Korupsi Sudah
Menjadi Patologi Sosial Kita
Emrus ; Pakar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan
SUMBER : SINAR
HARAPAN, 11 Mei 2012
Marzuki Alie memang sosok kontroversial dan
tipe manusia spontanitas. Ia sering kali membuat pernyataan yang menghentakkan
publik dan membuat kuping orang yang “diserang” panas.
Pekan ini ia melontarkan isu kurang lazim
bagi masyarakat Indonesia yang menganut budaya timur, high context, walaupun
kadangkala pandangannya bermakna dalam.
Bahkan ada yang mengajukan gugatan ke
pengadilan sebagai tindakan perspektif mekanisitis hukum semata. Terus terang,
persoalan bangsa ini, terutama penuntasan korupsi, tidak dapat diselesaikan
dengan perspektif hukum formal. Tetapi, jauh lebih bijak jika dibahas dari
bangunan konstruksi sosial korupsi, termasuk pendekatan sosiologi hukum, untuk
menemukan strategi jitu pemberantasan korupsi.
Pernyataan Keprihatinan
Pekan ini Marzuki melontarkan isu,
sebagaimana dikutip berbagai media, “para koruptor itu bisa dari anggota Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia, anggota Himpunan Mahasiswa Islam, lulusan
Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan lainnya. Tidak ada orang
bodoh.” Ungkapan Marzuki tersebut tidak ada yang ganjil dan sangat normatif.
Berdasarkan semiotika komunikasi, pemakaian
kata “bisa” berarti pelaku korupsi produk dari berbagai institusi sosial, tidak
menunjuk secara pasti pada satu lembaga tertentu sebagai “penghasil” koruptor.
Penyebutan nama lembaga pada narasi tersebut harus dimaknai secara kontekstual,
dan jangan dipenggal dari rangkaian satu dengan lain. Jadi, tidak perlu ada
respons berlebihan dari orang atau lembaga yang disebutkan pada kalimat
Marzuki.
Bahkan dari sudut hermeneutika komunikasi,
ungkapan Marzuki, sebagai keprihatinan terhadap masifnya korupsi di Tanah Air
dan sekaligus bukti dilakukan oleh kalangan elite bersumber dari lembaga
pendidikan tinggi dan organisasi pergerakan moral. Ini karena seharusnya
institusi tersebut melahirkan kader pemimpin bangsa yang tangguh dan berani
menolak pemberian dalam bentuk apa pun sekalipun memiliki dan berada di pusat
kekuasaan. Karena itu, pernyataan Marzuki harus dibuat menjadi momentum
membongkor akar korupsi di Indonesia pada semua lini sosial, tak terkecuali di
lembaga pendidikan.
Tentu pendapat Marzuki tersebut lebih
kredibel jika dimulai dari dirinya sendiri. Sebagai “lokomotif” DPR, Marzuki
hendaknya sekaligus menawarkan kepada publik agar semua sumber dan kekayaan
yang dimilikinya, termasuk anggota keluarga, dapat diaudit akuntan publik
independen. Dengan demikian, Marzuki dapat menjadi role model pemberantasan
korupsi di Tanah Air.
Sayangnya, pandangan Marzuki mendapat
resistensi dari segelintir kalangan akademik dan LSM antikorupsi. Mereka seolah
menuduh justru DPR merupakan ladang korupsi, bukan kampus. Pandangan tersebut
menunjukkan generalisasi bahwa DPR itu menjadi tempat merambah uang rakyat.
Padahal, menurut pengalaman saya ketika
melakukan penelitian di DPR, tidak sedikit para anggota dewan berkerja sungguh-sungguh,
siang dan malam, untuk rakyat. Jadi, argumentasi itu sangat lemah karena tidak
didukung data valid dan metodologi yang dapat dipertangungjawabkan secara
akademik, hanya menggunakan narasi akal sehat. Bertindak dengan akal sehat
semata, kadangkala bisa menyesatkan diri sendiri dan masyarakat. Karena itu,
harus lebih hati-hati menggunakan akal sehat.
Produk Interaksi Sosial
Bila disimak saksama, dialektika antara
Marzuki dengan beberapa elite sosial justru tersingkap realitas bahwa ada kaum
elite intelektual sebagai produk lembaga perguruan tinggi dan penjaga moral
berada di sentral kekuasaan mencuri uang rakyat.
Padahal sebenarnya korupsi tidak hanya
dilakukan kaum terdidik. Korupsi sudah ada pada semua lini kehidupan sosial.
Pedagang kaki lima yang menggunakan kilogram sebagai alat ukur, misalnya, masih
ada yang belum sesuai standar. Pada instansi swasta, masih ada laporan pajak
belum transparan.
Tampaknya hal yang sama terjadi pada lembaga
pemerintah, mulai dari kantor desa, BUMN, bahkan sangat mungkin sampai ke
Istana Negara. Korupsi sudah menjadi patologi sosial kronis di Indonesia.
Aparat birokrat memanfaatkan wewenang yang
dimiliki untuk melakukan penyelewengan dengan sangat rapi. Pelakunya memiliki
kemampuan intelektual, pengalaman, dan kekuasaan sebagai produk konstruksi
sosial yang masih berlangsung di Indonesia hingga kini.
Sebagai aktor sosial, mereka memiliki akal
dan kehendak bebas merekayasa kebijakan melanggengkan tindakan korupsi
terselubung tanpa melanggar hukum formal, namun tetap bertentangan dengan moral
dan etika sebagai pejabat negara atau pegawai negeri, yaitu tidak menerima
dalam bentuk apa pun kerkait dengan pekerjaan yang diampu.
Salah satu bukti, sering kali muncul istilah
“diupayakan” dalam proses komunikasi korupsi antara atasan dengan bawahan di
instansi pemerintah. Istilah tersebut bermakna “rekayasa” untuk menyedot uang
rakyat.
Sebagian besar hasil kongkalikong disetor
kepada atasan dan dibagi-bagi kepada aparat sejawat terkait, sebagai jejaring
mafia militan. Rasa ingroup mereka sangat solid. Tidak heran mereka merekrut
anggota dan kaderisasi menduduki jabatan strategis di instansi pemerintah
pelayanan publik melestarikan “dinasti” korupsi.
Karena itu, pandangan yang mengatakan
terdapat tiga faktor melahirkan korupsi, yaitu ada kesempatan, niat, dan
tindakan korupsi, sepenuhnya benar. Ketiga faktor tersebut bukan produk sesaat,
tetapi melalui proses rekayasa sosial dalam kurun waktu lama. Korupsi pada masa
pemerintahan SBY, misalnya, juga sebagai produk proses sosial masa lalu.
Interaksi sosial semacam itu melahirkan “kesepakatan” sosial informal bahwa
korupsi seolah ”wajar”.
Dengan demikian, sangat tidak tepat kesalahan
hanya ditujukan kepada pelaku korupsi. Bahkan penyebutan oknum pada pelaku
korupsi sebagai pemikiran sesat sekaligus sebagai tindakan “cuci tangan
sosial”.
Lihat saja penyebutan oknum biasanya muncul
dari pemimpin orang yang melakukan korupsi. Jadi, korupsi di suatu lembaga
pemerintah maupun swasta sebagai produk sosial dari semua individu pada
instansi bersangkutan khususnya, dan sistem sosial Indonesia umumnya.
Tidak dapat dipungkiri, dari aspek
sosiologis, korupsi merupakan produk sosial dalam sejarah kehidupan bangsa
kita. Setiap orang terdorong melakukan korupsi, bila kumpulan individu saling
berkomunikasi menciptakan “lingkungan” realitas sosial mengutamakan materi dan
gaya hidup hedonisme sebagai ukuran keberhasilan. Bahkan korupsi bukan lagi
perilaku memalukan yang seharusnya dihindari.
Lihat saja para koruptor kita, baik yang
sedang diproses di pengadilan, menjalani hukuman, maupun yang sudah keluar dari
penjara, seperti mati rasa. Urat malu mereka tampaknya sudah putus.
Anehnya lagi, sanksi dalam bentuk isolasi
sosial dari masyarakat terhadap pelaku korupsi relatif tidak ada. Bahkan mantan
terpidana korupsi tampil seperti orang tak berdosa di depan publik menjadi
narasumber idealis membahas berbagai masalah sosial di negeri ini pada stasiun
televisi di Indonesia.
Melihat maraknya korupsi di Tanah Air dan
betapa sulit menuntaskanya sangat tidak pantas saling menuduh melakukan
korupsi, seperti yang terjadi antara Marzuki dengan segelintir intelektual dan
aktivis LSM antikorupsi. Itu menjadi kontra produktif mewujudkan tata kelola
negara bebas dari korupsi. Seharusnya elite bangsa ini lebih mengedepankan
wacana publik mengungkap mengapa terjadi korupsi di negeri ini.
Dari hasil diskusi dapat disusun strategi,
regulasi, kebijakan, dan program memberantas korupsi secara substansial pada
setiap lini aktivitas sosial di Indonesia. Tidak sekadar menangkap, memproses,
dan menghukum pelaku korupsi seperti yang terjadi sekarang ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar