Mengapa Hakim Menghukum Ringan Koruptor?
Reza Indragiri Amriel; Dosen Psikologi Forensik Universitas
Bina Nusantara, Bergiat pada Program Pengembangan Psikologi Yudisial MA Dan KY
SUMBER
: KORAN TEMPO, 04 Mei 2012
Hukum
bagi para pelaku korupsi tampak berlawanan arah dengan efek jera. Salah satu
penyebab nya, dan ini sering menjadi ba han gerundelan publik, adalah hukuman
yang dijatuhkan hakim bagi para koruptor dipersepsikan belum sebanding dengan
kejahatan luar biasa tersebut.
Bertitik
tolak dari penilaian masyarakat, dapat dirumuskan satu pertanyaan: mengapa
hakim masih memberikan hukuman yang ringan terhadap koruptor? Kemungkinan
jawabannya bisa banyak. Di kalangan masyarakat, selama ini, pemahamannya
merentang ke dalam dua kutub. Pada satu kutub adalah aspek moral. Dalam
perspektif moral, ringannya hukuman ditafsirkan sebagai cerminan moralitas
hakim.
Hakim
yang memiliki catatan karier yang bersih diyakini berani menjatuhkan hukuman
berat, sedangkan hakim yang memiliki rekam jejak abu-abu diduga menetapkan
jenis hukuman yang enteng-enteng saja. Jadi, ketika kebanyakan hakim dipandang
menghukum terdakwa korupsi dengan sanksi ringan, secara tidak langsung itulah
indikasi memprihatinkannya moralitas sang pengadil di mata publik.
Pada
kutub seberang adalah kompetensi kerja hakim. Kompetensi di sini merupakan
konstruk psikologi, bukan konstruk legal. Sebagai konstruk psikologi,
kompetensi yang saya maksud bukan kewenangan, melainkan pengetahuan,
keterampilan, dan pengalaman kerja hakim. Dalam perspektif kompetensi, hakim
dengan jam terbang tinggi akan mampu membongkar kasus secara mendalam, sehingga
percaya diri untuk “menagih“pertanggungjawaban terdakwa korupsi lewat hukuman
yang berat. Jadi, ada korelasi positif antara kompetensi kerja hakim dan
berat-ringannya hukuman bagi koruptor.
Kendati
tidak menolak kedua perspektif tersebut, saya mengajukan alternatif penjelasan
yang lain. Pusat penjelasan saya adalah dinamika kognitif hakim sendiri. Berbeda
dengan perspektif moral dan kompetensi yang berasumsi bahwa hakim sadar akan
pengaruh kedua unsur tersebut terhadap keputusan yang ia buat, perspektif
tentang dinamika--bahkan bias--kognitif hakim berlangsung tanpa disadari oleh
hakim. Dengan pijakan seperti itu, dapat dipahami, ada sedikit-banyak
pergulatan kognisi yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali hakim sendiri
saat ia sedang menyidangkan perkara. Pemikiran semacam ini menumbangkan
anggapan bahwa hakim adalah sosok dengan kapasitas kognitif nirbatas serta
mempunyai daya tahan yang tak terkalahkan terhadap potensi bias.
Perspektif
psikologi kognitif yang saya ajukan tertuang ke dalam poin-poin berikut ini.
Pertama,
sanksi terhadap koruptor kerap dibandingkan dengan hukuman bagi maling ayam.
Karena hukuman atas keduanya dinilai tidak proporsional, yakni terlalu ringan
bagi koruptor dan terlalu berat bagi maling ayam, hakim pun dianggap menistai
nilai-nilai keadilan.
Dalam
kasus maling ayam, aksi tersebut lazimnya digambarkan sebagai kejahatan tunggal
yang sederhana dan dilakukan secara solo maupun melibatkan kelompok kecil.
Bingkai peristiwa kejahatan semacam itu tidak begitu sukar dicerna oleh kognisi
hakim. Pada gilirannya, dengan bingkai kasus tersebut, hakim teryakinkan bahwa
kelakuan si pencuri ayam adalah benar-benar manifestasi dari keputusan psikologis
si maling sendiri (atribusi internal). Atribusi internal si maling membangun
fondasi keyakinan hakim bahwa si pencuri itulah, bukan pihak lain, yang harus
bertanggung jawab secara pidana.
Situasinya
berbeda dengan kasus-kasus kejahatan kerah putih, di mana masalahnya begitu
kompleks hingga dapat memberikan beban yang berlebihan terhadap kognisi hakim.
Kompleksitas itu terlihat pada, misalnya, diseretnya banyak nama oleh terdakwa,
modus korupsi yang penuh konspirasi, benturan antarlegislasi, pertikaian antarinstitusi,
serta diskursus politik yang merecoki upaya penegakan hukum.
Sengkarut
masalah sedemikian rupa dapat menggelincirkan persepsi hakim. Hakim bisa jadi
akan melihat faktor situasi lebih dominan (atribusi eksternal) daripada faktor
diri si terdakwa, sebagai penyebab terjadinya peristiwa korupsi. Karena situasi
merupakan penyebab utama, maka terdakwa bukan lagi pihak yang harus paling
bertanggung jawab. Sanksi ala kadarnya, dengan demikian, menemukan “pembenaran“-nya,
karena situasi (termasuk keberadaan pihak-pihak selain terdakwa) yang
sesungguhnya harus disalahkan dan diganjar hukuman lebih berat.
Dalam
konteks itu pula pekerjaan hakim menjadi penuh dilema. Pada satu sisi, hakim
perlu “melek dunia“sehingga dapat memahami konstelasi kasus secara lebih utuh.
Namun, pada sisi lain, menerima informasi-informasi baru juga berisiko
melemahkan vitalitas kognitif hakim, termasuk mengendurkan daya tangkalnya
terhadap potensi-potensi bias.
Ini
juga agenda tersendiri bagi jaksa. Dalam pergulatannya dengan penasihat hukum,
terdakwa yang terus-menerus menggiring persepsi hakim ke atribusi eksternal,
sang penuntut perlu secara ketat memagari hakim agar tetap memandang terdakwa
sebagai biang kerok sejati atas korupsi yang dilakukannya.
Kedua,
menerapkan strategic model. Dapat dipahami bahwa dalam memutuskan kasus
korupsi, hakim juga memperhatikan putusan-putusan yang dihasilkan para
sejawatnya dalam kasus-kasus serupa. Artinya, hakim menjatuhkan hukuman ringan,
karena memang itulah tren yang hakim perhatikan di ruang-ruang sidang lainnya.
Kecenderungan
untuk menyeragamkan perilaku dengan sesama anggota kelompok adalah perwujudan
sisi insani hakim, dan bukan hasil persekongkolan. Pasalnya, keseragaman sikap
dan perilaku merupakan salah satu ciri kelompok. Kelompok (korps hakim) akan
terus eksis manakala para hakim masih terus mengikat diri mereka dalam
ekspektasi keseragaman tersebut.
Konsekuensinya,
kemiripan dalam menentukan berat-ringannya hukuman perlu dilakukan oleh hakim,
karena itulah yang membuatnya merasa tetap menjadi bagian dari korpsnya.
Sebaliknya, membuat keputusan yang berbeda akan memunculkan perasaan tidak
“klik“dengan para sejawat, sehingga dapat berisiko buruk bagi perjalanan karier
si hakim.
Ketiga,
walaupun mengakibatkan kerugian yang sangat besar, korupsi kerap disebut
sebagai kejahatan tanpa korban. Bandingkan, misalnya, dengan kejahatan
terorisme. Kendati sama-sama tergolong kejahatan luar biasa, korupsi tidak
mengakibatkan genangan darah dan kehancuran bangunan secara kasatmata. Karena
sifatnya yang barbar, faktanya tidak sulit bagi hakim-hakim Indonesia
menjatuhkan hukuman mati kepada sejumlah otak dan pelaku aksi teror.
Korupsi
bersih dari gambaran kebiadaban yang telanjang. Itu mempersulit hakim saat
membayangkan akibat nyata korupsi, betapapun korupsi disebut merugikan banyak
pihak. Sulit dijawab definitif: pihak mana yang dirugikan, seberapa besar
kerugiannya, dan mengapa pihak tersebut— jika benar-benar dirugikan—tidak
melaporkan pelakunya dan hadir di persidangan.
Poin
ketiga di atas memberi alasan bagi perlunya wawasan viktimologi para hakim
tindak pidana korupsi. Hakim memang mengadili terdakwa. Namun karena pihak yang
paling berkepentingan dalam setiap persidangan pidana sesungguhnya adalah
korban, maka kehadiran korban di dalam kepala dan hati hakim—bahkan ketika
hakim berhadapan langsung dengan terdakwa—dapat diharapkan berefek positif
terhadap keputusan yang hakim jatuhkan.
Keempat,
jenis hukuman yang tercantum dalam undang-undang diibaratkan jangkar (anchor). Ketika undang-undang
mencantumkan bahwa sanksi bagi pelaku korupsi adalah, misalnya, 1-20 tahun,
maka angka 1 justru memunculkan kesan bahwa ada tindak korupsi yang tidak
tergolong sebagai perkara serius.
Atas
dasar itu, penyusunan legislasi soal penanganan korupsi juga perlu
memperhatikan efek psikologisnya terhadap penegak hukum sendiri. Juga menjadi
solusi adalah meninggikan anchor-nya, misalnya dari 1-20 tahun ke 5-20 tahun.
Berhadapan dengan anchor seperti itu, hakim yang semula berencana menjatuhkan
vonis 4 tahun (dari ancaman minimal 1 tahun) akan terdorong—juga selisih 3
angka—memilih 8 tahun.
Pelajaran
dari poin-poin di atas adalah, siapa pun yang berada pada posisi pengambil
keputusan perlu ekstra hati-hati bekerja di bawah naungan psikologi kognitif.
Bagi hakim, ini bukan masalah sepele. Justru sebaliknya; ini masalah serius,
terlebih karena hakim adalah “profesi
mulia” yang paling jarang menerima feedback
atas pekerjaannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar