Jumat, 25 Mei 2012

Antara Agama dan Politik


Antara Agama dan Politik
Irfan Sona ; Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang,
Peserta Sekolah Ilmu Politik di Monash Institute
SUMBER :  SUARA KARYA, 25 Mei 2012



Kemerosotan akhlak dan moral para penyelenggara negara kian parah di bumi Pertiwi ini. Para politisi penyelenggara negara sudah tidak mementingkan agama lagi dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Ini tidak hanya terjadi di pusat, tetapi di daerah juga tidak kalah hebatnya.

Kemerosotan moral kiranya memicu para politisi untuk melakukan tindakan-tindakan yang kurang manusiawi. Mereka condong memikirkan nasib dan perut sendiri ketimbang nasib rakyat. Kenapa hal ini bisa terjadi? Rupanya gejala ini akibat kurangnya pengetahuan tentang agama. Seharusnya agama menjadi dasar bagi para penyelenggara negara agar tidak salah melangkah.

Banyak orang beranggapan bahwa agama bukanlah bagian yang bisa dikaitkan dengan politik. Urusan agama tidak boleh dimasukkan ke dalam urusan pemerintahan apalagi politik. Agama dan politik adalah dua bidang yang berbeda jauh, dan keduanya tidak dapat disatukan. Mereka menilai bahwa nilai yang terkandung dalam politik sangat berbeda dengan nilai yang terdapat dalam agama.

Dalam pandangan ini, institusi yang digunakan dalam politik adalah sebuah negara, yang definisi idealnya adalah bangunan universal yang cocok untuk semua komunitas politik, tanpa memandang suku dan golongan. Sementara itu agama tidak memiliki institusi utama. Agama hanya membentuk dirinya melalui institusional khas yang dibentuk oleh kultur lokal dan latar belakang historis. Masing-masing bidang memiliki tugas sendiri-sendiri, sehingga agama tidak menjadi bagian dari urusan negara dan ketatanegaraan.

Perdebatan-perdebatan panjang ini selalu terjadi di kalangan para politisi di Indonesia. Mereka selalu menganggap bahwa agama bukanlah bagian yang melandasi mereka dalam urusan politik. Mereka lebih senang menggunakan pola pikir Barat yang mayoritas adalah politik liberal, monarki, dan lain sebagainya.

Masih ada alasan lain bagi kelompok ini untuk tidak memasukkan nilai-nilai agama dalam diri politisi, yakni adanya kekhawatiran bila suatu saat terjadi perang antar-kelompok agama lalu berakhir pada perang antar-dunia politik. Sebab, di Indonesia sekarang ini, para penguasa partai politik tidak hanya orang Islam saja akan tetapi juga kalangan non Islam. Oleh karena itu, mereka selalu menolak gagasan tentang agama dan politik disatukan.

Ada beberapa perdebatan hebat yang terjadi sekarang dan itu merupakan tantangan bagi para politisi tentang hubungan antara agama dan politik. Masing-masing membuat rumusan masalah sendiri-sendiri. Ada yang berpendapat bahwa agama memang penting jika dimasukkan ke kancah politik khususnya para penyelenggara negara. Sebab, bagi mereka para penyelengara negara saat ini sudah benar-benar minus akan nilai dan moral serta adab yang baik. Mereka lebih dominan mengadopsi budaya politik Barat yang mayoritas mengandalkan kekuasaan sebagai media untuk memperkaya diri. Dari situlah para politisi seperti ini akhirnya melupakan hakikat norma yang terkandung dalam Pancasila.

Namun berbeda dengan orang-orang yang menolak jika agama dijadikan tulang punggung para penyelenggara negara. Mereka beranggapan bahwa budaya politik tidak sama dengan budaya dalam agama. Politik selalu berkaitan dengan struktur negara dan dengan hubungan internasional. Sedangkan agama hanya bergerak dalam bidang suku atau kelompok tertentu dalam suatu negara itu sendiri. Lalu, ada juga yang sering mempertanyakan apakah konsep etika berakar pada tradisi historis tertentu atau berakar pada suatu gagasan rasional universal.

Ketiga perdebatan ini melibatkan kelompok-kelompok partisipan yang berbeda dan tumpang-tindih pada hubungan antar-agama dan politik. Pada saat yang sama, mereka sama-sama meyakini bahwa konvensi-konvensi mapan pemikiran Barat tidak memadai untuk secara sepenuhnya dijadikan media untuk memahami komunitas politis dan hakikat ketatanegaraan di Indonesia.

Namun, sangat disayangkan sekali hal ini tidak berlaku bagi para pengurus negara ini. Mereka tetap saja mendambakan budaya politik Barat yang otoriter itu. Mereka tidak lagi menggunakan makna yang terkandung dalam kata 'demokrasi', akan tetapi kata 'demokrasi' sendiri sudah mereka salah artikan. Inilah dampak yang timbul jika penyelenggara negara sama sekali tidak memiliki nilai-nilai agama dalam dirinya. Apalagi, jika mereka sudah asyik bergaul dengan pilitisi-politisi Barat sehingga mereka lupa akan sejarah dan corak budaya politik bangsanya sendiri.

Lalu, langkah apa yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi hal tersebut? Bah-kan mereka sudah beranggapan bahwa agama tidak layak mendasari politik itu sendiri.
Sudah barang tentu, para politisi itu sudah sepatutnya kembali menghayati nilai-nilai agama yang dianutnya dengan baik. Mereka harus dibebaskan dari paradigma kebaratan, agar mereka sadar bahwa agama sangat penting demi menuju budaya politik yang bersih dan terciptanya penyelenggara negara yang benar-benar memiliki akhlak yang baik. Hal ini bertujuan agar para politisi negara Indonesia benar-benar siap dan bisa mengerti bahwa budaya politik yang mereka gunakan selama ini dalam budaya politik yang buruk karena tidak sesuai dengan ideologi negara.

Dengan adanya relevansi antara agama dan politik diharapkan bisa menciptakan para penyelenggara negara yang handal, jujur, cerdas, bertanggung jawab, dan tidak korupsi. Jika para politisi Indonesia memahami dan mau menerima nilai-nilai agama, maka kompetensi mereka tidak akan diragukan lagi di dunia internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar