahnya mutu pendidikan Indonesia sudah disumbang oleh
kurangnya perencanaan bahasa pendidikan. Pendidikan akan terlihat buruk ketika
bahasa guru--baik lisan maupun tulis--tidak terkendali. Tanpa bahasa guru yang
terkendali, tidak akan ada toleransi perbedaan bahasa anak. Kesenjangan bahasa
pada anak bukanlah kendala, melainkan fasilitas belajar di sekolah, sepanjang
guru mampu mengendalikan diri mengelola bahasa pendidikan.
Tanggal 2 Mei--hari lahirnya gagasan bahasa
Indonesia (dari M. Tabrani) dan gagasan pendidikan Indonesia (dari Ki Hajar
Dewantara)--merupakan momentum yang sangat tepat untuk mengevaluasi perencanaan
bahasa pendidikan di Indonesia. Sebagai lembaga perencana bahasa di lingkungan
Kemendikbud, Badan Bahasa (sebelumnya Pusat Bahasa) di Jakarta dan Balai Bahasa
di daerah perlu meningkatkan perannya ikut serta merencanakan bahasa
pendidikan, terutama peran mengendalikan bahasa guru di setiap daerah. Jika
peran itu dimainkan dengan baik, bahasa Indonesia sebagai bahasa negara juga
akan terjamin tidak makin tertinggal dari perkembangan tren demokrasi,
desentralisasi, dan multikulturalisme.
Pendidikan Indonesia dikatakan belum bermutu
tinggi atau bertaraf internasional bukan karena anak didiknya bodoh, juga bukan
karena anak-anak Indonesia tidak mahir berbahasa Inggris. Bahasa pendidikan
belum terencana dengan baik untuk mengatasi kesulitan akses pendidikan.
Kesenjangan bahasa pendidikan masih dibiarkan di sekolah. Ketika guru tidak
terkendali untuk berkomunikasi dengan bahasa yang cocok di setiap daerah,
materi pendidikan yang sesungguhnya mudah menjadi sulit, dan anak yang pandai
sekalipun bakal mengeluh. Uh, susah! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar