Senin, 07 Mei 2012

Penerapan UU Pencucian Uang dalam Perkara Korupsi

Penerapan UU Pencucian Uang
dalam Perkara Korupsi
Romli Atmasasmita; Guru Besar Emeritus, Anggota Dewan Pakar Partai Nasdem
SUMBER :  SINDO, 07 Mei 2012


Kasus Wisma Atlet, proyek Hambalang, serta beberapa proyek Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menyeret tokoh Partai Demokrat telah menimbulkan kehebohan di kalangan masyarakat Indonesia saat ini.

Sudah tentu semakin cepat penyelesaian kasus ini semakin baik dan semakin terang dan jelas siapa-siapa yang harus bertanggung jawab dan dalam perkara yang mana. Memang tujuan KPK menyidik kasus ini untuk membuat terang suatu perkara dan menemukan serta membuktikan pelakunya serta untuk menyelamatkan kerugian keuangan negara.

Awalnya KPK hanya memiliki UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 untuk mempertajam taring sarana hukum dalam pemberantasan korupsi antara lain dengan ketentuan gratifikasi dan pembuktian terbalik terbatas (limited of reversal of burden of proof). Akan tetapi upaya penyelamatan kerugian keuangan negara tidaklah signifikan dan berbanding terbalik dengan kerugian yang harus diselamatkan dan biaya yang telah dikeluarkan negara untuk mencapai tujuan tersebut.

Pemikiran yang menggagas keberadaan UU Pencucian Uang berasal dari penulis setelah Indonesia mendeklarasikan menjadi anggota Asia Pacific Group on Money Laundering (APG ML) di Manila sembilan tahun yang lampau. Keberadaan UU Anti Pencucian Uang Tahun 2002 diyakini sebagai “the last resort” untuk menyelamatkan kerugian keuangan negara dari tindak pidana korupsi dan aset hasil tindak pidana lainnya termasuk tindak pidana narkoba.

Namun, dalam praktik,UU Anti Pencucian Uang Tahun 2002 tidak memberikan kontribusi praktis dan signifikan untuk mencapai maksud dan tujuan pembentukannya. Hal ini karena antara lain terlalu bersandar pada prinsip know your customer, tetapi belum memberikan kewenangan kepada lembaga penyedia jasa keuangan untuk memperoleh informasi kebenaran material dari transaksi keuangan dalam aktivitas perbankan.

Dan belum menyentuh lembaga penyedia barang sehingga terjadi perubahan UU Anti Pencucian Uang Tahun 2003 dan kini telah diganti dengan UU RI Nomor 8 Tahun 2010 dengan titel berbeda, “Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang”(UU PPTPPU). Perubahan ketiga UU tersebut diharapkan membuahkan hasil memuaskan dan signifikan dan telah terjadi pada kasus petugas pajak Bahasyim dan Gayus.

Keunggulan UU Tahun 2010 adalah terletak pada kewajiban Lembaga Penyedia Jasa Keuangan dan Lembaga Penyedia Barang untuk melaporkan kepada PPATK tentang transaksi keuangan mencurigakan (TKM) untuk dianalisis oleh PPATK dan menghasilkan Laporan Hasil Analisis (LHA). Namun, PPATK tetap saja sangat bergantung pada tingkat kepatuhan kedua lembaga penyedia jasa tersebut.

Jelas bahwa pintu masuk indikasi pencucian uang atas hasil tindak pidana berada pada pundak lembaga penyedia jasa tersebut.Tingkat kepatuhan inilah yang seharusnya menjadi titik perhatian PPATK melalui cara evaluasi dan klarifikasi berkala dan berani menetapkan sanksi administratif dan menempatkannya sebagai terdakwa yang tidak kooperatif dalam pencegahan dan pemberantasan TPPU dengan ancaman sanksi pidana.

Sesuai dengan titel UU Tahun 2010, seharusnya PPATK berganti nama dengan Komisi Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dengan memiliki kewenangan seperti KPK. Dengan begitu, itu diharapkan dapat memberikan hasil signifikan dan dapat merupakan payung hukum yang terbaik dalam iklim bisnis dan investasi di Indonesia. Sekalipun UU Tahun 2010 telah dilengkapi dengan taring tajam pembuktian terbalik (Pasal77dan Pasal78), tetapiketentuan tersebut belum mengatur rinci bagaimana penerapannya di hadapan sidang pengadilan.

Perhatikan dengan teliti bunyi Pasal 77 sebagai berikut: untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Lalu siapakah yang harus membuktikan ada atau tidak adanya tindak pidana yang disangkakan terhadap terdakwa? Apakah mungkin terdakwa membuktikan bahwa yang bersangkutan tidak melakukan tindak pidana yang diduga merupakan “predicate offence” dari pencucian uang?

Dua pertanyaan tersebut masih perlu dikaji lebih jauh dan mendalam sekalipun yurisprudensi pembuktian terbalik dalam kasus Bahasyim telah terjadi dan belum ada yurisprudensi lain yang membantahnya. Wewenang memerintahkan kepada terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari atau terkait dengan tindak pidana adalah pada pundak hakim, bukan pada pundak penuntut (Pasal 78).

Jika terdakwa telah berhasil membuktikan dengan alat bukti yang cukup bahwa harta kekayaannya bukan berasal atau terkait tindak pidana, pertanyaan berikutnya, bagaimana penuntut harus bersikap? Tidak ada ketentuan hukum acara yang mengatur soal kewenangan penuntut untuk mengajukan alat bukti sebaliknya dan tidak ada penjelasan mengenai hal tersebut.

UU Tahun 2010 jelas merupakan UU yang mempertajam taring penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana termasuk tindak pidana korupsi jika dilengkapi hukum acara khusus dan rinci. Serta dilaksanakan dengan koordinasi yang baik dan sistematis antara PPATK, penyidik asal, dan kejaksaan.

Selain itu kelemahan UU Tahun 2010 juga belum dapat mendeteksi arus lalu lintas “cash-money” lewat korporasi. Harus segera dilakukan revisi terhadap UU Tahun 2010. Jika dengan peraturan pemerintah, itu bertentangan dengan Pasal 28 huruf J UUD 1945 yaitu mandat kewenangan yang membatasi hak asasi setiap orang hanya dapat dilakukan berdasarkan UU.

1 komentar:

  1. Untuk tambahan informasi terkait postingan di atas bisa juga lihat di link : pena.gunadarma.ac.id/bi-cegah-cuci-uang-via-jasa-non-bank/

    BalasHapus