Jumat, 11 Mei 2012

Korupsi Sudah Menjadi Patologi Sosial Kita


Korupsi Sudah Menjadi Patologi Sosial Kita
Emrus ;  Pakar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan
SUMBER :  SINAR HARAPAN, 11 Mei 2012


Marzuki Alie memang sosok kontroversial dan tipe manusia spontanitas. Ia sering kali membuat pernyataan yang menghentakkan publik dan membuat kuping orang yang “diserang” panas.

Pekan ini ia melontarkan isu kurang lazim bagi masyarakat Indonesia yang menganut budaya timur, high context, walaupun kadangkala pandangannya bermakna dalam.
Bahkan ada yang mengajukan gugatan ke pengadilan sebagai tindakan perspektif mekanisitis hukum semata. Terus terang, persoalan bangsa ini, terutama penuntasan korupsi, tidak dapat diselesaikan dengan perspektif hukum formal. Tetapi, jauh lebih bijak jika dibahas dari bangunan konstruksi sosial korupsi, termasuk pendekatan sosiologi hukum, untuk menemukan strategi jitu pemberantasan korupsi.

Pernyataan Keprihatinan

Pekan ini Marzuki melontarkan isu, sebagaimana dikutip berbagai media, “para koruptor itu bisa dari anggota Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, anggota Himpunan Mahasiswa Islam, lulusan Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan lainnya. Tidak ada orang bodoh.” Ungkapan Marzuki tersebut tidak ada yang ganjil dan sangat normatif.

Berdasarkan semiotika komunikasi, pemakaian kata “bisa” berarti pelaku korupsi produk dari berbagai institusi sosial, tidak menunjuk secara pasti pada satu lembaga tertentu sebagai “penghasil” koruptor. Penyebutan nama lembaga pada narasi tersebut harus dimaknai secara kontekstual, dan jangan dipenggal dari rangkaian satu dengan lain. Jadi, tidak perlu ada respons berlebihan dari orang atau lembaga yang disebutkan pada kalimat Marzuki.

Bahkan dari sudut hermeneutika komunikasi, ungkapan Marzuki, sebagai keprihatinan terhadap masifnya korupsi di Tanah Air dan sekaligus bukti dilakukan oleh kalangan elite bersumber dari lembaga pendidikan tinggi dan organisasi pergerakan moral. Ini karena seharusnya institusi tersebut melahirkan kader pemimpin bangsa yang tangguh dan berani menolak pemberian dalam bentuk apa pun sekalipun memiliki dan berada di pusat kekuasaan. Karena itu, pernyataan Marzuki harus dibuat menjadi momentum membongkor akar korupsi di Indonesia pada semua lini sosial, tak terkecuali di lembaga pendidikan.

Tentu pendapat Marzuki tersebut lebih kredibel jika dimulai dari dirinya sendiri. Sebagai “lokomotif” DPR, Marzuki hendaknya sekaligus menawarkan kepada publik agar semua sumber dan kekayaan yang dimilikinya, termasuk anggota keluarga, dapat diaudit akuntan publik independen. Dengan demikian, Marzuki dapat menjadi role model pemberantasan korupsi di Tanah Air.

Sayangnya, pandangan Marzuki mendapat resistensi dari segelintir kalangan akademik dan LSM antikorupsi. Mereka seolah menuduh justru DPR merupakan ladang korupsi, bukan kampus. Pandangan tersebut menunjukkan generalisasi bahwa DPR itu menjadi tempat merambah uang rakyat.

Padahal, menurut pengalaman saya ketika melakukan penelitian di DPR, tidak sedikit para anggota dewan berkerja sungguh-sungguh, siang dan malam, untuk rakyat. Jadi, argumentasi itu sangat lemah karena tidak didukung data valid dan metodologi yang dapat dipertangungjawabkan secara akademik, hanya menggunakan narasi akal sehat. Bertindak dengan akal sehat semata, kadangkala bisa menyesatkan diri sendiri dan masyarakat. Karena itu, harus lebih hati-hati menggunakan akal sehat.

Produk Interaksi Sosial

Bila disimak saksama, dialektika antara Marzuki dengan beberapa elite sosial justru tersingkap realitas bahwa ada kaum elite intelektual sebagai produk lembaga perguruan tinggi dan penjaga moral berada di sentral kekuasaan mencuri uang rakyat.

Padahal sebenarnya korupsi tidak hanya dilakukan kaum terdidik. Korupsi sudah ada pada semua lini kehidupan sosial. Pedagang kaki lima yang menggunakan kilogram sebagai alat ukur, misalnya, masih ada yang belum sesuai standar. Pada instansi swasta, masih ada laporan pajak belum transparan.

Tampaknya hal yang sama terjadi pada lembaga pemerintah, mulai dari kantor desa, BUMN, bahkan sangat mungkin sampai ke Istana Negara. Korupsi sudah menjadi patologi sosial kronis di Indonesia.

Aparat birokrat memanfaatkan wewenang yang dimiliki untuk melakukan penyelewengan dengan sangat rapi. Pelakunya memiliki kemampuan intelektual, pengalaman, dan kekuasaan sebagai produk konstruksi sosial yang masih berlangsung di Indonesia hingga kini.

Sebagai aktor sosial, mereka memiliki akal dan kehendak bebas merekayasa kebijakan melanggengkan tindakan korupsi terselubung tanpa melanggar hukum formal, namun tetap bertentangan dengan moral dan etika sebagai pejabat negara atau pegawai negeri, yaitu tidak menerima dalam bentuk apa pun kerkait dengan pekerjaan yang diampu.

Salah satu bukti, sering kali muncul istilah “diupayakan” dalam proses komunikasi korupsi antara atasan dengan bawahan di instansi pemerintah. Istilah tersebut bermakna “rekayasa” untuk menyedot uang rakyat.

Sebagian besar hasil kongkalikong disetor kepada atasan dan dibagi-bagi kepada aparat sejawat terkait, sebagai jejaring mafia militan. Rasa ingroup mereka sangat solid. Tidak heran mereka merekrut anggota dan kaderisasi menduduki jabatan strategis di instansi pemerintah pelayanan publik melestarikan “dinasti” korupsi.

Karena itu, pandangan yang mengatakan terdapat tiga faktor melahirkan korupsi, yaitu ada kesempatan, niat, dan tindakan korupsi, sepenuhnya benar. Ketiga faktor tersebut bukan produk sesaat, tetapi melalui proses rekayasa sosial dalam kurun waktu lama. Korupsi pada masa pemerintahan SBY, misalnya, juga sebagai produk proses sosial masa lalu. Interaksi sosial semacam itu melahirkan “kesepakatan” sosial informal bahwa korupsi seolah ”wajar”.

Dengan demikian, sangat tidak tepat kesalahan hanya ditujukan kepada pelaku korupsi. Bahkan penyebutan oknum pada pelaku korupsi sebagai pemikiran sesat sekaligus sebagai tindakan “cuci tangan sosial”.

Lihat saja penyebutan oknum biasanya muncul dari pemimpin orang yang melakukan korupsi. Jadi, korupsi di suatu lembaga pemerintah maupun swasta sebagai produk sosial dari semua individu pada instansi bersangkutan khususnya, dan sistem sosial Indonesia umumnya.

Tidak dapat dipungkiri, dari aspek sosiologis, korupsi merupakan produk sosial dalam sejarah kehidupan bangsa kita. Setiap orang terdorong melakukan korupsi, bila kumpulan individu saling berkomunikasi menciptakan “lingkungan” realitas sosial mengutamakan materi dan gaya hidup hedonisme sebagai ukuran keberhasilan. Bahkan korupsi bukan lagi perilaku memalukan yang seharusnya dihindari.

Lihat saja para koruptor kita, baik yang sedang diproses di pengadilan, menjalani hukuman, maupun yang sudah keluar dari penjara, seperti mati rasa. Urat malu mereka tampaknya sudah putus.

Anehnya lagi, sanksi dalam bentuk isolasi sosial dari masyarakat terhadap pelaku korupsi relatif tidak ada. Bahkan mantan terpidana korupsi tampil seperti orang tak berdosa di depan publik menjadi narasumber idealis membahas berbagai masalah sosial di negeri ini pada stasiun televisi di Indonesia.

Melihat maraknya korupsi di Tanah Air dan betapa sulit menuntaskanya sangat tidak pantas saling menuduh melakukan korupsi, seperti yang terjadi antara Marzuki dengan segelintir intelektual dan aktivis LSM antikorupsi. Itu menjadi kontra produktif mewujudkan tata kelola negara bebas dari korupsi. Seharusnya elite bangsa ini lebih mengedepankan wacana publik mengungkap mengapa terjadi korupsi di negeri ini.

Dari hasil diskusi dapat disusun strategi, regulasi, kebijakan, dan program memberantas korupsi secara substansial pada setiap lini aktivitas sosial di Indonesia. Tidak sekadar menangkap, memproses, dan menghukum pelaku korupsi seperti yang terjadi sekarang ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar