Selasa, 15 Mei 2012

Menghapus Kutukan Kekayaan Alam

Menghapus Kutukan Kekayaan Alam
Denny Indrayana ;  Wakil Menteri Hukum dan HAM,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
SUMBER :  SINDO, 15 Mei 2012


Tahun lalu, dalam satu kesempatan Sidang Kabinet Terbatas di Istana Bogor, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terlihat gusar. Sambil mengeluarkan UUD 1945 yang selalu ada dalam saku bajunya, Presiden mengatakan, “Mari sama-sama kita baca baik-baik Pasal 33 UUD 1945. Bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Presiden baru saja mendengarkan laporan persoalan kekayaan alam kita yang dikelola dengan problematik dan koruptif. Dengan tangan bergetar memegang buku saku UUD 1945, Presiden menginstruksikan (lagi) renegosiasi atas kontrak pertambangan, dan mengingatkan amanat konstitusi agar pengelolaannya betul-betul untuk kemakmuran rakyat.

Pada 16 Oktober 2011, saat bertemu saya, Prof Nazaruddin dan almarhum Prof Widjajono Partowidagdo, dalam proses pemilihan wakil menteri, Presiden kembali meminta kepada almarhum Prof Wid agar memperhatikan— dan memprioritaskan— soal renegosiasi kontrak tersebut. Hal yang sama, beliau ulang pada 19 Oktober 2011 setelah pelantikan menteri dan wakil menteri yang baru, Presiden SBY dalam policy speech-nya menegaskan pesan terkait kerja sama internasional tersebut kepada jajaran ESDM. “Isu khusus lainnya yang sering menjadi perhatian publik adalah kontrak kerja sama antara Indonesia dan dunia usaha asing, perusahaan-perusahaan asing.

Kontrak itu umumnya dibuat puluhan tahun yang lalu. Secara internasional, memang etikanya, semua bangsa mesti menghormati kontrak. Tetapi saya berpendapat, jika kontrak itu sangat tidak adil dan keterlaluan, kita mesti bicara baik-baik, tidak harus sertamerta membatalkan, bicara baik-baik untuk kemungkinan dibikin lebih adil dan lebih tepat. Saya mendapatkan laporan, sejumlah perusahaan asing bersedia untuk berbicara baik-baik. Oleh karena itu, para menteri terkait segera tindak lanjuti, lakukan pembicaraan baik-baik itu, terutama apalagi yang menyangkut perpanjangan kontrak.

Harus adil dan memberikan benefit yang jauh lebih tinggi untuk bangsa dan rakyat Indonesia.
” Kenapa saya teringat soal pengelolaan sumber daya alam tersebut, dan menuliskannya kembali. Minggu hingga Selasa ini, saya sedang di Samarinda. Ibu kota Provinsi Kalimantan Timur. Salah satu provinsi yang paling kaya sumber daya alamnya. Namun,kekayaan alam itu tidak selalu membawa berkah, tidak jarang ia membawa musibah.

Rabu minggu lalu, ketika memberikan sambutan dalam peringatan hari Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), Wakil Presiden Boediono mengingatkan teori kutukan bagi negara yang kaya sumber daya alam. Beliau mengatakan, tanpa pengelolaan yang bijaksana, sumber daya alam sering kali menjadi kutukan, menimbulkan konflik politik, ekonomi, sosial, bahkan konflik pertahanan dan keamanan serta penegakan hukum, karena perebutan penguasaan sumber daya alam tersebut.

Soal adanya kutukan tersebut paling tidak tergambar jelas dengan banyaknya kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah di Kaltim. Sudah beberapa periode ini, gubernur dan bupati di Kaltim terjerat kasus korupsi. Sewaktu masih aktif di Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, kami banyak menerima laporan terkait berkembang luasnya persoalan mafia tambang batu bara. Persoalan area tambang yang tumpang tindih, proses pemberian izinnya yang koruptif, hingga keterlibatan berbagai oknum penegak hokum dalam permainan usaha tambang, sehingga law enforcement menjadi tidak berfungsi alias mandul. Terlebih menjelang pilkada.

Lisensi tambang memasuki waktu obral. Dijual murah, cepat, dengan menabrak berbagai aturan. Saya lahir di Pulau Laut, Kalsel. Menjelang Pilgub Kalsel beberapa waktu lalu, izin tambang di pulau kelahiran saya tersebut tiba-tiba banyak dikeluarkan. Sehingga terjadi perubahan mendasar, dari awalnya Pulau Laut merupakan wilayah yang dilarang, menjadi wilayah yang terbuka untuk pertambangan. Akhir minggu lalu, saya mendapatkan pesan singkat, mengabarkan Perda RT/RW Kabupaten Kotabaru—yang melingkupi Pulat Laut—telah mengukuhkan pulau kelahiran saya tersebut sebagai wilayah tambang.

Alasan yang dinyatakan, karena jika tidak demikian, pemerintah daerah khawatir digugat oleh perusahaan yang telah telanjur memiliki izin usaha tambang,yang diperolehnya menjelang pilgub yang baru lalu. Memang saya belum pernah melakukan penelitian sendiri. Tapi saya sangat yakin, menjelang dan sesaat setelah pelaksanaan pilkada, pengeluaran izin-izin tambang pasti meningkat, seiring dengan relasi kolutif antara kandidat kepala daerah dan perusahaan tambang, serta kebutuhan biaya politik para kandidat kepala daerah yang juga meroket.

Pada peringatan HAKI sedunia itu pula, Pak Boed memberikan paparan bagaimana pentingnya kita meningkatkan inovasi, penelitian, dan temuan yang berbasis kekayaan intelektual. Bagi Wakil Presiden, ekonomi Indonesia ke depan harus bergeser dari bertumpu pada kekayaan alam semesta menjadi berpijak pada kekayaan intelektual yang inovatif. Dengan gaya dosennya yang kental, Pak Boed menunjukkan power point pendaftaran paten di antara negara-negara G-20 pada 2009.

Indonesia berada di urutan terbawah dengan hanya 6 pendaftaran paten, kalah jauh sekali dibandingkan peringkat pertama Jepang yang mendaftarkan 224.795, Tiongkok 68.307, atau bahkan peringkat 19 Arab Saudi yang mendaftarkan 60 paten,10 kali lipat paten yang didaftarkan Indonesia. Pak Boed menegaskan, jika tidak segera dilakukan perubahan paradigma yang mendasar, dari sangat berbasis pada SDA, menjadi berbasis SDM yang melakukan temuan-temuan inovatif, maka “bahan bakar” mesin penggerak ekonomi kita akan segera habis. Lalu, Pak Boed kembali mengulang pesannya: pengelolaan SDA yang salah arah justru akan menghadirkan kutukan pembawa musibah, bukan barokah.

Terkait dengan mengelola secara lebih bijak SDA itu, pada kesempatan harmonisasi RUU Panas Bumi minggu lalu di Kementerian SDM, saya berbagi cerita kepada para peserta yang hadir. Cerita pertama adalah instruksi Presiden SBY di atas untuk mengelola SDA untuk kemakmuran rakyat serta perintah renegosiasi kontrak tambang. Cerita kedua, terkait kerisauan Wapres tentang kemungkinan kutukan bagi negara yang tidak mengelola SDA-nya secara amanah. Ada dua isu yang mengemuka dalam harmonisasi RUU Panas Bumi tersebut: pertama, bagaimana izin terkait lingkungan hidupnya harus dilakukan; kedua, bagaimana pengaturan usaha panas bumi di kawasan hutan konservasi.

Tentu saja usaha pemanfaatan panas bumi penting untuk dilakukan. Apalagi, menurut informasi, panas bumi termasuk energi yang terbarukan dan cukup berlimpah tersedia di bumi pertiwi. Namun, pengelolaannya sekali lagi harus berbasis inovasi sekaligus diversifikasi energi, sehingga tidak lagi bergantung semata pada BBM, yang pastinya tidak terbarukan. Untuk Indonesia yang lebih baik, kutukan SDA harus kita hindari. Aturan hukum akan kami arahkan untuk mendorong penghematan SDA, peningkatan ekonomi berbasis SDM yang inovatif.

Hanya dengan demikian, Indonesia akan terhindar dari negara yang menerima kutukan karena tidak amanah mengelola SDA-nya. Doa and do the best. Keep on fighting for the better Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar