Perempuan, Pendidikan dan Perburuhan
Ririn Handayani; Mahasiswa
Pascasarjana Ilmu HI Universitas Airlangga
SUMBER
: SINAR HARAPAN, 04 Mei 2012
Tren global menunjukkan jumlah pekerja
perempuan mengalami peningkatan yang sangat signifikan, namun ironisnya keadaan
ini sering kali bertolak belakang dengan kesejahteraan dan perlindungan yang
mereka dapatkan.
Data terbaru Bank Dunia menyebutkan bahwa 4
dari 10 pekerja global saat ini adalah perempuan, namun secara rata-rata setiap
satu dolar yang dihasilkan laki-laki, perempuan hanya menghasilkan 80 sen.
Ketimpangan pendapatan antara perempuan dan
laki-laki ini sangat tidak sebanding dengan tingginya risiko perempuan menjadi
korban human trafficking dibandingkan laki-laki. Fenomena ini terlihat sangat
jelas pada apa yang menimpa banyak tenaga kerja wanita (TKW) kita dalam
percaturan tenaga kerja global saat ini.
Sekitar 4,2 juta perempuan Indonesia atau
sekitar 70 persen dari total 6 juta tenaga kerja Indonesia (TKI) bekerja
sebagai TKW. Keadaan ekonomi yang sulit, lapangan kerja yang sempit dan tidak
adanya akses terhadap permodalan, membuat banyak perempuan Indonesia terpaksa
menjadi TKW.
Ironisnya, hanya segelintir dari mereka yang
memiliki bekal pendidikan dan keterampilan memadai. Sementara itu, sejumlah
besar lainnya tak punya banyak pilihan selain bekerja di sektor informal
sebagai pembantu rumah tangga (PRT).
Empat Pemicu Utama
Dari tahun ke tahun, jumlah TKW meningkat
cukup signifikan. Jika pada periode 1996 terdapat 44 persen migran laki-laki
dan 56 persen migran perempuan dari setiap 100 persen tenaga kerja migran yang
meninggalkan Indonesia, pada 2007 jumlah pekerja migran perempuan meningkat
menjadi 78 persen, sementara pekerja laki-laki justru menurun menjadi 22 persen
(IOM 2010).
Selain karena kemiskinan sebagai akar masalah
utama, terdapat sejumlah faktor lain yang turut memicu meningkatnya jumlah TKW.
Pertama, akses pendidikan rendah. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
menyebutkan, hingga 2010 jumlah perempuan Indonesia yang belum melek huruf
mencapai 5 juta lebih.
Sementara itu, data BPS 2009 menunjukkan
bahwa sebanyak 75,69 persen perempuan usia 15 tahun ke atas hanya berpendidikan
tamat SMP ke bawah, di mana mayoritas perempuan hanya mengenyam pendidikan
hingga tingkat SD, yakni sebanyak 30,70 persen.
Semakin tinggi tingkat pendidikan, persentase
partisipasi pendidikan perempuan semakin rendah, yaitu SMA (18,59 persen),
Diploma (2,74 persen), dan Universitas (3,02 persen). Angka partisipasi sekolah
perempuan memang sudah meningkat dibandingkan persentase angka partisipasi
sekolah pria, tetapi itu hanya pada tingkat pendidikan rendah.
Kedua, daya saing rendah. Rendahnya
pendidikan dan timpangnya kualitas pendidikan perempuan pada pendidikan tinggi
dibandingkan laki-laki menyebabkan daya saing perempuan di dunia kerja juga
rendah. Rata-rata proporsi laki-laki dan perempuan secara nasional sekitar 1 :
1.
Tetapi, jumlah angkatan kerja laki-laki
kurang lebih 1,5 kali lebih banyak dibandingkan perempuan, di mana pekerja
perempuan hanya mengisi sekitar 38,23 persen dari total pekerja di Indonesia.
Artinya, masih banyak perempuan yang belum dapat menembus dunia kerja karena
lebih sedikit perempuan yang mengenyam pendidikan formal.
Hal ini secara langsung memengaruhi tingkat
pendapatan yang diperoleh perempuan. Terdapat 12,44 persen pekerja perempuan
yang berpenghasilan bersih Rp 200,000 ke bawah per bulan dibandingkan dengan
pekerja laki-laki yang hanya 4,39 persen.
Sementara itu, mayoritas laki-laki memiliki
pendapatan di atas Rp 600.000 sekitar 69,29 persen, tetap lebih besar
dibandingkan wanita (50,27 persen). Data ini menunjukkan bahwa laki-laki lebih
dihargai dengan adanya perbedaan kisaran upah yang ada.
Ketiga, permintaan pasar internasional. Salah
satu permintaan pasar internasional terbesar saat ini adalah sektor pekerja
rumah tangga (PRT) di mana PRT asal Indonesia merupakan salah satu favorit di
banyak negara. Fakta ini membuat Penyedia Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI)
lebih suka memberangkatkan pekerja migran perempuan daripada laki-laki.
Besarnya permintaan pasar internasional yang
dibarengi dengan ketersedian pekerja di dalam negeri yang juga besar membuka
sejumlah celah kejahatan yang sangat merugikan TKW. Salah satunya human
trafficking atau perdagangan manusia.
Keempat, persepsi sosial masyarakat. Ketiga
faktor sebelumnya pada akhirnya memengaruhi persepsi masyarakat tentang tenaga
kerja Indonesia (TKI). Bekerja di luar negeri kemudian identik dengan TKW, dan
secara lebih spesifik identik dengan PRT.
Akibatnya, perempuan sering dikondisikan dan
diprioritaskan untuk menjadi tulang punggung perekonomian keluarga dengan
bekerja ke luar negeri sebagai PRT. Seiring dengan feminisasi migrasi
internasional ini, bermunculan sejumlah daerah pengirim TKW seperti Subang (Jawa
Barat), Wonosobo (Jawa Tengah), dan Blitar (Jawa Timur). Dalam tataran global,
Indonesia kemudian juga dikenal sebagai pengirim PRT yang utama.
Memutus Mata Rantai
Keadaan ekonomi yang sulit, lapangan kerja
yang sempit dan tidak adanya akses terhadap permodalan, memaksa banyak
perempuan Indonesia mengadu nasib sebagai TKW. Salah satu upaya paling efektif
untuk memutus mata rantai keadaan ini bisa dimulai dengan memberi akses
pendidikan yang seluas-luasnya bagi perempuan Indonesia.
Pendidikan di sini termasuk pembekalan
keterampilan dan keahlian yang memungkinkan mereka mengembangkan segenap
potensi yang dimiliki.
Langkah selanjutnya adalah memberi akses
modal lebih besar bagi perempuan agar mereka lebih berdaya dalam mengentaskan
diri dan keluarganya dari kemiskinan tanpa harus bekerja ke luar negeri.
Jika pada akhirnya keadaan tetap memaksa
mereka bekerja sebagai TKW, maka yang harus dilakukan pemerintah adalah
memberikan perlindungan lebih optimal bagi TKI/TKW dan keluarganya sejalan
dengan tujuan ratifikasi Konvensi Buruh Migran Tahun 1990 tentang Perlindungan
Pekerja Migran dan Keluarganya yang baru diputus DPR pada 12 April lalu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar