Sabtu, 12 Mei 2012

Konversi BBM ke BBG Minim Aksi


Konversi BBM ke BBG Minim Aksi
( Wawancara )
Kurtubi ;  Pakar Energi dan Migas
SUMBER :  SUARA KARYA, 12 Mei 2012


Rencana pengembangan energi alternatif sudah lama didengungkan. Namun, aksi nyata pengembangan energi terbarukan (renewable energy) tersebut, hingga kini tidak menunjukkan kemajuan berarti. Penggunaan bahan bakar gas (BBG) maupun bahan bakar nabati (BBN), seperti biodiesel, bioethanol sektor transportasi nyaris jalan di tempat dan hanya di atas kertas. Akibatnya, saat lonjakan harga minyak mentah (crude) dan beban subsidi membesar, penggunaan energi alternatif yang diharapkan menjadi jalan keluar, praktis tidak bisa diharapkan. Pemerintah sendiri hingga kini terus sibuk merumuskan berbagai kebijakan pengendalian dan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Padahal, kepanikan pemerintah dalam merespon tingkat konsumsi dan tingginya subsidi energi seharusnya tidak perlu terjadi jika penggunaan energi alternatif sudah berjalan optimal.

Bagaimana upaya dan pilihan strategis yang harus dilakukan untuk mempercepat pengembangan energi alternatif dalam menyikapi tingginya harga minyak dunia dan menjaga ketahanan energi nasional ke depan? Berikut ini wawancara wartawan Harian Umum Suara Karya Abdul Choir dengan pakar energi dan migas Kurtubi di Jakarta, Jumat (11/5).

Pengembangan energi alternatif atau energi terbarukan belum mencapai hasil signifikan. Apa kendala utamanya?

Sudah terlalu lama Pemerintah Indonesia merencanakan program pengembangan energi baru dan terbarukan ini. Namun, setelah sekian tahun, tidak bisa diwujudkan. Pada saat kita sangat membutuhkan bahan bakar alternatif untuk menekan subsidi BBM yang diklaim terus meningkat, bahan bakar alternatif ini tidak terlihat perkembangannya. Pemakaian biodiesel dan biopremium masih sangat minim.

Artinya, apa yang dilakukan pemerintah selama ini hanya sekedar pencanganan dan catatan di atas kertas alias 'omdo" (omong doang). Meskipun pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah membentuk direktorat baru, Ditjen Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), hasilnya belum terlihat.

Alasan terkendalanya pengembangan BBN karena murahnya harga jual BBM di dalam negeri yang disubsidi, sangat tidak tepat. Faktanya, penggunaan BBN saat ini juga disubsidi dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) seperti BBM. Negara lain, seperti Eropa Barat atau Amerika Serikat (AS) memberikan keringanan dan penghapusan pajak terhadap BBN. Untuk itu, saat ini yang dibutuhkan adalah aksi nyata yang mampu mengeksekusi kebijakan pengembangan BBN dengan cepat, sistematis dan masif.

Bagaimana caranya?

Sebaiknya pemerintah segera membentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang fokus pada pengembangan energi terbarukan. Badan usaha ini akan mengimplementasikan kebijakan pemerintah dari hulu, seperti potensi yang banyak tersedia di dalam negeri dan memanfaatkan perkebunan. Selanjutnya, badan usaha juga menangani pengolahan sumber energi terbarukan hingga distribusi dan pemasaran di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang ada.

Untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan ini dibutuhkan investor swasta yang besar karena tidak cukup hanya dilakukan melalui koperasi yang memiliki berbagia keterbatasan, terutama akses pendanaan. Sebab, produksi dan pengembangan BBN harus dilakukan dalam skala besar agar efisien dan menjamin keberlanjutan suplai BBN.

Kalau energi alternatif seperti bioethanol atau biodiesel didorong untuk dikembangkan, akan menjadi sumber energi baru yang bisa mengganti BBM. Tentunya, beban APBN untuk energi akan berkurang. Selain itu, mempercepat peralihan penggunaan BBM ke bahan bakar gas sebagai solusi dalam mengurangi ketergantungan akan BBM yang harganya terus meningkat.

Di sejumlah wilayah, sudah berhasil ditemukan sumber energi baru yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar minyak. Sumber energi baru ini dibuat dari hasil pengolahan air pohon Nipah. Ini harus ditindaklanjuti. Pemerintah jangan sekedar merumuskan tanpa ditindaklanjuti aksi nyata.

Apakah kendaraan hybrid bisa menjadi pilihan ke depan?

Sebelum kita berbicara pemanfaatan kendaraan hybrid yang memanfaatkan listrik atau energi surya dan lainnya, sebaiknya pemerintah fokus dalam satu program utama, yaitu pengalihan penggunaan BBM ke BBG. Berkaca dari dari pengalaman negara lain seperti AS, kendaraan hybrid masih terbilang mahal. Oleh karena itu, jika diterapkan di Indonesia jelas akan terkendala daya beli masyarakat menengah ke bawah.

Untuk itu, pemerintah seharusnya all out mengupayakan konversi BBG dalam mengurangi subsidi BBM. Konversi BBG ini dijadikan program utama dan bukan program sampingan dari empat program atau kebijakan energi seperti penghematan listrik dan air dan sebagainya. Apalagi, hingga kini pembangunan infrastruktur BBG, sejak pipanisasi hingga pendirian stasiun-stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) belum merata di berbagai daerah. (Bahkan), di Jawa sekalipun.

Kinerja pemerintah dalam mempersiapkan program konversi BBM ke BBG, sangat lamban. Seharusnya sudah dilakukan pembangunan infrastruktur gas dari dulu, di semua daerah di Indonesia. Kalau pemerintah terkendala soal anggaran, bisa di-back up oleh PT Pertamina. Kalau Pertamina tidak sanggup, swasta pasti banyak yang mau. Apalagi, secara bisnis, pembangunan infrastruktur SPBG sangat menjanjikan.

Kalau semua stakeholder (pemangku kepentingan) dilibatkan, otomatis pembangunan infrastruktur gas bisa jauh lebih cepat dilakukan secara merata di wilayah Indonesia. Selain itu, dari sisi harga, BBG jauh lebih murah. Harga BBG setara dengan 1 liter premium atau solar hanya Rp 4.100 dan bukan harga subsidi. Sedangkan dari sisi emisi gas buang, BBG jauh lebih ramah lingkungan. Bila infrastruktur siap, tanpa subsidi pun masyarakat bisa menikmati energi murah.

Ironisnya, penggunaan BBG untuk kendaraan ini, kita sudah tertinggal jauh oleh negara-negara lain karena pemerintah kita tidak fokus dalam menjalankan program. Padahal, cadangan gas dan produksi gas kita besar. Hanya manajemen gas yang dilakukan oleh BP Migas (Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas) yang tidak jelas.

Semestinya, kalau mau, kebutuhan gas dalam negeri bisa terpenuhi seluruhnya. Namun, keberadaan BP Migas hanya membuat perpanjangan birokrasi dan menimbulkan permasalahan, sehingga harus dibubarkan. Ke depan, pengelolaan gas harus ditangani BUMN khusus sehingga kebutuhan gas dalam negeri bisa terpenuhi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar