Penyimpangan
dalam Praktik “Outsourcing”
Ibnu Suryana ; Konsultan dan Pengamat Masalah Ketenagakerjaan
SUMBER : SINAR
HARAPAN, 11 Mei 2012
Buruh dan pekerja adalah massa yang empuk
untuk digerakkan, baik akal maupun kekuatannya, untuk mendukung kepentingan apa
pun oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dan uang.
Mungkin karena itulah maka di negara ini yang
namanya buruh akan terus dibuat bodoh dan miskin. Dimulai dari fasilitas
pendidikan di daerah miskin yang menyulitkan anak untuk tumbuh cerdas sampai
ditetapkannya UMR (Upah Minimum Regional) yang saat ini untuk ongkos
transportasi berangkat dan pulang kerja saja tidak cukup.
Namun seorang pengusaha tidak akan pernah
kalah di pengadilan karena mereka cukup melaksanakan kewajiban, yaitu UMR.
Padahal, akan jauh lebih baik bila pemerintah regional menetapkan biaya hidup
minimal regional sehingga kita bisa tahu pengusaha mana yang tega membiarkan
karyawannya hidup minim.
Hampir di setiap masa pemilu isu outsourcing (alih daya) tenaga kerja
menjadi umpan yang membangkitkan selera pendukung yang haus akan kesejahteraan
ini, namun sampai akan diselenggarakannya pemilu berikutnya perbaikan praktik
outsourcing tidak pernah terwujud. Ada apa?
Mungkin karena mereka sebenarnya mengetahui
ada kelemahan sistem outsourcing namun pada sisi lain juga memberi banyak
kontribusi positif bagi tumbuh kembangnya sebuah perekonomian negara.
Di Jepang, konon banyak perusahaan kesulitan
mengangkat seseorang menjadi manajer karena kebanyakan staf mereka adalah
nonpermanen, dan status itu memang yang diinginkan para pekerja. Lalu mengapa
di negara kita praktik outsourcing/kontrak minta dihapus?
Praktik Menyimpang
Kesalahan atau penyimpangan yang banyak
dilakukan perusahaan pengguna tenaga kontrak adalah anggapan bahwa mereka
pekerja kelas bawah. Terjadi pergeseran antara kelas dan status yang
jelas-jelas berbeda sehingga para pekerja tersebut beralih fungsi dari fungsi
kapabilitas dan produktivitas menjadi fungsi efisiensi.
Dengan job
description, man hour, dan risiko yang sama mereka menganggap tenaga
kontrak/outsourcing layak dibayar
lebih rendah dibanding tenaga permanen yang sepadan. Padahal sangat meyakinkan
dan terbukti tenaga kontrak bekerja jauh lebih produktif ketimbang para
permanen yang sudah menikmati zona kenyamanannya, dan belum tentu tenaga
kontrak tidak lebih cerdas dari mereka.
Penyimpangan kedua yang dilakukan pengusaha
pengguna tenaga kontrak adalah dengan selalu membebani agen perusahaan outsourcing dengan berbagai biaya
ekstra, seperti biaya transfer gaji, biaya pelatihan, sumbangan piknik, dan
sumbangan pesta ulang tahun perusahaan.
Mereka tidak menyadari (atau pura-pura tidak
tahu) agen hanya memiliki sumber dana dari Management
Fee yang semakin hari semakin rendah karena tekanan dari perusahaan
pengguna tenaga kerja.
Penyimpangan ketiga (sebagai strategi
penunjang pertama) adalah sistem remunerasi bagi tenaga kontrak yang pincang,
seperti tangga yang sengaja dipotong salah satu kakinya.
Andil Politikus
Outsourcing
dipolitisasi mulai dari masa kampanye tanpa dasar pemikiran jangka panjang
"asal menang". Berbagai janji diumbar tanpa tanggung jawab
memenuhinya, demi meraih dukungan buruh. Padahal yang dilakukan para politikus
itu tak lebih upaya mengadu domba antara buruh dan pengusaha.
Keributan yang terjadi sebenarnya karena
ekspektasi yang diciptakan para politikus tak bertanggung jawab tersebut. Jadi,
buruh hanya menuntut apa yang dijanjikan. Kalau kondisisnya terus seperti ini
maka jaminan ketenangan berusaha dan berinvestasi di negeri ini akan selalu
berada pada level rendah.
Misalkan saya seorang yang baru lulus S-1 dan
mencari-cari pekerjaan lalu diterima di salah satu perusahaan agency outsourcing lalu ditempatkan di
salah satu perusahaan multinasional dengan status tenaga kontrak.
Sudah pasti saya sangat senang. Menjelang
habis masa kontrak pertama saya akan waswas, namun ternyata kontrak saya
diperpanjang. Saya senang bahkan langsung menikah karena merasa mapan. Maka
menjelang akhir masa kontrak ke-2 saat istri saya hamil tua ternyata kontrak
tidak bisa diperpanjang karena sesuai peraturan pemerintah. Padahal hubungan
kerja dan kinerja saya sangat baik dengan perusahaan maka paniklah saya.
Jadi jelas, sebagian besar keributan tenaga
kontrak bukan masalah status kontrak atau tetap, namun masalah kelangsungan
hidup. Maka menurut saya KKWT adalah kesalahan berikutnya. Sebaiknya justru
peraturan remunerasi yang harus dibuat dan dikawal penguasa terhadap pengguna
tenaga-tenaga ini. Masa kontrak biarkan saja terbuka panjang diiringi dengan
penyesuaian remunerasi terhadap masa kerja dan kinerjanya (sistem appraisal yang baik dan benar).
Kesalahan berikutnya adalah dengan mengadakan
tender bagi outsourcing agency. Apakah tidak sebaiknya
perusahaan ini justru dijadikan pengelola abadi tenaga kerja bagi perusahaan
pengguna? Karena ketika perusahaan secara finansial semakin kokoh maka tentu
bisa memberi lebih kepada para stafnya.
Sebaliknya, dengan diadakan tender dan tenaga
kerja harus diserahkan kepada pemenang tender berikutnya maka akan banyak
masalah teknis yang timbul. Bisa muncul masalah PHK dan pesangon yang harus
dibayar agency yang sebelumnya. Lalu perhitungan masa kerja darimana akan
ditentukan; masa kerja di user atau di perusahaan agency?
Belum lagi kerugian perusahaan agency yang
lama dengan kehilangan staf dan harus mengadakan perekrutan baru untuk
melanjutkan usahanya, sementara pemenang tender baru akan menikmati proses
nonrekrutmen. Kalau demikian kapan perusahaan-perusahaan penyedia tenaga
outsourcing agency akan menikmati keuntungan dan berbagi kepada staf binaannya?
Kenapa memilih membongkar sesuatu yang sudah
berjalan baik ketimbang memperbaikinya? Pada faktanya, outsourcing menciptakan jalur kesempatan kerja yang cukup banyak
terbuka bagi para fresh graduate,
terutama karena jalur ini kurang mempersyaratkan pengalaman kerja seperti
perekrutan staf permanen. Dari segi perusahaan cukup membantu dengan pergerakan
cost center dari overhead ke operational cost
yang membuat perusahaan tersebut menjadi lebih mudah untuk dibuat sehat.
Andil Pekerja
Saya khawatir para pekerja juga punya andil
karena mereka juga membiarkan diri dikuasai konsep-konsep yang tak sepenuhnya
dipahami, namun membelanya dengan sengit. Karena itu bisa jadi mereka
dimanfaatkan melalui berbagai aksi demo.
Padahal, ada peluang dengan bekerja meski
berstatus kontrak dipakai untuk memajukan diri. Sayang kalau metode berlindung
dalam serikat, menggalang kekuatan oposisi, dan demo saat ini menjadi pilihan
yang dianggap efektif. Selain itu, apa pun statusnya, para pekerja haruslah
meningkatkan produktivitas meninggalkan paham less work much earn.
Para pekerja kontrak juga harus mengalihkan
fokus dari semata pada masalah status menjadi memperjuangkan remunerasi dan
kesejahteraan. Jangan kita tutup mata bahwa banyak sekali pekerja kontrak yang
bertahun-tahun tetap berjalan tanpa konflik, karena mereka menikmati remunerasi
yang adil setara dengan staf permanen. Bahkan ada yang lebih baik karena pada
faktanya memang para pekerja kontrak tidak ada career path.
Saya memang tidak menawarkan solusi di sini,
namun berusaha membuka salah satu jendela yang selama ini tertutup sehingga
kita semua kurang bisa melihat persoalan secara utuh lalu mengambil kesimpulan,
bahkan keputusan yang kurang tepat.
Di negeri ini banyak sekali orang pintar dan
mampu menyelaraskan semua pihak dan kepentingan untuk menyelesaikan masalah
ini. Namun kata kuncinya adalah memajukan kepentingan bersama di atas
kepentingan pribadi, partai politik, atau pun kekuasaan. Kalau tidak, kita
tidak akan pernah maju, karena angkatan kerja dan produksi industri tetap
faktor utama kemajuan ekonomi negara.
Harus ada kesejahteraan pekerja dan keamanan
kerja sama. Selain itu harus ada kesadaran semua key stakeholders untuk duduk sejajar membicarakan jalan keluar yang
optimal dan objektif bagi bangsa (angkatan kerja dan investor) dan negara tanpa
bumbu-bumbu politik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar