Keamanan Energi
Indonesia?
Makmur Keliat; Pengajar
Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI
SUMBER : KOMPAS, 10
Mei 2012
Haruskah Indonesia melanjutkan kebijakan
pro-pasar dan swastanisasi di sektor energi? Haruskah mekanisme pasar terus
didorong agar harga energi domestik sesuai harga pasar internasional?
Konsep keamanan energi tampaknya bisa menjadi
jawabannya. Pada dasarnya konsep ini bertujuan untuk menciptakan suatu
rekonsiliasi atau jalan tengah dari dua persoalan besar ekonomi modern:
bagaimana memenuhi kebutuhan energi dan mekanisme penetapan harganya. Dua
persoalan besar ini terkait ketersediaan (availability)
dan keterjangkauan (affordability).
Keamanan energi menjadi tidak sempurna jika pasokan tersedia, tetapi harganya
tidak terjangkau. Demikian juga sebaliknya, keamanan energi jauh dari ideal
jika harga satuan energi rendah, tetapi jumlahnya tidak mencukupi.
Dalam hal ini, kajian Angus Madison dapat
menjadi rujukan. Dalam Contours of The World Economy, 1-2030 AD Essays in
Macro-Economic History (2007), Madison menyatakan, peradaban modern
mengakibatkan peningkatan konsumsi energi yang luar biasa. Jika tahun 1820
total konsumsi energi 221,1 juta ton, tahun 2003 meningkat 48 kali lipat.
Sumber energi yang berasal dari bahan bakar fosil (fossil fuel), seperti minyak, batubara, dan gas, menyumbang
peningkatan terbesar, 650 kali lipat, karena harganya lebih rendah dibandingkan
dengan komoditas energi lain. Madison menegaskan, ketersediaan dan harga energi
yang terjangkau merupakan prasyarat untuk menumbuhkembangkan perekonomian
modern.
Karena itu, secara hipotetik dapat dinyatakan
bahwa kecepatan transisi suatu masyarakat untuk memasuki perekonomian modern
sangat berbaku kait dengan tingkat konsumsi energi per kapitanya. Semakin besar
tingkat konsumsi energi per kapita, biasanya juga semakin maju masyarakatnya.
Dengan indikator setara kg minyak (kg of oil equivalent) per tahun, Bank
Dunia menunjukkan, konsumsi energi per kapita di Amerika Serikat saat ini di
atas 7.000 kg. Inggris, Perancis, Jerman, dan Jepang 4.000 kg. Angka-angka ini
sangat jauh di atas Indonesia, yang masih 850 kg. Bahkan, angka konsumsi per
kapita Indonesia juga masih sangat kecil jika dibandingkan dengan negara-negara
tetangga, seperti Singapura (3.700 kg), Malaysia (2.500 kg), dan Thailand
(1.500 kg).
Serpihan data statistik ini mengindikasikan
bahwa konsumsi energi yang tinggi bukanlah sesuatu yang negatif, melainkan
prasyarat mutlak untuk pertumbuhan ekonomi. Karena pertumbuhan ekonomi telah
menjadi ideologi mainstream, hampir semua proyeksi mengarah pada peningkatan
konsumsi energi ini. Proyeksi Amerika Serikat tahun lalu menunjukkan, pada 2035
konsumsi energi dunia akan meningkat 53 persen. Peningkatan ini terutama
disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi dua negara dengan penduduk terbesar di
dunia: China (1,3 miliar) dan India (1,1 miliar).
Dana Moneter Internasional (IMF) telah
menawarkan suatu formula untuk memproyeksikan hubungan antara peningkatan
konsumsi energi dan peningkatan pertumbuhan itu. World Economic Outlook April 2011 menyebutkan, peningkatan 1 persen
dari pendapatan domestik bruto (PDB) per kapita akan meningkatkan konsumsi
energi per kapita 1 persen juga. Jika rasio 1:1 ini dijadikan rujukan,
setidaknya kita bisa menghitung berapa konsumsi energi per kapita negeri ini
tahun 2025.
Berdasarkan dokumen Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia yang dibuat pemerintah Mei tahun lalu,
PDB per kapita Indonesia tahun 2025 meningkat menjadi sekitar 15.000 dollar AS.
Ini berarti peningkatan lima kali lipat PDB per kapita dibandingkan dengan
tahun 2010 yang berada pada angka 3.000 dollar AS.
Konsekuensinya, konsumsi energi per kapita
Indonesia akan meningkat pula. Jika konsumsi energi kita tahun 2010 sebesar 850
kg per setara minyak, pada 2025 konsumsi energi per kapita akan meningkat lima
kali lipat pula menjadi 4.200 kg. Angka tingkat konsumsi energi per kapita 2025
ini hampir setara dengan konsumsi energi per kapita di Perancis, Inggris,
Jerman, dan Jepang saat ini. Namun, mengingat proyeksi yang ada menunjukkan
jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 275 juta jiwa pada 2035, konsumsi
energi Indonesia secara agregat tentu saja akan jauh lebih besar dibandingkan
dengan konsumsi energi empat negara maju tersebut.
Komoditas Bisnis
Konsumsi energi yang meningkat memerlukan
kebijakan keamanan energi. Ada dua paradigma yang dapat dirujuk. Pertama,
memberlakukan energi sebagai komoditas pasar. Kedua, memandangnya sebagai
komoditas strategis.
Paradigma pertama cenderung pada pendekatan
pasar untuk menangani persoalan keamanan energi. Ini berarti persoalan
ketersediaan dan harga diselesaikan dengan berbagai produk kebijakan yang
meminimalkan peran negara. Sebaliknya, paradigma energi sebagai komoditas
strategis sangat berseberangan dengan rekomendasi ini.
Ada beberapa argumen yang mendukung energi
sebagai komoditas bisnis. Pertama, harga yang terlalu tinggi mendorong upaya
mencari substitusi. Misalnya, dorongan membuat teknologi energi surya akan
semakin besar jika harga BBM terus meningkat sehingga tak lagi terjangkau.
Implikasinya, bauran energi (energy mix) diasumsikan terjadi otomatis sebagai
akibat dari kalkulasi harga.
Kedua, intervensi negara—baik dalam produksi
maupun penentuan harga energi—diyakini hanya menghasilkan inefisiensi, korupsi,
dan pemborosan keuangan negara. Implikasinya, kerangka paradigma ini akan
selalu merekomendasikan kebijakan keamanan energi yang memperkuat kompetisi.
Caranya, dengan memperlakukan sama antara badan usaha negara dan badan usaha
swasta, baik nasional maupun asing.
Ketiga, peningkatan harga energi sebagai
akibat dari penghapusan subsidi harga dianggap tidak berpengaruh signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi. Keyakinan ini bertumpu pada sejumlah kajian IMF,
yang salah satunya menyebutkan bahwa peningkatan harga minyak 10 persen hanya
mengakibatkan pengurangan permintaan minyak 10 persen.
Untuk jangka panjang—setelah 20
tahun—peningkatan harga minyak 10 persen akan mengurangi permintaan minyak 0,7
persen. Intinya adalah tidak perlu terlalu mencemaskan dampak dari pengalihan
beban peningkatan harga BBM kepada masyarakat. Mayoritas terbesar masyarakat
pasti masih tetap membeli BBM dan ini berarti ekonomi masih tetap tumbuh.
Keempat, paradigma ini juga tidak menyarankan
perlunya kebijakan khusus untuk buffer stock. Kebijakan penyangga seperti ini
hanya akan menciptakan biaya tinggi (cost
inefficiency). Biaya-biaya logistik, transportasi, dan penyimpanan yang
tidak perlu akan muncul dari kegiatan pengamanan serupa. Jika pasar dibiarkan
bekerja sempurna, semua kegiatan dan biaya yang terkait dengan ketidakpastian
dapat dihindarkan.
Dengan kata lain, mekanisme pasar merupakan
solusi terbaik (first-best solution)
mengatasi persoalan ketersediaan energi. Jika membuat stok penyangga pun,
sifatnya sangat minimal, terutama karena pertimbangan teknis-transportasi dan
bukan menghadapi kejutan-kejutan besar. Seluruh logika dari paradigma ini dapat
dirumuskan berikut: ”harga pasar” adalah tuan dan ketersediaan adalah ”hamba”.
Harga Internasional?
Hingga kini Indonesia belum memiliki
nomenklatur khusus tentang UU Keamanan Energi. Karena itu, sukar untuk
menyatakan secara tegas apakah harga pasar telah menjadi ”tuan” dan
ketersediaan menjadi ”hamba”. Namun, kerangka hukum (regulatory framework) pengaturan energi di Indonesia sepertinya
berpihak pada paradigma yang memberlakukan energi sebagai komoditas bisnis. Hal
ini terlihat dari keluarnya UU No 22/2001 tentang Migas. UU ini secara jelas
menghilangkan peran dominan Pertamina (yang mewakili entitas negara), baik
dalam tahapan eksplorasi maupun eksploitasi (upstream) hingga tahapan pemrosesan, transportasi, penyimpanan, dan
pendistribusiannya (downstream).
Sejak UU Migas dikeluarkan, Pertamina diperlakukan sama dengan perusahaan
swasta dalam kedua tahap tersebut.
Satu-satunya ganjalan yang tertinggal untuk
menyempurnakan kerangka paradigma komoditas bisnis dalam BBM ini adalah pada
penetapan harga. Jika pemerintah tetap konsisten dengan kerangka paradigma yang
melatarbelakangi lahirnya UU Migas, harga BBM kemungkinan akan terus didorong
untuk menyesuaikan diri dengan harga internasional. Terlebih lagi Indonesia
telah menjadi anggota G-20, yang salah satu agenda utamanya adalah melakukan
liberalisasi di sektor energi dan menghilangkan subsidi BBM. Karena itu,
setelah agenda liberalisasi harga BBM tercapai secara sempurna, agenda
liberalisasi harga di komoditas energi lainnya kemungkinan besar akan segera
menyusul.
Meski demikian, paradigma energi sebagai
komoditas bisnis bukanlah tanpa masalah. Masalah terutama muncul dari konsep
harga pasar internasional. Kenyataannya, tidak selalu harga internasional
mencerminkan harga yang paling efisien dan berasal dari kompetisi murni.
Contohnya harga BBM di pasar internasional.
Fluktuasi harga BBM sejak awal 1970-an sangat dipengaruhi dinamika politik dan
keamanan di tingkat internasional. Peningkatan harga pada 1970-an lebih
disebabkan keputusan politik Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang
ketika itu berperilaku sebagai kartel produsen. Peningkatan harga pada awal
1990-an lebih disebabkan Perang Irak pertama. Peningkatan harga BBM akhir-akhir
ini karena ketidakpastian keamanan di kawasan Selat Hormuz karena ancaman Iran
untuk menutupnya.
Karena itu, harga energi BBM di pasar
internasional bukan melulu didasarkan pada penghitungan biaya produksi (cost of production) atau berdasarkan
penghitungan biaya barang substitusi penggantinya (opportunity cost). Faktor politik dan keamanan internasional juga
sangat berperan. Dalam rumusan terbalik, faktor low politics (harga ekonomi) memang kerap tunduk terhadap dinamika high politics itu. Karena pertimbangan
ini pula, paradigma yang menempatkan energi sebagai komoditas bisnis memang
perlu dikritisi dan keamanan energi di Indonesia memang perlu segera dibenahi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar