Parpol Islam dan
Kesejahteraan Rakyat
Farid Alniezar ; Peneliti di Sekolah
Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama
(STAINU) Jakarta, Direktur Kajian Tafsir Ibukota (KTIK) Jakarta
(STAINU) Jakarta, Direktur Kajian Tafsir Ibukota (KTIK) Jakarta
SUMBER : SUARA
KARYA, 11 Mei 2012
Akhir-Akhir ini masyarakat semakin disuguhi dengan hal yang sama
sekali tidak bisa dipahami. Idealisme sebuah partai politik (parpol) seakan
diperjualbelikan. Juga, terlihat jelas semakin kentaranya nilai-nilai
pragmatisme yang diusung oleh hampir setiap parpol.
Kisruh soal bahan bakar minyak (BBM), misalnya, hanya sebagai
suguhan pemandangan anggota dewan, yang - meminjam istilah Gus Dur -, berwatak
kekanak-kanakan. Bahkan, semakin hari watak mereka semakin tidak waras.
Para politikus itu sama sekali tidak membela rakyat, apalagi
mengemban dan menyerap aspirasi rakyat. Alih-alih, mereka malah asyik bertarung
memperjuangkan partai masing-masing. Sehingga, peran parpol menjadi mandul
dalam menyejahterahkan rakyat. Parpol yang diwakili oleh para kadernya itu lebih
sering dan bahkan nyaris selalu mengutamakan kepentingan parpol ketimbang
menjadi pelayan masyarakat.
Dalam masalah BBM, misalnya, masih segar dalam ingatan betapa
pembahasan BBM tersebut sampai larut malam, dengan etika yang karut-marut, dan
hasilnya pun begitu sengakarut. Pola diskusi dan sidang yang sangat tidak
beretika, gontok-gontokan, debat kusir persis dengan mahasiswa semester awal
yang baru mengenal dunia diskusi. Hari-hari ini, juga ke belakang nanti adalah
di mana kemungkinan titik balik ketidakpercayaan masyarakat kepada parpol.
Betapa tidak, "topik jualan" di berbagai daerah akhir-akhir ini
adalah bermunculannya calon-calon pemimpin dari kalangan independen atau
non-partai. Ini sinyal bahwa rakyat sudah jengah dengan parpol.
Terlebih, dengan parpol yang bernafaskan serta berasaskan Islam.
Mereka memakai simbol-simbol Islam hanya sebagai kamuflase kepentingannya.
Tentu rakyat sudah punya file tersendiri mengenai penilaian terhadap
parpol-parpol yang diklaim islami itu.
Bahkan budayawan Ridwan Saidi, anak asli Betawi pernah mengatakan
bahwa parpol yang berhaluan Islam bukan lagi objek garapan disiplin ilmu
sosiologi, tapi adalah garapan atau objek ilmu arkeologi. (Saidi: 2010)
Itu artinya, parpol dengan jargon Islam itu sudah bukan zamannya lagi,
karena ia menanggung beban ganda, yakni mensejahterahkan rakyat melalui parpol,
sementara situasi perpolitikan dianggap semakin membusuk. Celakanya, mereka
tidak berhasil mengawinkan dua kutub tersebut sehingga partai Islam semakin
dijauhi serta tidak lagi diminati.
Partai Islam sudah dianggap sebagai fosil, sudah usang dan mulai
lapuk. Semestinya, partai Islam akan mudah memenangkan pemilihan umum kapan pun
dilaksanakan, karena mayoritas rakyat adalah muslim. Tetapi, yang terjadi
adalah partai Islam malah menjadi uswatun sayyiah (teladan jelek), tidak ada
bedanya dengan parpol lain yang termakan berbagai isu jelak di Tanah Air.
Jika kadernya tersandung masalah, maka seakan - dan ini memang
konsekuensinya - ia akan terkena dua sangsi sekaligus. Satu dari negara, dan
kedua dari masyarakat berupa sangsi sosial. Toh, tidak sedikit juga kader
parpol Islam yang tersandung kasus korupsi bahkan juga tersandung kasus amoral,
menonton video porno di saat persidangan sebagaimana pernah diberitakan di
media massa, beberapa waktu lalu.
Bagi parpol Islam tentu hal tersebut sangat memalukan, dan
sekaligus merupakan tamparan bagi parpol tersebut. Bagaimana mau
menyejahterakan rakyat kalau masalah moral pun masih belum "dipahami"
secara benar?
Yang menarik untuk dikaji selanjutnya adalah bahwa simbol serta
logo yang digunakan oleh parpol yang berasaskan Islam sebagai manhaj.
Perjuangannya adalah simbol-simbol kesucian, Kabah, bulan dan bintang, bumi
atau juga padi dan bulan sabit sebagai simbol keadilan dan kesejahteraan.
Logikanya, jika dilihat dari simbol-simbol tersebut, partai-partai
Islam ini sangat menjaga "citra" kesucian dengan menjadikan
lambang-lambang yang agamis. Tetapi, di sisi lain mereka gagal mendidik
kadernya untuk berpegang teguh pada prinsip sesuai visi dan misi mereka ingin
menyejahterahkan rakyat. Apalagi, jika ditinjau dari lanscape Islam tentu
mereka harus rahmatan lil alamin bukan sekedar rahmatan lil raiyyah
(kemaslahatan bagi rakyat) saja. (Tolhah: 2006)
Kita semakin miris mendapati sekian supervisialisme
(pendangkalan-pendangkalan) nilai yang terjadi di negeri ini, khususnya yang
melanda partai politik. Bisa dibayangkan, betapa sulitnya membedakan mana
ustadz dan mana koruptor serta pengemplang pajak di negara kita. Toh, mereka
sama-sama memakai simbol-simbol agamawi.
Ustadz memakai peci dan atribut Islam lahiriah tatkala ia
berceramah. Sedangkan fenomena koruptor dan maling uang negara memakai simbol
keislaman sangat lumrah ditemukan tatkala mereka masuk persidangan. Kala itu
mereka, para koruptor segera memakai baju koko lengkap dengan peci sembari
dibubuhi sumpah-sumpah Ilahi serta dicampur dengan isak tangis dan air mata
buaya yang seolah-olah juga berkata sesungguhnya, "aku tidak
bersalah."
Dengan demikian, kalau ingin dipercaya dan didukung oleh rakyat
maka partai Islam harus berbenah merapatkan barisan serta memikirkan gejela
supervisialisme nilai itu. Juga, gejala pendangkalan-pendangkalan lain yang
melanda partai-partai Islam agar dalam pemilihan umum nanti mereka tidak lagi
menjadi bahan tertawaan dan mendapat julukan parpol medioker, harus berbenah
mengembalikan nilai-nilai islami dalam melandasi setiap kegiatan.
Hal demikian sekaligus sebagai upaya menuju kesejahteraan bagi
rakyat. Ini memang sulit kalau tidak mau dikatakan utopis. Tetapi, itulah jalan
yang harus ditempuh jika ingin dipercaya rakyat. Wallahu Alam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar