PMA 32/2012 dan
Pesantren
Abdullah Yazid ; Alumnus Ponpes Qomaruddin, Bungah,
Gresik;
Peneliti International Conference of Islamic Scholars (ICIS)
SUMBER : REPUBLIKA,
12 Mei 2012
Ada
kecemasan yang timbul pascaterbitnya Peraturan Menteri Agama (PMA) No 3/2012.
Ka lang an pimpinan dan pemangku pesantren modern merasa PMA ini menganaktiri
kan mereka. Sebab, ada “perasaan” pesantren modern tidak dianggap sebagai
pesantren. Kementerian Agama sendiri justru menilai sebaliknya. Peraturan
Menteri Agama itu dipercaya bakal mem bawa hal-hal positif bagi pening katan
kualitas pendidikan agama Islam. (Republika, 8/5).
Pasal
35 PMA 3/2012 menyebutkan, pesantren sebagai satuan pendidikan di selenggarakan
dalam bentuk pesantren salafiyah. Tidak ada bunyi maupun penjelasan terperinci
mengenai istilah pesantren modern. Logika yang dibangun, yang disebut pesantren
adalah pesantren salafiyah sebagaimana disampaikan Wamenag Prof Nasaruddin
Umar. Di sinilah kecemasan muncul.
PMA
ini seakan mengiringi dikotomi predikat pesantren salaf dengan pesantren modern
meski pada awalnya dikotomi itu juga rancu. Sebab, ada pesantren yang mengklaim
diri modern dengan kurikulumnya yang berbeda dengan pesantren salaf, yaitu
penekanan pada ba hasa Arab/Inggris dan tidak pada fikih. Tetapi, (dulu) tidak
mau memasuk kan pendidikan formal (sekolah berafiliasi dengan Kementerian
Pendidikan Nasional/Kementerian Agama).
Sementara,
ada pesantren salafiyah, tapi mengadopsi sekolah formal mulai tingkat dasar
sampai perguruan tinggi, baik yang berafiliasi ke Kemendikbud maupun Kemenag.
Jika dibaca secara sak sama, PMA ini memang tidak khusus mengatur tentang
pesantren, tapi tentang pendidikan keagamaan Islam yang dibagi menjadi
pendidikan diniyah formal dan nonformal.
Ini
adalah tindak lanjut pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) No 55/2007 tentang
pendidikan agama dan pendidikan keagamaan secara kelembagaan. Kontennya seputar
pengaturan standar disasi pesantren sebagai sebuah wadah maupun satuan
pendidikan, termasuk pengaturan terkait diniyah.
Sebagai
sebuah wadah, pesantren melaksanakan pendidikan diniyah formal sehingga bisa
mengembangkan pendidikannya melalui madrasah, sekolah Islam, sekolah kejuruan,
hingga perguruan tinggi Islam. Namun, pesantren jenis ini harus memenuhi lima
rukun pesantren.
Di
antaranya mempunyai kiai, pondok, santri, mengkaji kitab kuning, dan mempunyai
masjid atau mushala. PP 55/2007 menyebutkan, pemerintah melindungi kemandirian
dan kekhasan pen didikan keagamaan selama tidak bertentangan dengan tujuan
pendidikan nasional.
Masalahnya,
pesantren modern se ring tidak merujuk pada pengajian ber basis kitab kuning.
Ini menjadi proble matika. Pertama, sebagian besar pesantren modern sudah
meninggalkan kitab kuning. Kedua, penyebutan pesantren banyak dilekatkan dengan
kata-kata “salafiyah”. Itu tecermin pada Pasal 35, 36, 37, 38, hingga 39 PMA
3/2012.
Jika
hanya melihat pada pelabelannya, PMA ini seolah mengungkit dikotomi lama yang
sudah kita lupakan. Tapi, jika memahaminya sebagai kerangka “satuan
pendidikan”, bunyi-bunyi pasal di dalamnya tidak mempermasalahkan, baik itu
satuan pendidikan di sa lafiyah maupun modern. Inilah yang harus lebih dulu di
dudukletakkan secara proporsional.
Saya
melihat kesalahpahaman yang dicemaskan kalangan pesantren modern prinsipnya
mengenai kebebasan pesan tren mengembangkan kekhasannya. Sepanjang peraturan
baru ini mampu memenuhi hak-hak anak didik pesantren dalam pendidikan agama dan
umum, tentu tak ada masalah.
Pesantren
harus mendapatkan hak yang sama untuk mempunyai lulusan unggulan berkualitas
dan berkontribusi di luar pesantren dengan segala keterbatasannya. Kita harus
bersyukur karena secara nasional, lulusan pesantren juga diakui dan mendapatkan
hak yang sama untuk masuk perguruan tinggi.
Justru
yang harus dicermati adalah sistem pendidikan nasional serta semua peraturan
dasar yang melingkupi pendidikan. Harus dipastikan pelaksanaannya memenuhi
hak-hak anak didik, termasuk di pesantren untuk mendapatkan mutu pendidikan
yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya.
Baik
pesantren yang melabeli diri modern maupun yang salaf, keduanya men jadi bagian
penting penggemblengan pendidikan generasi bangsa yang kokoh bertahan hingga
kini. Bisa jadi pesantren modern lebih mengglobal secara kurikulum dan metode,
tetapi keduanya tetap di tuntut mampu mengakomodasi kebu tuhan pendidikan agama
serta tuntutan zaman.
PMA
ini justru langkah jitu Kemenag memberdayakan pesantren salafiyah yang
jumlahnya jauh lebih besar diban ding kan pesantren modern, lebih lama
mengakar, dan lebih tua secara usia. Jus tru, inilah saatnya kita tidak mendikotomikan
pesantren menjadi salafi yah atau modern. Semua anak didik yang belajar di
pesantren apa pun dan di mana pun, harus dihargai dan diperlakukan sama dengan
mereka yang tidak pernah hidup di pesantren.
Bagi
saya, modern atau salafiyah hanya soal nama. Silakan berargumentasi pesantren
modern sistem dan metode pengajarannya lebih baik dari salaf.
Tapi pada sisi tradisi, pesantren salaf telah
terbukti mampu menjaga keutuhan budaya bangsa tanpa kehilangan kekhasannya
seperti terjadi pada beberapa pesantren salaf yang sudah berubah menjadi
modern. Hal yang pasti, pesan tren adalah jiwa sejati pendidikan tradisi dan
kultural bangsa dalam aspek moral dan spiritual. Perannya amat jelas dan
konkret di tengah-tengah kehidupan bangsa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar