Sabtu, 05 Mei 2012

Dramartugi Korupsi


Dramartugi Korupsi
Budiarto Shambazy; Wartawan Senior KOMPAS
SUMBER : KOMPAS, 05 Mei 2012


Entah siapa yang memulai, tiba-tiba muncul wacana tentang kemungkinan Angelina Sondakh diberi status istimewa sebagai kolaborator keadilan (justice collaborator). Wajar terjadi pro dan kontra yang cukup menghebohkan.

Singkat kata, Angie (Angelina Sondakh) akan diperlakukan sebagai orang yang berhak atas perlindungan jika mau ”buka mulut”. Bahkan, ia layak mendapat keringanan hukuman dan juga hadiah (reward), entah apa bentuknya, kalau bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Di Amerika Serikat, peniup peluit (whistle blower) atau kolaborator keadilan boleh ganti identitas, pindah domisili, dan dicarikan pekerjaan. Apakah Angie pantas diperlakukan demikian?

Betul praktik kolaborator keadilan membantu pengusutan, penyidikan, dan penyelidikan serta diterapkan secara universal di sejumlah negara. Betul ia mungkin saja bisa menjadi senjata ampuh untuk memberantas korupsi sistemik.

Namun, praktik ini belumlah terlalu lama diterapkan di sini alias masih bersifat eksperimentasi. Salah satu kasus menarik, Agus Condro menjadi peniup peluit dalam proses peradilan cek perjalanan yang melibatkan sejumlah anggota DPR.

Ada risiko status kolaborator bagi Angie akan kontraproduktif. Seperti disinyalir berbagai pihak, ia tak mustahil menjadi ajang transaksional karena Angie adalah fungsionaris Partai Demokrat yang diseret ke pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) setelah M Nazaruddin.

Dan, sudah sekitar tiga tahun sejak perang ”cicak vs buaya”, pemberantasan korupsi yang melibatkan pejabat/politisi mengalami stagnasi. Telah terbukti KPK berulang kali mengalami berbagai hambatan politis/psikologis menjalani proses panjang untuk memaksa Angie jadi tahanan.

Sampai kini pun KPK dan pengadilan tipikor belum mampu mengungkap hal yang sederhana: siapakah ”ketua besar” dan ”bos besar”? Konfrontasi Angie versus Mindo Rosalina Manulang gagal serta ”apel Malang” dan ”apel Washington” masih tetap misterius.

Entah sudah berapa saksi/tersangka/terpidana yang potensial dijadikan peniup peluit untuk mengungkap skandal-skandal korupsi wisma atlet, Hambalang, dan lain-lain. Namun, semua peluang emas itu tersia-siakan saja.

Sederhananya, kalau memang bertekad serius, mengapa bukan Nazaruddin yang diberi status kolaborator? Terlebih lagi Nazaruddin diduga terlibat dalam korupsi sistemik yang nilainya mencapai hampir Rp 7 triliun.

Itu sebabnya, wajar wacana kolaborator bagi Angie menimbulkan tanda tanya. Ada pertanyaan apakah pimpinan KPK—yang sempat mengalami kriminalisasi dan diberitakan pecah—mulai menyerah kehilangan semangat melakukan tugasnya?

Status kolaborator bagi Angie juga menimbulkan kesan pemberantasan korupsi yang semestinya sederhana ibarat membalikkan telapak tangan, dibuat jadi berbelit-belit. Tak heran mayoritas masyarakat sudah jenuh dan apatis menyaksikan berbagai akrobat pemberantasan korupsi di negeri ini.

Lebih dari itu, panggung pemberantasan korupsi yang dipentaskan di ruang publik kita lebih banyak didominasi akting para politisi yang tak kalah lucu dibandingkan stand up comedy. Nyaris setiap hari kita disuguhi anekdot-anekdot yang kurang mencerdaskan—apalagi membasmi korupsi.

Jangan salah, kolaborator keadilan bukan konsep buruk. Namun, praktik tersebut lebih efektif untuk jenis kejahatan terorganisasi yang teramat sukar diberantas oleh para penegak hukum.

Sebab, kejahatan terorganisasi tersebut berlangsung selama puluhan tahun dan sering kali melibatkan aparat, seperti hakim, jaksa, dan polisi. Dan, kejahatan tersebut bersifat multifaceted dan bertali-temali, seperti narkoba, judi, pelacuran, pemerasan, dan penyelundupan.

Berbeda dengan kejahatan korupsi yang melulu dilakukan oleh pejabat/politisi dan bersifat single faceted. Secara teoretis jauh lebih mudah memberantas korupsi selama ada itikad—bukan sekadar retorika atau saling silat lidah saja.

Misalnya, kejahatan terorganisasi yang dilakukan oleh jaringan mafia di AS dan Italia. Berhubung sukar, para penegak hukum di kedua negara itu—juga negara-negara lain—mencoba obat mujarab lain yang lebih jitu, yakni kolaborasi keadilan (collaborative justice).

Inilah kerja sama, sinergi, dan koordinasi antar- institusi penegak hukum yang dirasa amat kurang di sini. KPK justru dibentuk karena kerja sama, sinergi, dan koordinasi institusi-institusi penegak hukum—terutama polisi dan jaksa—kurang berjalan sebagaimana semestinya.

Kolaborasi keadilan juga melibatkan berbagai unsur masyarakat—termasuk pers, aktivis, akademisi, sampai organisasi-organisasi kemasyarakatan dan agama—membantu pemberantasan mafia. Di sini, masyarakat hanya dianggap seperti obat nyamuk yang kurang layak didengar.

Itulah yang membuat pejabat/politisi kita merasa kebal hukum, mendominasi wacana, dan menyuguhkan etos kerja yang kurang mencerdaskan di ruang publik. Lihat saja politisi yang melakukan tindak pidana memakai pelat nomor mobil palsu dan hanya ditegur atau yang merasa mampu menjadi manajer timnas PSSI.

Begitulah, kita sudah terlalu sering menyaksikan berbagai ulah yang heboh yang dilakoni para pejabat/politisi. Mereka tak kenal lelah gonta-ganti skrip setiap pekan guna mengalihkan perhatian dari masalah sesungguhnya: pemberantasan korupsi.
Pemberantasan korupsi hanyalah dramaturgi yang tak kunjung selesai sampai 2014. Saya agak yakin Anda bukan cuma gemar menikmatinya, jangan-jangan malah sudah ketagihan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar