Senin, 14 Mei 2012

PMA 32/2012 dan Pesantren


PMA 32/2012 dan Pesantren
Abdullah Yazid ;  Alumnus Ponpes Qomaruddin, Bungah, Gresik;
Peneliti International Conference of Islamic Scholars (ICIS)
SUMBER :  REPUBLIKA, 12 Mei 2012



Ada kecemasan yang timbul pascaterbitnya Peraturan Menteri Agama (PMA) No 3/2012. Ka lang an pimpinan dan pemangku pesantren modern merasa PMA ini menganaktiri kan mereka. Sebab, ada “perasaan” pesantren modern tidak dianggap sebagai pesantren. Kementerian Agama sendiri justru menilai sebaliknya. Peraturan Menteri Agama itu dipercaya bakal mem bawa hal-hal positif bagi pening katan kualitas pendidikan agama Islam. (Republika, 8/5).

Pasal 35 PMA 3/2012 menyebutkan, pesantren sebagai satuan pendidikan di selenggarakan dalam bentuk pesantren salafiyah. Tidak ada bunyi maupun penjelasan terperinci mengenai istilah pesantren modern. Logika yang dibangun, yang disebut pesantren adalah pesantren salafiyah sebagaimana disampaikan Wamenag Prof Nasaruddin Umar. Di sinilah kecemasan muncul.

PMA ini seakan mengiringi dikotomi predikat pesantren salaf dengan pesantren modern meski pada awalnya dikotomi itu juga rancu. Sebab, ada pesantren yang mengklaim diri modern dengan kurikulumnya yang berbeda dengan pesantren salaf, yaitu penekanan pada ba hasa Arab/Inggris dan tidak pada fikih. Tetapi, (dulu) tidak mau memasuk kan pendidikan formal (sekolah berafiliasi dengan Kementerian Pendidikan Nasional/Kementerian Agama).

Sementara, ada pesantren salafiyah, tapi mengadopsi sekolah formal mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi, baik yang berafiliasi ke Kemendikbud maupun Kemenag. Jika dibaca secara sak sama, PMA ini memang tidak khusus mengatur tentang pesantren, tapi tentang pendidikan keagamaan Islam yang dibagi menjadi pendidikan diniyah formal dan nonformal.

Ini adalah tindak lanjut pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) No 55/2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan secara kelembagaan. Kontennya seputar pengaturan standar disasi pesantren sebagai sebuah wadah maupun satuan pendidikan, termasuk pengaturan terkait diniyah.

Sebagai sebuah wadah, pesantren melaksanakan pendidikan diniyah formal sehingga bisa mengembangkan pendidikannya melalui madrasah, sekolah Islam, sekolah kejuruan, hingga perguruan tinggi Islam. Namun, pesantren jenis ini harus memenuhi lima rukun pesantren.

Di antaranya mempunyai kiai, pondok, santri, mengkaji kitab kuning, dan mempunyai masjid atau mushala. PP 55/2007 menyebutkan, pemerintah melindungi kemandirian dan kekhasan pen didikan keagamaan selama tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.

Masalahnya, pesantren modern se ring tidak merujuk pada pengajian ber basis kitab kuning. Ini menjadi proble matika. Pertama, sebagian besar pesantren modern sudah meninggalkan kitab kuning. Kedua, penyebutan pesantren banyak dilekatkan dengan kata-kata “salafiyah”. Itu tecermin pada Pasal 35, 36, 37, 38, hingga 39 PMA 3/2012.

Jika hanya melihat pada pelabelannya, PMA ini seolah mengungkit dikotomi lama yang sudah kita lupakan. Tapi, jika memahaminya sebagai kerangka “satuan pendidikan”, bunyi-bunyi pasal di dalamnya tidak mempermasalahkan, baik itu satuan pendidikan di sa lafiyah maupun modern. Inilah yang harus lebih dulu di dudukletakkan secara proporsional.

Saya melihat kesalahpahaman yang dicemaskan kalangan pesantren modern prinsipnya mengenai kebebasan pesan tren mengembangkan kekhasannya. Sepanjang peraturan baru ini mampu memenuhi hak-hak anak didik pesantren dalam pendidikan agama dan umum, tentu tak ada masalah.

Pesantren harus mendapatkan hak yang sama untuk mempunyai lulusan unggulan berkualitas dan berkontribusi di luar pesantren dengan segala keterbatasannya. Kita harus bersyukur karena secara nasional, lulusan pesantren juga diakui dan mendapatkan hak yang sama untuk masuk perguruan tinggi.

Justru yang harus dicermati adalah sistem pendidikan nasional serta semua peraturan dasar yang melingkupi pendidikan. Harus dipastikan pelaksanaannya memenuhi hak-hak anak didik, termasuk di pesantren untuk mendapatkan mutu pendidikan yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya.

Baik pesantren yang melabeli diri modern maupun yang salaf, keduanya men jadi bagian penting penggemblengan pendidikan generasi bangsa yang kokoh bertahan hingga kini. Bisa jadi pesantren modern lebih mengglobal secara kurikulum dan metode, tetapi keduanya tetap di tuntut mampu mengakomodasi kebu tuhan pendidikan agama serta tuntutan zaman.

PMA ini justru langkah jitu Kemenag memberdayakan pesantren salafiyah yang jumlahnya jauh lebih besar diban ding kan pesantren modern, lebih lama mengakar, dan lebih tua secara usia. Jus tru, inilah saatnya kita tidak mendikotomikan pesantren menjadi salafi yah atau modern. Semua anak didik yang belajar di pesantren apa pun dan di mana pun, harus dihargai dan diperlakukan sama dengan mereka yang tidak pernah hidup di pesantren.

Bagi saya, modern atau salafiyah hanya soal nama. Silakan berargumentasi pesantren modern sistem dan metode pengajarannya lebih baik dari salaf.
Tapi pada sisi tradisi, pesantren salaf telah terbukti mampu menjaga keutuhan budaya bangsa tanpa kehilangan kekhasannya seperti terjadi pada beberapa pesantren salaf yang sudah berubah menjadi modern. Hal yang pasti, pesan tren adalah jiwa sejati pendidikan tradisi dan kultural bangsa dalam aspek moral dan spiritual. Perannya amat jelas dan konkret di tengah-tengah kehidupan bangsa. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar