Otonomi Pangan dan Desentralisasi Komoditas
Indra Yudhika Zulmi; Mahasiswa Departemen Teknik Mesin
dan Biosistem,
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 05 Mei 2012
TIGA
isu yang menjadi sorotan dunia saat ini ialah pangan, energi, dan kelestarian
lingkungan. Ketiga isu tersebut menyangkut kelangsungan hidup manusia. Isu itu
menjadi kompleks karena bersinggungan satu sama lain, tarikmenarik, dan berada
pada satu titik tumpu, yaitu pertanian.
Oleh karena itu, sebuah strategi yang tepat, menyeluruh, dan berkelanjutan
diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan pangan.
Tantangan
dan persoalan pangan tidak hanya bertumpu pada orientasi fisik, penyediaan, dan
harga pasar, tetapi juga terkait dengan nilai-nilai budaya, sosiologis, dan
karakteristik masyarakat suatu daerah. Secara nasional, kebijakan sen tralistis
mungkin akan berhasil terhadap suatu pencapaian, tetapi belum tentu pada
tingkat daerah. Pada 1984, saat Indonesia mencapai swasembada beras, apakah
juga diikuti swasembada beras di seluruh pelosok Tanah Air? Bagaimana
ketersediaan komoditas lain? Apakah pencapaian tersebut berkelanjutan? Suatu
hal yang pasti, pencapai an tersebut menyebabkan degradasi lahan yang masih
kita rasakan hingga saat ini.
Mengapa Otonomi?
Otonomi
pangan merupakan kewenangan daerah untuk menentukan kebijakan strategis terkait
dengan persoalan pangan di daerah administratifnya. Kebijakan tersebut mencakup
kualitas, ketersedia an, distribusi, serta nilai-nilai budaya dan kearifan
lokal masyarakat setempat, yaitu karakteristik dan perilaku konsumsi pangan.
Daerah otonom pangan idealnya merupakan suatu daerah yang mampu memproduksi,
mengolah, dan memasarkan pangan berkualitas serta sesuai dengan karakteristik
dan perilaku konsumsi pangan masyarakat dalam satu wilayah administratif.
Otonomi
pangan setidaknya memiliki empat kelebihan. Pertama, berbasis sumber daya lokal
yang tahan krisis ekonomi. Fluktuasi perekonomian global yang sulit diprediksi
menyebabkan ketidakpastian harga pangan. Dengan begitu, harga pangan tidak
hanya dipengaruhi biaya produksi, tetapi juga dipengaruhi kurs mata uang,
kebijakan fiskal dan moneter, hubungan luar negeri, dsb. Begitu banyak variabel
yang sulit diprediksi akan menyebabkan ketersedia an dan harga pangan rentan
krisis ekonomi.
Kedua,
memperpendek rantai perdagangan. Faktor utama tingginya harga pangan dalam
negeri jika dibandingkan dengan pangan impor ialah rantai perdagangan yang
panjang. Penguasaan lahan, infrastruktur, teknologi, kontinuitas, dan produksi yang
relatif rendah dari petani lokal menjadi ladang subur bagi rentenir dan
pengepul untuk meraup keuntungan. Otonomi pangan dengan cakupan pemasaran yang
relatif sempit (dalam satu kabupaten/kota atau provinsi) dapat memperpendek
rantai tersebut.
Ketiga,
menggerakkan dan memperkukuh perekonomian lokal. Harga yang terjangkau karena
rantai perdagangan pendek akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang pada
gilirannya memperkukuh stabilitas perekonomian nasional.
Keempat,
memperkuat kelembagaan masyarakat. Teritori yang sempit dan kedekatan
masyarakat menjadi modal sosial yang baik untuk perkembangan kelembagaan
masyarakat, seperti kelembagaan petani, nelayan, buruh, dan pedagang.
Masyarakat yang terlembagakan dengan baik dapat menjalankan fungsi controlling
dan supporting terhadap sistem ketahanan pangan.
Desentralisasi Komoditas
Kemandirian
pangan daerah sangat bersifat spesifik. Hal itu karena kemampuan dan
ketersediaan sumber daya yang berbeda di setiap daerah. Kebijakan sentralisasi
komoditas menyebabkan permasalahan ekologis, sosial-ekonomi, dan cultural shock
di tingkat daerah. Keragaman daerah melahirkan perbedaan karakteristik dan
besaran persoalan pangan yang ada.
Pemerintah
daerah perlu diberi kewenangan untuk menentukan komoditas unggulan daerahnya.
Desentralisasi komoditas memiliki tiga kelebihan. Pertama, terkait dengan
akseptabilitas masyarakat. Komoditas pangan daerah tidak lahir begitu saja. Itu
merupakan sebuah konsensus masyarakat yang telah terbangun sejak lama. Modal
sosial seperti ini akan membentengi pasar-pasar lokal dari serbuan pangan
impor.
Kedua,
kelestarian ekologis. Pihak yang pertama dirugikan kerusakan ekologi adalah
masyarakat yang mendiami daerah tersebut. Dalam dinamika dan perkembangan
interaksinya dengan lingkungan, manusia menemukan tata cara yang tepat untuk
memproduksi pangan di suatu daerah. Oleh karena itu, produksi pangan dengan
kearifan lokal daerah lebih menjaga kelestarian ekologis.
Ketiga,
komoditas pangan unggulan daerah menjadi aset suatu daerah. Saat ini komoditas
pangan adalah komoditas ekonomi. Pangan unggulan daerah dapat menjadi sarana
promosi dan pariwisata yang dapat meningkatkan pendapatan daerah.
Otonomi
pangan dan desentralisasi komoditas dengan perangkat kewenangan secara otonom
akan mampu menjamin ketersediaan pangan suatu daerah. Perangkat kelembagaan
masyarakat juga efektif dalam mengawasi kelestarian lingkungan. Jika
sewaktu-waktu terjadi krisis pangan, pemerintah daerah dapat memanfaatkan
perkembangan teknologi informasi dan infrastruktur untuk mengatasi krisis
tersebut secepat mungkin.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pemerintah
pusat antara lain pengawasan terhadap harga pangan pokok. Ketersediaan sumber
daya, bencana, serangan hama, dsb dapat menyebabkan disparitas harga pangan
antardaerah, yang jika dibiarkan akan mengganggu ketersediaan pangan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar