Masa Depan
Politik Islam
Muhammad Abu Nadlir ; Direktur Monash
Institute dan
Dosen STE Bank Islam Mr Sjafruddin Prawiranegara Jakarta
Dosen STE Bank Islam Mr Sjafruddin Prawiranegara Jakarta
SUMBER : SUARA
KARYA, 11 Mei 2012
Masa depan politik di Indonesia sesungguhnya akan sangat
ditentukan oleh cara berpikir dan bertindak (perilaku) umat Islam mengingat
mayoritas penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam. Dalam konteks sistem politik
perwakilan, maka representasi politik umat Islam di lembaga politik kenegaraan
menunjukkan angka keterwakilan yang cukup normal.
Politik Islam di Indonesia saat ini tidak bisa hanya melihat
partai politik (parpol) yang menggunakan Islam sebagai asas atau dasar
formalnya. Tetapi, juga parpol yang menggunakan asas selain Islam di dalamnya
dan terdapat para aktivis muslim yang memiliki komitmen kuat kepada Islam.
Salah satu indikasi komitmen keislaman tersebut dapat dilihat dari track record
mereka dalam kiprah siginifikan di dunia gerakan Islam di Indonesia sebelum
terjun berpolitik praktis.
Jika membaca sejarah bahwa di masa rezim Orde Baru berkuasa, telah
terjadi represi politik yang kemudian menyebabkan para aktivis muslim mengubah
jalan perjuangan. Karena, represi politik rezim penguasa yang sedemikian kuat
membuat perjuangan struktural melalui jalur politik dirasakannya semakin berat.
Sebab itu, sebagian mereka kemudian mengambil jalan non politik.
Perubahan sikap sebagian aktivis muslim inilah yang kemudian
melahirkan dua istilah kategoris bernuansa akademik, "Islam politik"
dan "Islam kultural". Istilah Islam politik dilekatkan kepada para
aktivis politik muslim yang bercitra sama dengan para aktivis politik muslim
era lima puluhan di Dewan Konstituante. Sedangkan Islam kultural dilekatkan
kepada mereka yang lebih memilih Islam tidak dijadikan sebagai baju atau
bendera dalam berpolitik.
Kelompok Islam kultural mendapatkan ruang berkembang yang sangat
baik. Sebab, kelompok ini tidak menimbulkan kecurigaan dan ketegangan dengan
rezim karena tidak menempatkan gagasan konstruksi negara yang berlawanan dengan
gagasan negara-nasional yang dipegang teguh oleh rezim. Setelah berkembang
pesat dan mendapatkan kesempatan yang baik, mereka mengambil jalan struktural
masuk ke struktur birokrasi negara dan partai politik selain Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). Jalan ini semakin mendapat legitimasi intelektual setelah
Nurcholish Madjid (Alm) melontarkan jargon politik, "Islam Yes, Partai
Islam No?".
Jargon politik Cak Nur ini telah membuat banyak aktivis Islam
masuk ke Golkar (Golongan Karya, waktu itu belum menjadi partai politik) dan di
antara mereka juga ada yang masuk PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Partai non
Islam bukan lagi "barang haram" bagi para aktivis muslim, bahkan
kemudian dijadikan juga sebagai lahan untuk mengalokasikan nilai-nilai Islam dalam
praktik politik.
Dari sinilah mulai terjadi "penghijauan" politik dan
birokrasi. Umat Islam menjadi semakin dekat dengan kekuasaan. Bahkan, karena
perubahan konstelasi politik, rezim menjadi merasa perlu untuk menjalin
hubungan yang erat dengan umat Islam. Konteksnya adalah untuk mempertahankan
dukungan politik.
Setelah reformasi, era keterbukaan dimulai dan melahirkan banyak
parpol. Umat Islam bebas mendirikan dan berafiliasi dengan parpol mana pun.
Para aktivis muslim tersebar di berbagai parpol yang ada, baik menggunakan
Islam maupun selain Islam sebagai dasar formal. Mereka yang berpandangan bahwa
Islam dan politik harus disatukan, mendirikan atau berafiliasi dengan parpol
berasas Islam. Sedangkan mereka yang berpandangan bahwa Islam dan politik seharusnya
dipisahkan, atau Islam harus dijadikan sebagai landasan etika dalam politik,
mendirikan atau berafiliasi dengan parpol yang menggunakan dasar formal selain
Islam.
Pada masa inilah para aktivis muslim yang memasuki dunia politik
memiliki kesempatan untuk mengekspresikan perspektif keislaman. Sejarah akan
mencatat, apakah mereka akan tetap konsisten dengan perspektif dan paradigma
yang dimiliki, ataukah sebaliknya tidak konsisten dengan perspektif dan
paradigma mereka sendiri.
Konsistensi dan inkonsistensi mereka akan dilihat dan dicatat oleh
rakyat (umat). Jika konsisten, rakyat akan memberikan dukungan. Sebaliknya,
jika inkonsisten, tentu saja rakyat akan memberikan hukuman melalui mekanisme
demokrasi prosedural yang saat ini sudah semakin maju dan membuat rakyat
semakin berdaulat, serta dapat secara relatif langsung dalam menentukan wakil
dan pemimpin politik.
Yang jelas, saat ini masyarakat tidak lagi melihat parpol dari
dasar formal yang digunakan saja. Sebab, banyak parpol memiliki dasar formal
sama, menggunakan Islam sebagai asas/dasar, atau nasionalisme, dan seterusnya.
Namun, dasar formal ternyata tidak berkorelasi dengan praktik
politik keseharian para politikusnya. Partai Islam tidak menjamin perilaku
politik para politikusnya sesuai dengan Islam. Demikian juga dengan parpol yang
menggunakan nasionalisme sebagai asas, ternyata tidak selamanya teguh berjuang
untuk menolak kemauan asing yang membahayakan negara. Karena itu, jika toh
dasar formal digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam memberikan
dukungan, sesungguhnya yang lebih penting adalah konsistensi gagasan yang
ditransformasikan secara sungguh-sungguh dalam bentuk kinerja. Singkatnya, yang
dinilai oleh rakyat bukan hanya formalitas ideologi atau pandangan politik,
tetapi kinerja dalam memperbaiki kehidupan rakyat.
Karena itu, masa depan politik Islam di Indonesia sesungguhnya
sangat ditentukan oleh perilaku para politikus muslim dan kemampuannya memahami
korelasi Islam dengan politik, diikuti dengan upaya mentransformasikannya dalam
bentuk kebijakan dan kinerja riil. Dalam konteks ini, para aktivis muslim
dituntut untuk secara sungguh-sungguh mempraktikkan politik alokatif, yakni
mengalokasikan nilai-nilai Islam ke dalam praktik politik keseharian. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar