Jumat, 25 Mei 2012

Menghargai Kemajemukan


Menghargai Kemajemukan
Tarmizi Taher ; Mantan Menteri Agama RI
SUMBER :  SUARA KARYA, 25 Mei 2012



Kepekaan terhadap kesulitan orang lain dan penghargaan terhadap perbedaan adalah barang mewah yang harus senantiasa dijaga. Sejarah memberikan pelajaran kepada kita tentang perang dan pertikaian akibat hilangnya kedua hal itu dalam kehidupan masyarakat. Maka, siapa pun yang berpotensi merusak solidaritas kemanusiaan dan kerukunan umat beragama tidak bisa diterima sebagai bagian dari bangsa ini. Pada dasarnya semua agama memiliki kesinambungan. Perbedaan konteks sosial-kultural menyebabkan perbedaan penampilan agama.

Kemajemukan yang memegang nilai-nilai toleransi dan pengakuan kesamaan substansi agama tidak berarti bahwa semua agama dipandang sama. Sikap toleran dan pengakuan itu hanyalah suatu upaya pencarian kalimatun sawa (titik temu) semua ajaran agama. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk saling menghargai dan menghormati. Bahkan sejatinya antar-pemeluk agama itu mampu membangun kerja sama yang sinergis dalam mewujudkan nilai-nilai kebajikan sosial.

Telah terjadi kesalahpahaman di kalangan masyarakat luas bahwa pluralisme akan mengacaukan akidah seseorang. Sebab, seakan-akan seorang pluralis tidak meyakini secara penuh bahwa agamanya adalah yang paling benar. Sungguh, kesalahpahaman itu adalah suatu kewajaran, disebabkan adanya kesenjangan pemahaman, namun tidak bisa dibiarkan menjadi pandangan umum.

Pada dasarnya pluralisme memberikan seseorang untuk meyakini bahwa ajaran agamanya adalah yang paling mulia, namun keyakinannya itu tidak harus membuatnya arogan dan merendahkan agama lain. Dengan kata lain, dalam sisi yang lebih substantif, pluralis mendorong untuk membuka diri terhadap dialog dan saling menukar informasi tentang kebajikan dan anti terhadap permusuhan.

Diperlukan toleransi meski hampir semua masyarakat yang berbudaya kini sudah mengakui adanya kemajemukan sosial dan agama. Namun, dalam kenyataannya, permasalahan toleransi masih sering muncul. Sikap eksklusif dan arogan yang menjadi pandangan dan keyakinan harus ditolak masuk ke Indonesia. Jika pandangan eksklusif (fanatik dan arogan) semacam itu dibiarkan tumbuh subur di Indonesia, bisa dipastikan kehidupan beragama di Indonesia akan makin tidak harmonis.

Sebagai bangsa, kita dipersatukan oleh nilai-nilai luhur yang sama, yaitu ketuhanan dan kemanusiaan. Jangan lagi ada konflik berlatar belakang agama. Jangan lagi ada kecurigaan antarpemeluk agama. Perbedaan agama tidak boleh menjadi hambatan untuk menolong orang lain. Selain itu, pendidikan agama tidak hanya sekadar proses belajar-mengajar agama saja. Tetapi, proses inkulturasi dan akulturasi yaitu proses memperadabkan generasi.

Peneguhan toleransi umat beragama yang paling penting adalah aspek proses belajar-mengajar pada lembaga-lembaga pendidikan dan gerakan sosial kemasyarakatan. Lebih dari itu, toleransi dan sikap toleran harus dimulai dari cara berpikir para pimpinan kita dalam melakukan kerja-kerja konkret untuk menguatkan kerukunan antarumat beragama di republik ini. Wallahualam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar