Masjid Benteng
Terakhir
Ahmad Sahidah ; Dosen Filsafat dan Etika Universitas
Utara Malaysia
SUMBER : REPUBLIKA,
11 Mei 2012
Kontroversi
azan yang dipicu oleh pidato Wakil Presiden Boediono, sayup-sayup hilang di
timpa isu-isu lain. Seperti diketahui umum, di negeri ini warga cenderung
bersikap reaktif dalam menanggapi banyak persoalan.
Kadang,
mereka lebih menonjolkan penggalan dari sebuah gagasan besar, sehingga pesan
utama ditanggalkan. Kalau kita membaca pidato tersebut secara utuh, tentu kita
tak bisa menyimpulkan bahwa Pak Boed telah melanggar kebebasan beragama,
apalagi berkehendak membatasi ibadah umat.
Sepatutnya,
kita menyimak dengan jernih bahwa ucapan Pak Boed mengandaikan pesan utama (la chose du texte) sebagaimana
diandaikan oleh Paul Ricoeur, yang tidak bisa diringkus pada potongan-potongan
kalimat atau paragraf. Mantan dosen Universitas Gadjah Mada ini jelas
menunjukkan kerisauannya bahwa masjid tidak lagi mampu men dorong kemajuan
peradaban umat.
Seharusnya,
kalau kita bersabar menelaah secara utuh, respons yang diberikan seharusnya ditumpukan
pada gagasan besar bagaimana mengembalikan fungsi masjid yang ideal. Mungkin,
cerita tentang pengalaman menelusuri keberadaan rumah ibadah di bawah ini memantik
semangat baru untuk memakmurkan rumah Tuhan.
Dalam
beberapa kesempatan me nyu suri negeri ini untuk bersilaturahim dengan teman,
kerabat, dan handai to lan, saya sering kali mampir ke masjid terdekat. Di
mulai dari kampung sendiri, saya mencoba untuk mengenang kembali masa kecil.
Sayangnya, jejak terhapus, karena tempat ibadah itu telah direnovasi.
Belum
lagi, menara, tempat beduk terletak, juga telah dihancurkan, padahal ia menjadi
penarik anak-anak untuk datang. Ia sekarang berdiri megah dengan kubah
menjulang. Namun, jamaah yang hadir masih seperti dulu, sebaris dua baris,
kecuali hari Jumat. Di malam Ramadhan, pada hari-hari pertama, ruangan utama
hampir penuh, namun ma kin lama barisan itu makin surut.
Tampaknya,
keadaan di atas jamak ditemukan di banyak masjid di seantero negeri. Sejatinya,
masjid adalah tempat yang paling baik untuk menciptakan hubungan yang dalam
antarumat. Apatah lagi, kita mempunyai lembaga khusus yang mengurus tempat
ibadah ini, yaitu Dewan Masjid Indonesia (DMI). Selayaknya, ia menjadi payung
bagi seluruh masjid di negeri ini, karena bagaimanapun, masjid harus menjadi
ruang bersama tanpa dibebani perbedaan mazhab, politik, dan kelompok.
Di
Bangkalan, Madura, saya mengunjungi sebuah masjid yang dibantu oleh Islamic Relief Foundation, Arab Saudi.
Ia berdiri kokoh di tengah peru mahan penduduk. Sayangnya, meskipun dikenal
sebagai negeri Serambi Madinah (karena banyak masjid dan surau), jumlah umat
yang shalat berjamaah sedikit.
Mungkin,
hanya masjid pondok pesantren yang mendatangkan jamaah hingga meluber ke luar
ruangan utama. Dalam kesempatan berjamaah di PP Nu rul Jadid, Paiton,
Probolinggo, saya menikmati zikir yang dilantunkan para santri sebelum Maghrib
tiba.
Bagaimanapun,
setelah umat ini berpecah dalam pelbagai organisasi keagamaan dan politik,
sudah waktunya kita memikirkan masjid sebagi oase terakhir dari ikhtiar kita
untuk merawat kebersamaan. Betapa dalam sebuah kesempatan, saya mengikuti
jamaah di Masjid sebuah kampung di Maguwoharjo, Yog yakarta, pakaian jamaah
beraneka ra gam, tak hanya model, tetapi juga du kungan politik.
Selain
itu, masjid adalah pilihan yang tepat untuk membiasakan anak ke cil merawat
kecerdasan spiritual. Mengingat televisi, pemutar play station, telepon genggam hampir dengan sempurna membetot
perhatian anak-anak di luar sekolah. Surau dan masjid bisa menyediakan ruang
bagi generasi kita untuk mengurangi ketagihan pada benda adiktif tersebut.
Sebagaimana
diketahui umum, banyak anak sekarang makin tertutup karena terbuai permainan
berbasis teknologi. Sementara pada waktu yang sama, kita belum bisa menyediakan
ruang bermain yang sehat, seperti lapangan bola, yang memungkinkan mereka bisa
bermain bersama. Untuk itu, gagasan Ustaz Yusuf Mansur untuk membangun masjid
yang diisi dengan kegiatan 24 jam, perlu dijadikan titik mula sebagai benteng
terakhir.
Gagasan
menjadikan masjid sebagai benteng terakhir dari kegagalan sekolah dan institusi
keluarga mengajarkan ba gaimana anak didik menjalani hidupnya, sebagaimana
dinyatakan Neil Postman dalam Matinya Pendidikan: Redefinisi Nilai-Nilai
Sekolah tentu mengusik siapa pun untuk memikirkan kembali fungsi masjid.
Sekarang
sekolah tak lagi nyaman untuk menjadi ruang mengaktualisasikan siswa dan bahkan
ujian telah menjadi momok yang menakutkan. Demikian pula, kesibukan orang tua
di luar rumah telah menyebabkan anak-anak tak menemukan kehangatan di dalam
keluarga. Sejatinya, masjid harus membuka diri untuk menutup bolong kealpaan
sekolah dan keluarga.
Namun,
masjid tidak berada dalam kedudukan menggantikan peran sekolah dan institusi
keluarga. Dua yang terakhir tetap diperlukan untuk menjadi tempat anak-anak dan
remaja kita menyemai kecerdasan kognitif dan sosial. Sementara, pada waktu yang
sama, kecerdasan spiritual harus diperhatikan agar masyarakat menemukan
keseimbangan dalam kehidupannya. Tentu, di masjid mereka tak hanya belajar dan
mengajar mengaji, tetapi hal ihwal keagamaan lebih luas.
Dengan memakmurkan masjid, kita telah melakukan
banyak hal, seperti merawat batin di tengah gempuran deras iklan di sekeliling
kita yang memaksa secara halus untuk membeli banyak barang agar bahagia.
Demikian pula, masjid mengajak mereka untuk melupakan sejenak hiruk-pikuk
kebendaan yang makin meranggaskan spiritualitas masyarakat secara umum. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar