Jumat, 25 Mei 2012

Negara dan Kekerasan Ormas


Negara dan Kekerasan Ormas
Abdullah Salam ; Mahasiswa STAIN Surakarta
SUMBER :  SUARA KARYA, 25 Mei 2012



Aksi kekerasan yang berlangsung di depan hidung aparat negara terus saja terjadi. Negara gamang mengatasinya meskipun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berulang kali menekankan agar negara tidak boleh takhluk pada aksi kekerasan yang meresahkan rakyat.

Lebih celaka karena aparat negara hanya menonton tindakan itu, terkesan takut bertindak tegas. Bentrok antardesa bertetangga atau antarkelompok masyarakat terus terjadi di nenerapa daerah yang mengakibatkan korban luka, meninggal dunia, dan rusaknya rumah penduduk. Rentetan peristiwa kekerasan kian menunjukkan negara tak berdaya. Padahal, eskalasi kekerasan massa dapat memicu aksi yang lebih besar jika polisi tidak segera meredam pemicunya. Data yang dicatat Setara Institute berkaitan dengan kekerasan terhadap kebebasan beragama, dua tahun terakhir cukup mengagetkan. Pada 2011 terdapat 244 kasus dan pada 2010 (117 kasus).

Belum termasuk aksi kekerasan geng motor, organisasi masyarakat tertentu, dan tawuran pelajar. Data tersebut mengindikasikan, hampir semua ruang publik tidak ada yang steril dari kekerasan. Rasa aman masyarakat laksana barang mahal yang tidak mampu dibeli. Padahal, negara memiliki aparat yang diberi tugas untuk melindungi masyarakat dari keterancaman kekerasan. Juga, ada instrumen hukum seperti KUHP (Pidana) yang bisa dipakai polisi untuk menindak tegas pelaku kekerasan dengan membawanya ke ruang pengadilan.

Terkesan polisi tidak berani menempuh risiko jika yang melakukan kekerasan berbentuk 'massa' atau organisasi masyarakat tertentu. Berbeda jika rakyat kecil mencuri sandal atau mencuri kakao. Polisi begitu sigap dan cekatan menangkap dan membawanya ke pengadilan untuk dihukum.

Jaga Pluralisme

Kasus anarkisme massa, termasuk yang menekan aparat negara untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sudah masuk pada tahap membahayakan. Eskalasinya begitu memprihatinkan dan mengancam kebhinekaan Indonesia. Kalau tidak menimbulkan kerusakan fisik bangunan atau barang, aksi-aksi tersebut juga berpotensi dapat menimbulkan korban luka dan meninggal dunia. Apa pun alasan dan motif yang memicunya, aksi-aksi kekerasan tersebut termasuk tindakan barbar yang tidak boleh diberi ruang.

Di alam demokrasi saat ini segala ketidakpuasan atau kekecewaan boleh saja diungkapkan secara terbuka. Tetapi, tidak boleh dilandasi kekerasan yang menyebabkan pihak lain terganggu atau dirugikan. Dalih apa pun, kekecewaan terhadap kebijakan negara tidak boleh berwujud tindakan anarkistis. Apalagi, jika dilakukan oleh sekumpulan orang yang berbentuk massa yang rawan terprovokasi. Aksi anarkistis tidak boleh menjadi model untuk menumpahkan segala bentuk kekecewaan ataupun aspirasi.

Tidak boleh dijadikan 'model perjuangan' karena akan menghancurkan sistem nilai dan tatanan bernegara yang selama ini dijaga untuk merekatkan pluralisme. Memang konstitusi negara menjamin kebebasan bagi publik untuk berserikat, berhimpun, dan menyampaikan aspirasinya di ruang publik. Namun, harus mengacu pada norma hukum dan norma sosial yang berlaku. Saat kekerasan terus mewarnai penyaluran aspirasi, atau ketika ruang publik mengancam rasa aman masyarakat untuk beraktivitas tanpa ada tindakan tegas, dipastikan negara akan kehilangan substansinya sebagai pelindung rakyat.

Negara tidak boleh abai dari kewajibannya melindungi rakyat dari ancaman, apalagi hanya jadi penonton karena takut berbenturan dengan massa. Akibat tekanan ekonomi dan ketidakpastian hukum, masyarakat semakin mudah tersulut marah dan tersinggung meski hanya persoalan sepele. Amuk massa terjadi di mana-mana, termasuk bentrok antaraparat keamanan dengan meniru ulah pelajar tingkat SLTP. Tak keliru jika ada yang menuding Presiden SBY gamang menindak aksi kekerasan dengan membiarkan polisi takhluk pada tekanan ormas tertentu atau pada tekanan massa.

Salah satu momok yang mengancam rasa aman masyarakat adalah masih banyaknya warga sipil yang menguasai senjata api (senpi). Polisi gagal mengawasi Surat Keputusan (SK) Kapolri Nomor: SKEP/ 82/II/ 2004 yang memberi izin warga sipil tertentu memiliki senpi untuk kepentingan bela diri.

Selain banyak senpi berizin yang disalahgunakan, juga memicu warga lain yang punya watak kriminal membeli senpi secara gelap atau merakit sendiri lantaran merasa ditoleransi oleh pemberian izin itu. Masih banyaknya senpi beredar luas di masyarakat memunculkan ketidakpercayaan rakyat pada kinerja aparat kepolisian.

Dalam negara hukum, seharusnya sipil tidak diizinkan memiliki senjata api karena rawan disalahgunakan. Maka, alasan pemberian izin untuk membela diri merupakan indikasi kelemahan polisi melindungi masyarakat meskipun polisi mulai menarik senpi yang telanjur diberi izin. Tanggung jawab polisi sebagai alat negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat yang ditegaskan dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 terabaikan, kalau tidak dikatakan gagal. Menolong diri sendiri (self help) bagi warga masyarakat dengan menggunakan senpi sudah pasti akan menimbulkan masalah baru.

Jika warga sipil diberi peluang melawan kekerasan dengan cara kekerasan lewat senpi, itu membiarkan terjadinya kejahatan. Pemerintah tidak boleh berdiam diri, membiarkan pemenuhan rasa aman masyarakat berjalan sendiri tanpa ada program yang jelas dari pemimpin. Negeri ini harus dikelola secara sistematis dan terprogram, bukan dibiarkan berjalan secara autopilot seperti pesawat terbang. Jangan sampai rasa bosan masyarakat berubah menjadi rasa antipati pada pemimpinnya sendiri.

Untuk menjamin ketenteraman masyarakat, izin pemilikan senpi beralasan untuk dicabut.Tidak boleh ada warga sipil tertentu yang diberi toleransi memiliki senpi, apalagi jatuh ke tangan yang berwatak koboi. Negara tidak boleh gamang, apalagi takut melakukan tindakan tegas terhadap para pelaku aksi kekerasan. Tegakkan hukum sebagaimana mestinya, tanpa pilih kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar