Jumat, 11 Mei 2012

Korupsi Pemilihan Kepala Daerah


Korupsi Pemilihan Kepala Daerah
Ade Irawan ;  Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
SUMBER :  KORAN TEMPO, 11 Mei 2012


Korupsi tidak hanya menjauhkan pemilihan kepala daerah secara langsung dari tujuan awalnya untuk menumbuhkan demokrasi, tapi juga menjadi salah satu penyebab banyaknya kepala daerah terjerat kasus korupsi.

Berdasarkan hasil riset evaluasi dan monitoring Indonesia Corruption Watch mengenai pelaksanaan pilkada di beberapa daerah, praktek korupsi terjadi dari hulu hingga hilir. Di sisi hulu, kandidat kepala daerah menggunakan berbagai cara guna mengumpulkan modal pemenangan, termasuk mencari dari sumber-sumber haram. Adapun di sisi hilir, berupa penggunaan modal yang dapat dikumpulkan kandidat dan tim suksesnya untuk mempengaruhi pemilih melalui cara-cara ilegal, seperti politik uang.

Selama ini pengawasan lebih berfokus pada sisi hilir. Tidak mengherankan jika sebagian besar temuan lembaga pengawas berhubungan dengan masalah administrasi dan jual-beli suara. Sementara itu, praktek korupsi di sisi hulu kerap luput dari sorotan. Padahal, apabila korupsi di sisi tersebut dapat dibendung, praktek jual-beli suara di sisi hilir akan hilang dengan sendirinya atau paling tidak berkurang.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menjadi dasar penyelenggaraan pilkada memang tidak menyinggung secara khusus modal pemenangan pasangan kandidat kepala daerah. Undang-undang tersebut hanya mengatur laporan dana kampanye.

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 dinyatakan kandidat kepala daerah dapat memperoleh modal kampanye dari empat sumber, yaitu diri mereka sendiri, partai politik, perseorangan, dan badan hukum swasta. Namun, agar persaingan bisa lebih adil, pemerintah membatasi sumbangan untuk perseorangan tidak melebihi Rp 50 juta dan badan hukum swasta Rp 350 juta. Selain itu, pasangan kandidat kepala daerah wajib melaporkan dana kampanye kepada Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota atau Provinsi dan lembaga tersebut akan mempublikasikan kepada publik.

Walau begitu, laporan dana kampanye tidak dapat menggambarkan modal pemenangan yang sesungguhnya. Sebab, kandidat umumnya akan memanipulasi laporan. Jumlah dana yang dicatat jauh lebih kecil dibanding yang berhasil mereka kumpulkan. Sebagai contoh, dalam pilkada Kabupaten Pandeglang 2010, pasangan pemenang dalam laporan dana kampanye mengaku hanya menghabiskan modal Rp 500 juta.

Selain berpura-pura miskin, tidak semua identitas penyumbang dicantumkan, atau nilai sumbangan di-markdown agar tidak melebihi batas maksimal yang telah ditetapkan undang-undang. ICW menemukan paling tidak tiga modus manipulasi laporan dana kampanye dalam pilkada. Pertama,“alamat palsu“. Alamat penyumbang (perseorangan dan badan usaha swasta) yang dicantumkan dalam laporan dana kampanye ternyata palsu, antara lain tidak ada alamat yang dicantumkan, alamat ganda, alamat tidak jelas, dan ada alamat tapi nama perusahaannya ternyata tidak ada.

Kedua, perusahaan/badan usaha yang menjadi penyumbang tidak memiliki nomor pokok wajib pajak yang menjadi persyaratan dalam menyumbang. Ketiga, penyumbang tidak layak menyumbang. Banyak pasangan calon yang memasukkan “orang miskin“sebagai penyumbang, bahkan jumlah sumbangannya di luar akal sehat.

Modal Haram

Modal haram pemenangan yang kerap disembunyikan kandidat kepala daerah bisa berasal dari dua sumber. Pertama, pengusaha. Ada dua golongan pengusaha yang biasanya berkepentingan mempengaruhi proses pilkada, yaitu pengusaha yang akan atau memiliki perusahaan di daerah tersebut dan pengusaha “spesialis“proyek-proyek anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pengusaha kelompok pertama berkepentingan agar mendapat proteksi, izin monopoli, ataupun ekspansi usaha. Biasanya mereka menyumbang semua kandidat dengan proporsi yang berbeda-beda. Semakin besar potensi kandidat untuk menang, semakin besar sumbangan yang diberikan oleh pengusaha.

Adapun jenis pengusaha yang kedua sudah jelas kandidat dukungannya. Mereka biasanya tidak hanya berperan menyediakan modal, tapi juga aktif bergabung dalam tim sukses. Sebab, bisnisnya sangat bergantung pada hasil pemilihan. Jika “jago”-nya menang, bisa dipastikan bisnisnya akan berkembang, karena sudah ada jaminan proyek-proyek diarahkan ke perusahaannya. Tapi sebaliknya, jika kalah, mereka bisa bangkrut.

Sumber modal haram kedua adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/APBD. Penggunaan anggaran negara biasanya terjadi apabila petahana mencalonkan kembali atau mendukung kandidat tertentu.

Caranya bisa dengan mengarahkan program-program di APBN/APBD untuk meningkatkan popularitas. Menjelang pemilihan, dinas-dinas akan memperbanyak program populis dan pencitraan. Petahana mengkapitalisasi antara lain terlibat dalam setiap seremoni peluncuran program yang bersentuhan langsung dengan pemilih, seperti pemberian bantuan beasiswa, pengobatan gratis, dan pembangunan fasilitas publik. Gambarnya pun dipastikan muncul dalam setiap Iklan layanan masyarakat.

Bisa pula secara langsung membajak APBN/APBD untuk menambah modal pemenangan. Biasanya yang paling sering digunakan adalah dana hibah dan Bantuan Sosial (Bansos). Alokasi belanja hibah dan Bansos dinaikkan dan diarahkan pada lembaga-lembaga yang dimiliki oleh teman dan kerabat petahana, seperti anak, suami, ipar, dan menantu. Cara lainnya adalah membuat lembaga-lembaga penerima fiktif.

Praktek korupsi tidak hanya menjadikan pilkada sebatas arena perebutan kekuasaan, tapi juga membuat kepala daerah terpilih tersandera. Mereka mesti membalas budi para “donatur“dengan proyek-proyek di APBD, proteksi, serta izin-izin usaha yang kerap bertentangan dengan aturan dan kepentingan masyarakat. Itu sebabnya, setelah pilkada langsung, kecenderungan kepala daerah yang berurusan dengan aparat penegak hukum gara-gara korupsi makin bertambah.

Walau begitu, bukan berarti kita mesti melangkah mundur dengan kembali menjadikan rakyat sebagai penonton dalam pemilihan kepala daerahnya. Hal yang harus dilakukan adalah menegakkan aturan main dan membuat terobosan untuk mencegah praktek korupsi di sisi hulu ataupun hilir penyelenggaraan pilkada.

Untuk menghindari upaya “penyanderaan“kandidat kepala daerah, harus ada pembatasan pengeluaran dana kampanye dan transparansi laporan keuangan kepada publik. Kandidat yang tertutup dan terbukti memanipulasi laporan ataupun melakukan politik uang tidak hanya dianulir kepesertaannya, tapi juga dipidanakan.

Selain itu, beberapa solusi yang diusulkan pemerintah melalui Rancangan Undang-Undang Pilkada patut didukung, seperti menurunkan ongkos politik dengan melarang pembelian “perahu“dukungan bagi partai politik dan pembatasan pengeluaran dana kampanye. Termasuk upaya mencegah pembajakan anggaran negara dengan mendorong cuti panjang bagi petahana serta moratorium program hibah dan Bansos di daerah-daerah yang akan menyelenggarakan pilkada. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar