Demokrasi
Terjajah
Revrisond
Baswir ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik
Indonesia (AEPI)
SUMBER
: KOMPAS,
21 Mei 2012
Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan
kepada bangsa Indonesia untuk melembagakan sistem demokrasi sosial atau
sosio-demokrasi. Dalam sistem demokrasi seperti itu,
kedaulatan rakyat tidak hanya ditegakkan dalam bidang politik, tetapi juga
dalam bidang ekonomi. Bung Hatta pernah mengemukakan, ”Jika di sebelah
demokrasi politik belum terdapat demokrasi ekonomi, rakyat belum merdeka.”
Amanat melembagakan demokrasi ekonomi
dijabarkan melalui ketiga ayat asli dalam Pasal 33 UUD 1945: (1) Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2)
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara; serta (3) Bumi, air, dan segala kekayaan
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Namun, sebagaimana berlangsung sejak 17
Agustus 1945, amanat melembagakan sistem demokrasi sosial itu terus-menerus
ditentang pihak kolonial dan kaki tangannya. Dalam rangka itu, selama 67 tahun
belakangan ini, pihak kolonial telah melancarkan berbagai subversi untuk
menelikung amanat UUD 1945 itu.
Secara ringkas, rangkaian subversi yang
dilakukan pihak kolonial menelikung pelembagaan sistem demokrasi sosial itu
adalah: (1) melancarkan Agresi I dan II dalam 1947-1948; (2) memaksakan tiga
syarat ekonomi melalui penandatanganan kesepakatan KMB pada 1949; (3) melakukan
destabilisasi ekonomi-politik melalui pemberontakan PRRI/Permesta
pasca-pembatalan KMB pada 1956; (4) menyelundupkan beberapa ekonom Indonesia ke
AS untuk mempelajari kapitalisme; (5) mendelegitimasi pemerintahan Soekarno
melalui peristiwa G30S pasca-penerbitan UU No 16/1965; (6) memaksa Soekarno
menandatangani UU No 7, 8, 9/1966 dan UU No 1/1967 memulihkan KMB; (7)
menyokong terbentuknya sebuah pemerintahan kontra-revolusioner pada 1967; (8)
melakukan liberalisasi tahap pertama melalui pelaksanaan deregulasi dan
debirokratisasi pada 1982; (9) melakukan liberalisasi tahap kedua melalui
penandatanganan LOI pada 1998; serta (10) memulai proses legalisasi
neokolonialisme melalui penerbitan beberapa produk perundang-undangan yang
bertentangan dengan amanat UUD 1945.
Di satu sisi, rangkaian subversi
neokolonialisme itu tidak hanya berakibat pada terhalangnya proses pelembagaan
sistem demokrasi sosial di Indonesia. Tindakan itu menjerumuskan bangsa ini ke
dalam kondisi yang saya sebut sebagai keterjajahan permanen. Transformasi yang
dialami Indonesia dalam 67 tahun sesungguhnya tidak lebih dari transformasi
dari kolonialisme menuju neokolonialisme.
Di sisi lain, yang tampil mencolok
pasca-penandatanganan LOI pada 1998, proses pelembagaan demokrasi di Indonesia
melenceng ke arah pelembagaan sistem demokrasi liberal atau demokrasi
korporasi.
Artinya, dalam era demokrasi terjajah seperti
saat ini, yang terjadi tak lagi sekadar semakin dalamnya cengkeraman kapitalis
asing di sini. Kekuatan kapital kini menjadi faktor dominan dalam memengaruhi
perkembangan ekonomi-politik di Tanah Air, baik dalam proses perebutan
kekuasaan maupun dalam proses penyusunan perundang-undangan dan perumusan
kebijakan.
Menjongoskan Bangsa
Sejalan dengan itu, ketergantungan
partai-partai politik dan pemangku kekuasaan terhadap sokongan kaum kapitalis
meningkat. Sebagaimana berlangsung di sejumlah negara yang melembagakan sistem
demokrasi korporasi, fungsi partai politik di Indonesia cenderung berubah: dari
penyalur aspirasi rakyat menjadi pembela kapitalisme. Karena negara diurus para
petinggi partai politik, fungsi negara turut berubah: dari memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi memajukan
akumulasi kapital dan menjongoskan kehidupan bangsa.
Dengan latar seperti itu, mudah dipahami jika
berbagai kebijakan ekonomi-politik nasional cenderung bertentangan dengan
aspirasi rakyat banyak. Hal itu tidak hanya tampak secara mencolok dalam
penyelenggaraan sektor strategis, seperti keuangan dan pertambangan, tetapi
mulai menyelinap pula ke sektor-sektor yang selama ini menjadi tumpuan hidup
rakyat banyak, seperti pertanian dan perdagangan.
Akibatnya, ketergantungan terhadap impor
berbagai kebutuhan pokok rakyat terus berlanjut. Bahkan, di negeri bahari yang
terletak di lintasan khatulistiwa ini, pemenuhan kebutuhan garam industri dan
garam rakyat didatangkan dari luar. Persoalannya bukan karena tak tersedia
sumber daya untuk memenuhi kebutuhan itu, melainkan karena hal itu tak sejalan
dengan kebutuhan melestarikan kolonialisme di negeri ini.
Pertanyaannya, tindakan apakah yang perlu
dilakukan untuk mengakhiri cengkeraman neokolonialisme yang disertai dengan
pelembagaan sistem demokrasi korporasi tersebut? Secara normatif jawabannya
sesungguhnya sudah dikemukakan oleh Pasal 33 UUD 1945. Persoalannya, bagaimana
menjadikan pesan normatif itu menjadi sebuah kekuatan yang riil?
Jawaban praksisnya terletak pada
pengorganisasian kekuatan ekonomi rakyat. Berbeda dari pengorganisasian rakyat
melalui partai-partai politik atau elemen-elemen di bawahnya, pengorganisasian
kekuatan ekonomi rakyat yang dilakukan untuk melawan neokolonialisme harus
secara jelas ditujukan mencegah berlanjutnya ekspansi kapitalisme di negeri
ini.
Musuh bersama kekuatan ekonomi rakyat yang
terorganisasi bukanlah sesama pelaku ekonomi rakyat, melainkan jaringan
kekuatan kapital yang mencengkeram negeri ini. Kekuatan ekonomi rakyat
bersatulah! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar