Sabtu, 12 Mei 2012

Masa Depan Politik Islam


Masa Depan Politik Islam
Muhammad Abu Nadlir ;  Direktur Monash Institute dan
Dosen STE Bank Islam Mr Sjafruddin Prawiranegara Jakarta
SUMBER :  SUARA KARYA, 11 Mei 2012


Masa depan politik di Indonesia sesungguhnya akan sangat ditentukan oleh cara berpikir dan bertindak (perilaku) umat Islam mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam. Dalam konteks sistem politik perwakilan, maka representasi politik umat Islam di lembaga politik kenegaraan menunjukkan angka keterwakilan yang cukup normal.

Politik Islam di Indonesia saat ini tidak bisa hanya melihat partai politik (parpol) yang menggunakan Islam sebagai asas atau dasar formalnya. Tetapi, juga parpol yang menggunakan asas selain Islam di dalamnya dan terdapat para aktivis muslim yang memiliki komitmen kuat kepada Islam. Salah satu indikasi komitmen keislaman tersebut dapat dilihat dari track record mereka dalam kiprah siginifikan di dunia gerakan Islam di Indonesia sebelum terjun berpolitik praktis.

Jika membaca sejarah bahwa di masa rezim Orde Baru berkuasa, telah terjadi represi politik yang kemudian menyebabkan para aktivis muslim mengubah jalan perjuangan. Karena, represi politik rezim penguasa yang sedemikian kuat membuat perjuangan struktural melalui jalur politik dirasakannya semakin berat. Sebab itu, sebagian mereka kemudian mengambil jalan non politik.

Perubahan sikap sebagian aktivis muslim inilah yang kemudian melahirkan dua istilah kategoris bernuansa akademik, "Islam politik" dan "Islam kultural". Istilah Islam politik dilekatkan kepada para aktivis politik muslim yang bercitra sama dengan para aktivis politik muslim era lima puluhan di Dewan Konstituante. Sedangkan Islam kultural dilekatkan kepada mereka yang lebih memilih Islam tidak dijadikan sebagai baju atau bendera dalam berpolitik.

Kelompok Islam kultural mendapatkan ruang berkembang yang sangat baik. Sebab, kelompok ini tidak menimbulkan kecurigaan dan ketegangan dengan rezim karena tidak menempatkan gagasan konstruksi negara yang berlawanan dengan gagasan negara-nasional yang dipegang teguh oleh rezim. Setelah berkembang pesat dan mendapatkan kesempatan yang baik, mereka mengambil jalan struktural masuk ke struktur birokrasi negara dan partai politik selain Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Jalan ini semakin mendapat legitimasi intelektual setelah Nurcholish Madjid (Alm) melontarkan jargon politik, "Islam Yes, Partai Islam No?".

Jargon politik Cak Nur ini telah membuat banyak aktivis Islam masuk ke Golkar (Golongan Karya, waktu itu belum menjadi partai politik) dan di antara mereka juga ada yang masuk PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Partai non Islam bukan lagi "barang haram" bagi para aktivis muslim, bahkan kemudian dijadikan juga sebagai lahan untuk mengalokasikan nilai-nilai Islam dalam praktik politik.

Dari sinilah mulai terjadi "penghijauan" politik dan birokrasi. Umat Islam menjadi semakin dekat dengan kekuasaan. Bahkan, karena perubahan konstelasi politik, rezim menjadi merasa perlu untuk menjalin hubungan yang erat dengan umat Islam. Konteksnya adalah untuk mempertahankan dukungan politik.

Setelah reformasi, era keterbukaan dimulai dan melahirkan banyak parpol. Umat Islam bebas mendirikan dan berafiliasi dengan parpol mana pun. Para aktivis muslim tersebar di berbagai parpol yang ada, baik menggunakan Islam maupun selain Islam sebagai dasar formal. Mereka yang berpandangan bahwa Islam dan politik harus disatukan, mendirikan atau berafiliasi dengan parpol berasas Islam. Sedangkan mereka yang berpandangan bahwa Islam dan politik seharusnya dipisahkan, atau Islam harus dijadikan sebagai landasan etika dalam politik, mendirikan atau berafiliasi dengan parpol yang menggunakan dasar formal selain Islam.

Pada masa inilah para aktivis muslim yang memasuki dunia politik memiliki kesempatan untuk mengekspresikan perspektif keislaman. Sejarah akan mencatat, apakah mereka akan tetap konsisten dengan perspektif dan paradigma yang dimiliki, ataukah sebaliknya tidak konsisten dengan perspektif dan paradigma mereka sendiri.

Konsistensi dan inkonsistensi mereka akan dilihat dan dicatat oleh rakyat (umat). Jika konsisten, rakyat akan memberikan dukungan. Sebaliknya, jika inkonsisten, tentu saja rakyat akan memberikan hukuman melalui mekanisme demokrasi prosedural yang saat ini sudah semakin maju dan membuat rakyat semakin berdaulat, serta dapat secara relatif langsung dalam menentukan wakil dan pemimpin politik.

Yang jelas, saat ini masyarakat tidak lagi melihat parpol dari dasar formal yang digunakan saja. Sebab, banyak parpol memiliki dasar formal sama, menggunakan Islam sebagai asas/dasar, atau nasionalisme, dan seterusnya.

Namun, dasar formal ternyata tidak berkorelasi dengan praktik politik keseharian para politikusnya. Partai Islam tidak menjamin perilaku politik para politikusnya sesuai dengan Islam. Demikian juga dengan parpol yang menggunakan nasionalisme sebagai asas, ternyata tidak selamanya teguh berjuang untuk menolak kemauan asing yang membahayakan negara. Karena itu, jika toh dasar formal digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam memberikan dukungan, sesungguhnya yang lebih penting adalah konsistensi gagasan yang ditransformasikan secara sungguh-sungguh dalam bentuk kinerja. Singkatnya, yang dinilai oleh rakyat bukan hanya formalitas ideologi atau pandangan politik, tetapi kinerja dalam memperbaiki kehidupan rakyat.

Karena itu, masa depan politik Islam di Indonesia sesungguhnya sangat ditentukan oleh perilaku para politikus muslim dan kemampuannya memahami korelasi Islam dengan politik, diikuti dengan upaya mentransformasikannya dalam bentuk kebijakan dan kinerja riil. Dalam konteks ini, para aktivis muslim dituntut untuk secara sungguh-sungguh mempraktikkan politik alokatif, yakni mengalokasikan nilai-nilai Islam ke dalam praktik politik keseharian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar