Selasa, 15 Mei 2012

MK dan Hukum Progresif


MK dan Hukum Progresif
Janedjri M Gaffar ;  Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK),
Kandidat Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Diponegoro
SUMBER :  SINDO, 15 Mei 2012


Di tengah kondisi hukum masa reformasi yang hingga saat ini masih mengundang keprihatinan banyak pihak, dunia hukum Indonesia telah menghadirkan paradigma hukum progresif, yang digagas oleh almarhum Prof Satjipto Raharjo.

Hukum tidak hanya dilihat secara parsial sebagai ketentuan normatif dalam aturan tertulis,namun juga dilihat secara komprehensif hingga aspek realitas berhukum yang harus setia terhadap keadilan dan kemanusiaan sebagai orientasi utama keberadaan dan bekerjanya hukum. Pada dasarnya, hukum progresif memiliki dua asumsi dasar. Pertama, hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Oleh karena itu, tujuan hukum yang utama adalah membahagiakan manusia sehingga hukum harus didasarkan pada hati nurani. Kedua, hukum merupakan institusi yang terus berproses.

Hukum bukan hanya berupa bunyi pasal-pasal yang final, melainkan harus diadaptasikan dengan konteks sosial yang dinamis. Kedua asumsi dasar tersebut melahirkan ide bahwa hukum harus prorakyat, prokeadilan, bersifat responsif, dijalankan dengan kecerdasan spiritual,dan bersifat membebaskan.

Peran Hakim

Paradigma hukum progresif tentunya dapat diterapkan di semua tahap kehidupan berhukum, mulai pembentukan hingga penegakan hukum. Karena itu, semua profesi hukum dapat menjadikannya sebagai kerangka kerja dalam memaknai dan menjalankan profesi hukum. Sesuai dengan ide-ide dalam hukum progresif,lembaga peradilan memiliki peran besar dilihat dari dua aspek. Pertama, lembaga peradilan merupakan pusat bekerja dan berprosesnya hukum. Putusan pengadilan menentukan bagaimana hukum dimaknai dan dikembangkan.

Putusan pengadilanlah yang menentukan apakah hukum hanya dilihat dari bunyi pasal-pasal beku atau dikontekstualisasikan sehingga senantiasa berproses sesuai dengan dinamika masyarakat. Kedua, putusan pengadilan menentukan bagaimana wujud nyata hukum yang dirasakan oleh manusia dan masyarakat. Putusan pengadilan mentransformasikan hukum dalam arti nilai dan norma menjadi realitas yang harus dihadapi dan dialami oleh seseorang.

Di sinilah dapat diamati dan dirasakan secara konkret apakah hukum itu membahagiakan atau menyengsarakan, adil atau sewenang- wenang, responsif atau represif, serta prorakyat atau digunakan untuk melanggengkan kekuasaan belaka. Dalam konteks demikian, hakim memiliki peran kunci yang menentukan ke mana hukum hendak diarahkan.Melalui putusan yang didasari hati nurani dan menggunakan kecerdasan spiritual, hakim dapat membendung dan membongkar dominasi paradigma positivistik tekstual. Bahkan, dengan paradigma hukum progresif, hakim memiliki jalan untuk menata pertarungan kepentingan di balik norma hukum agar tidak bertentangan dengan tujuan hukum itu sendiri.

Peran MK

Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu lembaga peradilan pelaku kekuasaan kehakiman, dinilai telah menggunakan pendekatan hukum progresif yang dapat dilihat dari berbagai putusan yang mengedepankan keadilan substantif. Pendekatan hukum progresif oleh MK merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari, dengan mengingat pada fungsi dan wewenang yang diemban MK dihadapkan pada realitas hukum saat ini.

Sebagai the guardian of the constitution, para hakim konstitusi dituntut menegakkan supremasi konstitusi dengan jalan menjadikan konstitusi sebagai ukuran dan pertimbangan utama dalam memutus suatu perkara. Konstitusi merupakan hukum dasar yang tidak dapat hanya dibaca dan dimaknai sebagaimana terumuskan dalam pasal-pasal. Konstitusi harus ditafsirkan dengan mengedepankan nilai-nilai dasar yang dianut serta senapas dengan spirit konstitusionalisme yang menjadi sukma dari dokumen konstitusi.

Bahkan,saat konstitusi dimaknai sebagai hasil persetujuan bersama seluruh rakyat (general agreement), hakim dituntut untuk selalu mempertimbangkan dinamika masyarakat dalam memaknai teks konstitusi. Sebagaimana hukum yang selalu berproses, perjanjian sosial juga senantiasa berproses, tidak berhenti saat konstitusi telah dirumuskan. Dinamika masyarakat harus dimaknai sebagai bagian dari proses perjanjian sosial berkelanjutan yang memberikan konteks atas teks konstitusi.

Di sisi lain, dalam menjalankan wewenangnya, MK juga dihadapkan pada realitas hukum berupa kompleksitas norma hukum yang dibuat dalam konfigurasi politik dan paradigma hukum yang berbeda-beda. MK dituntut untuk mereviu berbagai undangundang yang telah mapan dan telah lama digunakan sebagai instrumen untuk merekayasa masyarakat dan melanggengkan kekuasaan. Untuk dapat memecah kebekuan tatanan hukum dan mendinamisasi hukum, agar seiring dengan nilai dan spirit konstitusi yang telah mengalami perubahan diperlukan pendekatan nonpositivistik, yaitu paradigma hukum progresif.

Hukum progresif senyatanya telah dianut dalam berbagai putusan MK, khususnya dalam perkara pengujian undang-undang dan perselisihan hasil pemilu. Setidaknya sampai saat ini ada beberapa putusan MK yang dapat diidentifikasi bersifat progresif, yaitu putusan yang membatalkan Pasal 50 UU MK terkait pembatasan UU yang dapat diujikan ke MK hanya UU yang disahkan setelah Perubahan Pertama UUD 1945, putusan yang merehabilitasi hak pilih mantan dan keturunan anggota PKI, putusan terkait calon independen dalam pemilukada, putusan terkait dengan penentuan calon terpilih dengan suara terbanyak, putusan yang membolehkan penggunaan KTP dan paspor untuk memilih dalam pemilu,serta putusan yang memerintahkan pemungutan dan penghitungan suara ulang dalam Pemilukada Jawa Timur, serta banyak putusan lainnya.

Namun demikian, tidak semua putusan MK harus menjadi rule breaking atau mengesampingkan aturan hukum yang ada. Paradigma hukum progresif tentu tidak boleh dimaknai secara dangkal, dengan melihat bahwa semua norma hukum yang ada tidak dapat diterapkan karena tidak berorientasi pada kemanusiaan dan keadilan. Bagaimanapun, norma hukum telah dibuat dan dilaksanakan oleh lembaga yang representatif dan memiliki legitimasi. MK tidak akan mengubah negara hukum (rechtsstaat) menjadi negara hakim (rechterstaat).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar