Agrokolonial
Sofyan Sjaf; Dosen Departemen Sains Komunikasi Pembangunan Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB)
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 05 Mei 2012
DI
pojok salah satu kantin kampus IPB Darmaga, bebera pa mahasiswa dan dosen
terlihat begitu asyik berdiskusi. Sembari mencicipi makanan, satu-dua orang di
antara mereka mempertanyakan, apakah makanan itu sudah `merdeka'? Pertanyaan
kritis tersebut berangkat dari realitas kuatnya keinginan pemerintah untuk
me-neoliberalisasi-kan sektor pertanian.
Lihatlah bagaimana Menko
Perekonomian Hatta Rajasa dengan bangga menyatakan salah satu komitmen yang
dihasilkan dalam ajang World Economic
Forum (WEF) ialah kesepakatan antara Indonesia, negara peserta, dan WEF
tentang kemitraan di sektor pertanian yang berkesinambungan. Itu ditandai
dengan komitmen 14 perusahaan swasta (transnasional), yaitu Metro, Nestle,
Unilever, Cargill, Sygenta, Dupon, Mosanto, Mckinsey, Indofood, ADM, SwissRA,
Sinar Mas, Bungee, dan Kraft.
Meski
masuknya 14 perusahaan tersebut akan berkomitmen melibatkan petani, apakah itu
sudah terbukti mendorong kesejahteraan petani dan kedaulatan pangan? Atau
sebaliknya, sebuah konstruksi program penghapusan secara perlahan-lahan petani
kecil di Republik ini?
Prestasi yang Menghancurkan
Empat
belas perusahaan yang berkomitmen tersebut bukanlah perusahaan-perusahaan
pemula yang beroperasi di Indonesia. Beberapa di antaranya, seperti Nestle,
Unilever, Cargill, Sygenta, Mosanto, dan Sinar Mas, ialah perusahaan yang sudah
lama beroperasi di Indonesia. Pertanyaannya, bagaimana prestasi pertanian kita
seiring dengan kehadiran perusahaanperusahaan tersebut?
Pertama,
kehadiran perusahaan-perusahaan tersebut tidak banyak berkontribusi terhadap
tingkat kesejahteraan petani, sebaliknya hanya melanggengkan kelas buruh tani.
Dengan kata lain, tidak ada kenaikan kelas dari buruh tani menjadi petani
berdaulat. Simaklah data Potensi Desa Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa jumlah
rumah tangga petani (RTP) terus bertambah sebanyak 26,4 juta KK yang memiliki
lahan di bawah 1 hektare dan keluarga buruh tani yang tidak memiliki lahan
sebanyak 8,87 juta KK.
Kedua,
kehadiran perusahaan-perusahaan tersebut menyebabkan terjadinya penghancuran
kebudayaan dan cara produksi pertanian ekologis rakyat menjadi industrial
eksploitatif, kerusakan ekosistem, dan biodiversitas. Lihatlah alih fungsi
(konversi) hutan ke perkebunan sawit yang terus bertambah. Sampai dengan saat
ini, konversi hutan mencapai 19.840.000 hektare yang dialokasikan untuk
perkebunan kelapa sawit.
Ketiga,
prestasi impor pangan semakin tinggi. Tercatat impor gandum 4 juta ton/tahun,
impor gula 1,5 hingga 2 juta ton/tahun, impor kedelai mencapai angka 1,3 hingga
1,5 juta ton/tahun, dan impor jagung 600 ribu hingga 1 juta ton/tahun.
Ketiga
alasan tersebut membuktikan bahwa kehadiran TNC (transnational coorporation) di sektor pangan tidak mempunyai andil
terhadap perbaikan nasib petani, lingkungan, biodiversitas, dan produktivitas
tanaman pangan.
Lalu mengapa pemerintah begitu antusias dengan kehadiran 14 perusahaan
tersebut? Jawabannya ialah karena pemerintah lebih memilih sistem agrokolonial
sebagai jalan membangun pertanian kita. Padahal, agrokolonial merupakan
pewarisan struktur berpikir kolonialisme ketika sektor pertanian diorientasikan
pada aktivitas produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar. Sementara itu,
orientasi produksi pemenuhan kebutuhan pangan keluarga dikesampingkan.
Keluar dari Belenggu Agrokolonial
Ilustrasi
tadi menunjukkan sistem pertanian kita masih terbelenggu oleh struktur
agrokolonial. Pemerintah cenderung memilih kebijakan yang memberikan ruang
selebar mungkin kepada investor luar (daerah/negeri) ketimbang petani. World Economic Forum Partnership for
Indonesia Sustainable Agriculture (WEFPISA) merupakan bukti dukungan pemerintah
terhadap sistem agrokolonial. Sementara itu, faktor ekologi dan sosial-ekonomi
agrikultur kita tidak menjadi pertimbangan mendasar. Di kemudian hari dapat
dipastikan, kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan kerusuhan (konflik
vertikal-horizontal) di perdesaan kita tidak akan dapat dihindari.
Dengan
demikian, untuk keluar dari belenggu agrokolonial, dibutuhkan sistem pertanian
yang memerdekakan petani. Yakni, sistem pertanian Pancasilais (agro-Pancasi
lais) yang membumikan prinsip-prinsip ketuhanan, bukan kapitalis; kemanu siaan
untuk petani, bukan untuk korporasi; persatuan petani, bukan mempersatukan
korporasi; pertanian rakyat, bukan pertanian korporasi; dan keadilan bagi
petani, bukan korporasi.
Adapun
sistem agro-Pancasilais dalam praktiknya dapat ditemukan dalam agroekologi. Agroekologi
ialah sistem pertanian polikutur yang berorientasi pada kultur dan keluarga
petani. Sistem pertanian yang mengarusutamakan kepentingan pemenuhan pangan
petani (kedaulatan pangan) dan bukan sebaliknya, untuk kepentingan pasar.
Cara
produksi pertanian ini tidak mendahulukan perusahaan (korporasi), tetapi
keluarga petani. Dengan demikian, keberlanjutan pertanian Indonesia tergantung
keberadaan keluarga petani sehingga kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan
kerusuh an sosial di perdesaan dapat teratasi.
Di
dunia kini, agroekologi sudah berkembang dengan pesat meski nyaris tanpa
dukungan dari pemerintah. Bahkan di Indonesia, telah ditemukan pusdiklat milik
petani yang menerapkan agroekologi. Inisiatif yang dilakukan petani itu dapat
dijadikan sebagai spirit kebangkitan para petani kecil dengan agro-Pancasilais
mereka. Prinsip `ketuhanan' dalam bentuk kearifan lokal telah mampu
meningkatkan produksi panen mulai dua kali hingga tiga kali lipat. Kerusakan
tanah akibat penggunaan bahan kimia berlebihan sebagai bentuk praktik
agrokolonial selama bertahun-tahun bahkan mulai pulih.
Akhirnya, membangun pertanian untuk
kesejahteraan petani dengan cara membebaskan petani kecil dari belenggu sistem
agrokolonial. Dengan kata lain, agro-Pancasilais dalam bentuk agroekologi
merupakan antitesis agrokolonial yang menjadi tumpuan pemerintah saat ini.●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar