Sabtu, 05 Mei 2012

Melihat Kandidat Melalui APBD


Melihat Kandidat Melalui APBD
Muhammad Tri Andika; Dosen Ilmu Politik Universitas Bakrie;
Alumnus Ritsumeikan University, Jepang
SUMBER : SINDO, 05 Mei 2012


Rakyat Jakarta sesaat lagi akan memasuki babak barunya.Walaupun KPUD Jakarta secara resmi baru mengumumkan kandidat gubernur dan wakil gubernur tanggal 10 Mei nanti, namun gema pilkada sudah terasa sejak beberapa minggu belakangan.

Di darat bisa kita lihat berbagai model kampanye tradisional seperti pemasangan spanduk dan stiker hingga cara-cara kreatif penggunaan mobil boks yang mengelilingi Jakarta. Di udara, stasiun televisi telah aktif mengundang para calon kandidat yang disiarkan secara live untuk beradu argumentasi menyampaikan gagasannya membangun Jakarta.Tapi, pertanyaannya, apakah cara-cara itu sudah cukup efektif untuk melihat kualitas para calon? Lebih-lebih untuk mengetahui komitmen politiknya manakala terpilih nanti?

Dari sekian banyak cara, ada satu cara yang cukup jujur dan objektif untuk mengukur kualitas dan komitmen politik seorang pimpinan daerah, yakni dari postur APBD yang dibuatnya. Dibanding dengan penyampaian visi misi atau jargon yang terpampang di spanduk, membuka konsep APBD dari para kandidat adalah cara yang lebih cerdas dan mencerdaskan.

Selain para kandidat akan semakin dekat dengan calon pemilihnya, proses pilkada ini pada akhirnya mampu memberikan nilai tambah berupa edukasi politik pada masyarakat Jakarta atas ketahuannya pada dapur ide masingmasing kandidat. Sebagai awal dari ide tersebut, penulis dalam artikel ini ingin memulai dengan memberikan paparan sederhana mengenai postur APBD Jakarta.

Hal ini penting untuk diangkat setidaknya untuk dua hal; pertama, sebagai informasi kepada masyarakat Jakarta bagaimana sesungguhnya APBD Jakarta berpihak dan kedua sebagai bahan evaluasi bagi para calon kandidat dalam merumuskan pembangunan Jakarta ke depan.

APBD Jakarta Prorakyat?

Selama ini pengguguran jargon prorakyat sering disimplifikasi pada pembuatan program kerja semata, tanpa mempertimbangkan jumlah alokasi anggarannya. Padahal, jika dilihat lebih seksama,masih berat untuk mengklaim APBD Jakarta sudah prorakyat. Total APBD DKI Jakarta pada 2012 sebesar Rp36,023 triliun, ditopang terutama dari pendapatan daerah sebesar Rp30,642 triliun, di mana pajak daerah memberikan kontribusi Rp18,33 triliun dan sisanya berasal dari penerimaan pembiayaan sebesar Rp5,380 triliun.

Melihat besarnya anggaran yang ada, lalu bagaimana dengan pengalokasiannya? Di sinilah titik pentingnya. Dalam RKPD Jakarta 2012, fokus utama anggaran pemda akan diberikan pada sektor pelayanan masyarakat. Dan untuk menunjang hal ini, salah satu langkah yang ditempuh adalah dengan menaikkan alokasi belanja pegawai melalui kenaikan gaji PNS sebesar 10%.Tahun 2011 alokasi belanja pegawai yakni Rp7,718 triliun, dan naik menjadi Rp8.415 triliun di tahun 2012.

Dan, trennya selalu meningkat setidaknya sejak 2008. Mirisnya, angka ini jauh lebih besar dibanding perhatian pemerintah pada sektor pendidikan (Rp7,3 triliun), kesehatan (Rp2,8 triliun), dan alokasi dedicated program. Pada alokasi dedicated program, yakni program prioritas yang dinikmati oleh seluruh warga Jakarta, seperti normalisasi sungai, penanganan banjir, pengelolaan busway, pembuatan MRT, pencegahan polusi, dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat,Pemda DKI hanya mengalokasikan anggaran sebesar RP6,141 triliun di 2011 dan Rp6,775 triliun di 2012.

Tidak ada kenaikan yang signifikan. Dibandingkan dengan alokasi belanja pegawai,angka ini jelas sangat timpang. Kesempatan bagi jutaan masyarakat untuk merasakan hidup layak di Jakarta hanya diberikan tidak lebih dari 20% APBD.Sementara, alokasi untuk kesejahteraan PNS di Jakarta yang jumlahnya tidak lebih dari 5% penduduk Jakarta diberikan jauh lebih besar.

Melihat postur APBD yang demikian, dengan mudah kita bisa lihat sejauh apa sebenarnya perhatian Pemerintah DKI Jakarta kepada masyarakatnya. Lebih jauh lagi, kita pun bisa melihat sebesar apa komitmen pemerintah Jakarta dalam menyelesaikan masalah-masalah seperti banjir dan transportasi di Ibu Kota.

Momen Pilkada

Dari paparan di atas, terlihat bahwa alokasi anggaran ternyata lebih banyak untuk menggerakkan mesin birokrasi daripada untuk kepentingan rakyat. Porsi belanja aparatur lebih besar daripada porsi belanja publik. Dengan kata lain, politik anggaran Jakarta belum berada dalam arah yang tepat untuk sebesar besarnya kemakmuran masyarakat Jakarta. Alokasi Rp 6,775 triliun tentulah sangatlah kecil untuk sekian juta penduduk DKI Jakarta.

Belum lagi masalah yang terkait dengan perilaku korup birokrasi, tingkat kebocoran yang tinggi, dan ketidakefektifantata laksana program pembangunan. Semua itu membuat masyarakat Jakarta akan semakin kesulitan merasakan dampak langsung pembangunan daerah. Barangkali, Pemerintah DKI Jakarta punya segudang alasan untuk menjustifikasi pengalokasian  APBD-nya.

Namun, anggaran seharusnya tidak hanya berorientasi pada bureaucracy driven, namun juga butuh keberpihakan kepada golongan yang masih belum menikmati “kue pembangunan”, dimana salah satu kuncinya adalah pada sosok gubernur yang memimpinnya.

Dalam konteks pilkada Jakarta, event ini bisa menjadi momentum dahsyat bagi masyarakat Jakarta dalam menentukan perubahan besar melalui penelaahan yang seksama atas konsep APBD yang dibawa masing-masing kandidat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar