Sabtu, 05 Mei 2012

Quo Vadis Confidentiality Advokat-Klien


Quo Vadis Confidentiality Advokat-Klien
Frans H Winarta; Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin),
Anggota Governing Board Komisi Hukum Nasional (KHN)
SUMBER : SINDO, 05 Mei 2012


Dalam menjalankan profesinya, seorang advokat (lawyer) memiliki kewajiban untuk selalu menyimpan rahasia kliennya dalam menjaga hubungan dengan kliennya. Tugas pertama advokat adalah menyimpan rahasia klien (client).

Kerahasiaan (confidentiality) adalah yang utama dari hak profesi hukum dan sebaliknya informasi yang diakui berupa hak (privilege) untuk membela yang berasal dari klien, keputusan untuk membuka kerahasiaan tersebut kepada umum atau pengadilan adalah merupakan hak klien dan bukan advokat. Gaselee J menegaskan, “…the first duty of an attorney is to keep the secrets of his client. Authority is not wanted to establish that proposition…”.

Atas dasar hubungan kerahasiaan seperti itu, klien menginginkan advokat menyimpan dokumen-dokumen dalam perkara di pengadilan dan quasi peradilan, dan tidak boleh diungkapkan kecuali atas kemauan atau perintah klien. Pada prinsipnya klien ingin dirinya aman dan dilindungi. Begitu penting dan prinsipil hubungan kerahasiaan ini sehingga tanpa izin dari klien seorang advokat tidak dapat membuka rahasia klien kepada siapa pun.

Secara internasional, hal ini pun diatur dalam International Bar Association (IBA) International Code of Ethics pada nomor 14 yang menyatakan: “Lawyers should never disclose, unless lawfully ordered to do so by the Court or as required by Statute, what has been communicated to them in their capacity as lawyers even after they have ceased to be the client’s counsel.”

Hak istimewa (privilege) profesi hukum, sebagaimana kita kenal sekarang adalah berakar dari konsep kepercayaan (concept of confidence). Seseorang atau kuasa hukum boleh bicara dan membela atas halhal atau isu dalam rangka pembelaan dan tanpa rasa takut akan disalahgunakan.Hak istimewa ini merupakan perlindungan hak hukum seseorang. Sebenarnya hak istimewa untuk membela otomatis gugur kalau rahasia klien diungkapkan di depan umum tanpa persetujuan klien.

Sementara, dalam Pasal 1797 KUH Perdata ditegaskan bahwa “Si kuasa tidak diperbolehkan melakukan sesuatu apa pun yang melampaui kuasanya.” Perilaku para advokat yang melanggar kerahasiaan klien harus ditindak oleh organisasi advokat karena telah melanggar kode etik profesi advokat. Jelas, pembocoran rahasia ini merugikan klien dan merupakan pelanggaran etika dan hak istimewa antara advokat-klien (lawyer-client privilege).

Persepsi atas fungsi advokat perlu diluruskan kalau kita tidak ingin melihat lebih banyak lagi korban pelanggaran etika profesi advokat yang merugikan para pencari keadilan sebagaimana tadi sudah diutarakan bahwa kewajiban utama advokat adalah menjaga kerahasiaan klien.

Konflik Kepentingan

Yang pertama harus dipastikan seorang pencari keadilan ketika membutuhkan jasa hukum dari seorang advokat adalah memastikan apakah ada konflik (benturan) kepentingan (conflict of interest) ketika dia ditunjuk sebagai “legal counsel”. Benturan kepentingan adalah satu hal yang harus dihindarkan oleh orang (klien) yang beperkara. Di sini perlu kejujuran dari advokat, betapapun perkara itu menarik atau menjadi perhatian masyarakat, dirinya harus rela mundur kalau ada benturan kepentingan.

Adanya benturan kepentingan jelas dapat mengorbankan kerahasiaan pencari keadilan dan sebagai klien dikorbankan kepentingannya oleh advokat yang ditunjuk sebagai kuasa hukum (advokat). Kalau keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, maka fair trial tidak akan tercapai khususnya due process of law.

 Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menghadapi keadaan ini adalah dengan pendidikan dan kursus advokat yang harus menitikberatkan kepada pemahaman kode etik advokat, standarisasi profesi advokat, perlindungan kerahasiaan klien, benturan kepentingan, ujian yang bermutu, kualitas dan upaya peningkatan dalam penyelenggaraan pendidikan berkelanjutan (continuous legal education/ CLE).

Urgensi Pembentukan Dewan Etika Nasional

Sudah saatnya bagi semua organisasi advokat yang ada untuk melupakan perseteruan mereka dan mendirikan Dewan Etika Nasional untuk menertibkan keadaan ini dan menindak advokat yang melanggar kode etik. Apa pun keputusan Dewan Etika Nasional harus dihormati dan diikuti oleh semua organisasi yang ada berupa teguran, skorsing, pemecatan, sampai pencabutan lisensi berpraktik.

Perseteruan organisasi advokat yang berkepanjangan inilah menjadi salah satu biang keladi terlantarnya mutu advokat karena sistem kursus dan ujian advokat (PKPA) lebih menitikberatkan kepada kuantitas dan bukan kualitas. Sungguh mengejutkan ketika terbetik berita seorang advokat yang membela seorang tersangka yang menjadi saksi bagi tersangka lain dalam suatu perkara korupsi berpindah klien kepada “lawan kliennya” dalam perkara yang sama,yang rawan benturan kepentingan dan bocornya rahasia klien.

Ini bisa terjadi karena ketidakpahaman tentang benturan kepentingan, hubungan kerahasiaan advokat klien ( lawyer-client privilege) dan kewajiban menjaga atau menyimpan rahasia klien. Pendek kata, inilah waktu yang tepat untuk membentuk Dewan Etika Nasional dari semua organisasi advokat yang ada di Indonesia.Adalah benar jika ada paradigma yang menyatakan bahwa kebudayaan suatu bangsa dapat dilihat dari perilaku dan sepak terjang para advokat bangsa itu.

Oleh karena itu, penertiban praktik dan fungsi advokat merupakan conditio sine qua non untuk memperbaiki citra advokat sebagai profesi hukum yang independen dan berintegritas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar