Rabu, 02 Mei 2012

Kesenjangan Bahasa Pendidikan


Kesenjangan Bahasa Pendidikan
Maryanto, Pemerhati Politik Bahasa
SUMBER : KORAN TEMPO, 01 Mei 2012


Sulit bagi anak untuk mengakses pendidikan tanpa bahasa sendiri. Akses pendidikan bakal terputus-putus apabila para pendidik dan penyelenggara pendidikan tidak mau repot-repot memanfaatkan aneka ragam bahasa yang dibawa anak ke sekolah dari lingkungan rumah masing-masing. Keanekaragaman bahasa anak merupakan tantangan dan--sekaligus--peluang meningkatkan mutu layanan pendidikan.

Layanan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat di Jakarta baru-baru ini memasang tema “Prestasi Yes, Jujur Harus”. Tema pendidikan nasional tersebut dibuat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang di lokasi sekitarnya sudah terjadi kesenjangan pemakaian bahasa di ruang publik. Di sekitar Kemendikbud terdapat pusat belanja Plaza Senayan. Ada pula Ratu Plaza, yang konstruksi namanya dibiarkan tidak sesuai dengan bahasa Indonesia.

Slogan “Prestasi Yes, Jujur Harus” merupakan sebuah contoh bahasa pendidikan yang bisa menciptakan distorsi makna bagi para peserta didik. Bagi mereka yang terdidik di daerah perkotaan, tema pendidikan itu mungkin tidak bermasalah untuk dipahami, kecuali ada masalah kerusakan karakter berbahasa Indonesia. Di daerah perbatasan terdepan, daerah pedesaan tertinggal, atau daerah termiskin--tempat sebagian besar anak Indonesia tumbuh dan berkembang--kata-kata yes dan harus tidak semestinya dituturkan sebagai bahasa rumah. Bentuk bahasa pendidikan itu akan menyulitkan.

Bahasa Transisi

Prinsip berprestasi dengan jujur tentu sudah mulai ditanamkan oleh setiap orang tua kepada anak di rumah. Begitu anak masuk sekolah--tanpa bahasa transisi--akan terputuslah hubungan komunikasi anak dengan orang tua di rumah. Anak akan merasa dipaksa meloncat, meninggalkan kehidupan rumah begitu saja, dan memasuki kehidupan sekolah yang benar-benar baru, terutama budaya berbahasa yang serba baru. Ini sangat berbahaya bagi anak.

Lebih berbahaya--sekali lagi bagi anak--ketika dunia pendidikan sekolah sudah terkooptasi menggunakan bahasa yang sangat asing dalam kehidupan berbahasa sehari-hari di rumah. Anak akan terjebak hanya beretorika: “Prestasi Yes, Jujur Harus”. Sementara itu, nilai kejujuran sulit tertanam pada diri anak di sekolah. Jika pendidikan nilai ini gagal, anak akan lebih terlatih bertindak lancung dan--sebagai salah satu akibatnya--tidak akan tergerak ikut mengakses pendidikan antikorupsi.

Tema “kejujuran untuk berprestasi” muncul dengan latar belakang adanya kecurangan praktek pendidikan dalam ujian nasional. Dengan tema pendidikan itu, para penyelenggara pendidikan Indonesia beramai-ramai mengajak pendidik dan peserta didik agar bertindak jujur untuk meraih prestasi. Apalah arti prestasi kalau diraih dengan curang. Ajakan Kemendikbud tersebut tentu akan lebih mudah diikuti oleh anak sekolah apabila dikomunikasikan, terutama di tingkat dasar, dengan menggunakan bahasa transisi yang cocok di setiap daerah.

Secara linguistik, keharusan bertindak jujur tersebut memperlihatkan sikap pengguna bahasa atas tindak tutur yang diperbuat. Tidak jarang penggunaan keterangan sikap mewarnai perbuatan berbahasa. Warna bahasa yang berupa keterangan sikap, oleh para linguis, disebut modalitas yang mencakupi bentuk epistemik dan deontik. Semua keterangan sikap merupakan ungkapan pengolah rasa bahasa yang, jika dibina dengan baik, bisa jadi pembentuk karakter berbahasa dan--tentunya--karakter berbangsa.

Bangsa Indonesia--yang keberadaannya digagas (oleh M. Tabrani dkk pada Kongres Pemuda I, 2 Mei 1926) dalam satu paket dengan keberadaan bahasa Indonesia--sangat kaya akan pengungkap modalitas. Bukan hanya dengan bentuk kata harus, modalitas deontik ini terungkap. Alih-alih harus, pada orang Indonesia yang bersuku Minang, kata haruih lebih terbiasa dituturkan, terutama di lingkungan rumah. Di lidah mereka, bentuk bahasa Indonesia lokal akan terasa lebih bermakna. Bagi anak Minang, tentu akan lebih mudah memahami bahasa pendidikan seperti ini: “Prestasi Iyo, Jujur Haruih”.

Beda halnya dengan anak Sunda: “Prestasi Nya, Jujur Mah Kudu”. Di lidah Sunda, ungkapan itu--selain mudah terpahami--akan terasa lebih kuat menanamkan budaya bertindak jujur untuk meraih prestasi sekolah. Adapun untuk anak sekolah dasar di daerah suku Jawa, buat saja tulisan slogan pendidikan: “Prestasi Iya, Jujur Kudu”. Lain halnya dengan anak Bugis, yang akan lebih mudah memahami dan mengamalkan ajakan seperti “Prestasi Iya, Jujur Melo”. Ajaklah anak Batak berbahasa pendidikan dengan kultur Batak: “Prestasi Olo, Jujur Ikkon”. Semua itu merupakan strategi komunikasi pendidikan yang berbasis kearifan lokal.

Tampak tidak arif ketika kata yes dipilih untuk membentuk bahasa pendidikan Indonesia dari tingkat nasional hingga lokal. Bentuk modalitas epistemik itu ternyata terungkap beraneka ragam di daerah, antara lain, iya, iye, iyo, olo, dan nya. Perbedaan bahasa antar-daerah itu memperlihatkan kesenjangan bahasa yang dibawa anak ke sekolah. Untuk menangani kesenjangan bahasa ini, para pembuat kebijakan pendidikan--baik di tingkat nasional maupun lokal--perlu bertindak arif. Kalau kata ya sekarang digunakan, bentuk bahasa nasional itu pun tidak bisa dipaksakan untuk berkomunikasi dengan semua anak sekolah, terutama di sekolah dasar.

Semua anak sekolah tidak bisa dipukul rata dengan satu bentuk bahasa pendidikan. Bahasa pendidikan--sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 33) dan UU Nomor 24 Tahun 2009 mengenai Bahasa Negara (Pasal 29)--perlu dirancang secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan perkembangan bahasa daerah pada anak. Secara khusus, untuk sekolah dasar, kesenjangan bahasa pendidikan perlu diatasi dengan merencanakan bahasa transisi: memanfaatkan korpus data bahasa daerah sebagai dasar penguasaan bahasa Indonesia.

Bahasa Guru

Bahasa pendidikan--jika dirancang dengan mengharmonisasi tuntutan bahasa rumah dan bahasa sekolah--akan mempermudah akses pendidikan. Rendahnya mutu pendidikan Indonesia sudah disumbang oleh kurangnya perencanaan bahasa pendidikan. Pendidikan akan terlihat buruk ketika bahasa guru--baik lisan maupun tulis--tidak terkendali. Tanpa bahasa guru yang terkendali, tidak akan ada toleransi perbedaan bahasa anak. Kesenjangan bahasa pada anak bukanlah kendala, melainkan fasilitas belajar di sekolah, sepanjang guru mampu mengendalikan diri mengelola bahasa pendidikan.

Tanggal 2 Mei--hari lahirnya gagasan bahasa Indonesia (dari M. Tabrani) dan gagasan pendidikan Indonesia (dari Ki Hajar Dewantara)--merupakan momentum yang sangat tepat untuk mengevaluasi perencanaan bahasa pendidikan di Indonesia. Sebagai lembaga perencana bahasa di lingkungan Kemendikbud, Badan Bahasa (sebelumnya Pusat Bahasa) di Jakarta dan Balai Bahasa di daerah perlu meningkatkan perannya ikut serta merencanakan bahasa pendidikan, terutama peran mengendalikan bahasa guru di setiap daerah. Jika peran itu dimainkan dengan baik, bahasa Indonesia sebagai bahasa negara juga akan terjamin tidak makin tertinggal dari perkembangan tren demokrasi, desentralisasi, dan multikulturalisme.

Pendidikan Indonesia dikatakan belum bermutu tinggi atau bertaraf internasional bukan karena anak didiknya bodoh, juga bukan karena anak-anak Indonesia tidak mahir berbahasa Inggris. Bahasa pendidikan belum terencana dengan baik untuk mengatasi kesulitan akses pendidikan. Kesenjangan bahasa pendidikan masih dibiarkan di sekolah. Ketika guru tidak terkendali untuk berkomunikasi dengan bahasa yang cocok di setiap daerah, materi pendidikan yang sesungguhnya mudah menjadi sulit, dan anak yang pandai sekalipun bakal mengeluh. Uh, susah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar