Rabu, 02 Mei 2012

Menyiapkan Generasi Emas Indonesia


Menyiapkan Generasi Emas Indonesia
Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
SUMBER : JAWA POS, 02 Mei 2012


SETIAP kita memperingati hari-hari bersejarah, menjadi penting untuk merenungkan kembali (refleksi) makna yang dikandungnya. Baik dari perspektif kekinian untuk aktualisasi makna maupun dari perspektif kenantian untuk antisipasi masa depan.

Kita semua meyakini bahwa pendidikan adalah sistem rekayasa sosial terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan, keharkatan, dan kemartabatan. Dalam kaitan itulah refleksi Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) ini dilakukan. Yaitu, mempertajam peran pendidikan dalam menyiapkan generasi yang cerdas, yang memiliki tingkat kesejahteraan tinggi dengan tetap memegang teguh harkat dan martabat, baik sebagai individu maupun bangsa.

Salah satu refleksi tersebut, sejak 2010 sampai 2035, kita memiliki populasi usia produktif yang sangat luar biasa besarnya. Jumlah itu pun akan menurun setelah 2035. Meskipun, kita sering tidak menyadari hal tersebut, bahkan mengabaikannya. Padahal, inilah kesempatan emas untuk menyiapkan generasi emas yang akan menjadikan bangsa dan negara Indonesia sebagai negara maju dan sejahtera sebagaimana yang dicita-citakan para pendiri. Sekaligus, menyiapkan 100 tahun Indonesia merdeka (2045) serta sebagai khidmat, tanda bakti, dan terima kasih kepada para pejuang serta pendiri bangsa.

Masa 30-an tahun tersebut tidaklah lama, kalau kita berbicara tentang generasi dan nasib bangsa. Karena itu, saatnya sekarang ini kita harus segera melakukan investasi besar-besaran di bidang sumber daya manusia. Kalau tidak, siap-siaplah kita akan menjadi bangsa yang merugi, bahkan bisa bangkrut (na'udzu billah).

Peran dan Kebijakan Sistemis

Populasi usia produktif tersebut akan menjadi bonus demografi (demographic dividend) manakala berkualitas. Sebaliknya, hal tersebut akan menjadi bencana demografi (demographic disaster) manakala kualitasnya tidak memadai. Kualitas itu lazimnya diukur dengan indeks pembangunan manusia atau IPM (human development index) yang terdiri atas tiga indeks. Yaitu, pendidikan, kesehatan, dan pendapatan. Yang menarik, studi oleh berbagai lembaga internasional, termasuk Global Competitiveness Report (2010-2011), menunjukkan bahwa lamanya wajib belajar memiliki korelasi positif terhadap peningkatan pendapatan per kapita, daya saing, indeks pendidikan, dan IPM secara keseluruhan.

Korelasi positif tersebut ditandai oleh koefisien korelasi (r). Semakin tinggi nilai r-nya, berarti hubungannya semakin kuat. Koefisien korelasi (r) wajib belajar terhadap peningkatan pendapatan sebesar 0,93; terhadap daya saing 0,96; terhadap pendidikan 0,97; dan nilai koefisien korelasi wajib belajar terhadap IPM secara keseluruhan (total) mencapai 0,99. Mengapa nilai r terhadap IPM justru paling besar (0,99)? Itu menandakan bahwa wajib belajar (baca: pendidikan) memiliki faktor multiplikasi terhadap faktor lainnya. Artinya, pendidikan yang baik memiliki kontribusi yang sangat kuat terhadap peningkatan kualitas kesehatan dan pendapatan per kapita.

Atas dasar itulah, dalam mempersiapkan generasi emas tersebut, harus disiapkan kebijakan sistemis yang memungkinkan seluruh anak bangsa bisa memasuki dan menikmati pendidikan. Kita ibaratkan pendidikan adalah elevator sosial yang mampu memobilisasi secara vertikal menuju status sosial, ekonomi, kemanusiaan, dan peradaban setinggi mungkin. Karena itu, sekali lagi, kita harus menyiapkan layanan pendidikan yang bisa diakses seluruh warga bangsa. Itulah filosofi pendidikan untuk semua (education for all: EfA).

Yang telah dan sedang dilakukan Kemendikbud adalah menyiapkan kebijakan sistemis yang memungkinkan terjadinya mobilitas vertikal secara masif. Mulai gerakan nasional pendidikan anak usia dini (PAUD), penuntasan dan peningkatan kualitas pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) melalui bantuan operasional sekolah (BOS), serta gerakan nasional rehabilitasi ruang kelas.

Juga, pada 2012 ini, Kemendikbud melakukan rintisan pendidikan menengah universal (PMU). Insya Allah PMU tersebut dimulai secara penuh pada 2013. Dengan kebijakan PMU tersebut, diharapkan pada 2020 angka partisipasi kasar (APK) sekolah menengah mencapai 97,5 persen. Tanpa kebijakan itu, APK baru dicapai pada 2040. Kita ingin pada 2020 anak-anak Indonesia minimal lulus sekolah menengah.

Tidak hanya itu, perluasan akses ke perguruan tinggi juga disiapkan melalui peningkatan daya tampung, bantuan operasional untuk perguruan tinggi (BOPT), pendirian perguruan tinggi negeri di daerah perbatasan, serta memberikan afirmasi akses secara khusus kepada masyarakat yang memiliki keterbatasan kemampuan ekonomi tapi berkemampuan akademis berupa beasiswa Bidik Misi. Yaitu, pembebasan seluruh biaya pendidikan dan pemberian biaya hidup (living cost).

Afirmasi akses kita perkuat melalui UU Pendidikan Tinggi yang sekarang sedang dibahas. Yakni, perguruan tinggi negeri harus menerima minimal 20 persen mahasiswa dari keluarga tidak mampu secara ekonomi, namun berkemampuan secara akademis, pada setiap penerimaan mahasiswa baru. Afirmasi akses tersebut selama ini diamanatkan melalui PP No 66 Tahun 2010. Insya Allah, UU PT tersebut disahkan sebelum Agustus 2012.

Dengan kebijakan sistemis tersebut, diharapkan hambatan-hambatan akses karena sosial-ekonomi atau kewilayahan (geografis) ke dunia pendidikan, termasuk ke perguruan tinggi, dapat diatasi. Dengan demikian, seluruh anak bangsa memiliki kesempatan emas untuk memasuki elevator sosial (pendidikan) menuju zaman keemasan Indonesia.

Usaha Tiada Henti

Memang, harus kita sadari, persoalan dunia pendidikan memang tidak akan pernah selesai. Saya selalu mengatakan, jika persoalan dunia pendidikan bisa diselesaikan, sudah sejak lama negara-negara maju tidak memiliki lagi menteri pendidikan.

Yang disampaikan di atas adalah masalah akses yang harus diikuti peningkatan kualitas. Di sinilah pentingnya dunia pendidikan harus terus-menerus meningkatkan kualitas akademis dan kemuliaan dalam interaksi sosialnya serta menjadi pelopor dalam melahirkan pemimpin bangsa. Dengan demikian, pendidikan akan melahirkan generasi yang memiliki kecerdasan komprehensif, termasuk teknis dan kecerdasan sosial, bukan generasi yang mengidap kecacatan sosial (socio idiot) dan kecacatan teknis (technical idiot).

Pada titik temu ini, pendidikan juga harus bisa membangun pola pikir (mindset) positif-optimistis dan landasan akademis yang kukuh sekaligus secara paralel menyiapkan kemampuan dan keterampilan teknis (technical skill ) yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan dan persoalan. Modalitas tersebut kita harapkan bisa mengantarkan generasi yang cerdas, yaitu generasi yang memiliki pola pikir solutif-nondestruktif, cost effectiveness (biaya sosial, politik, dan ekonomi) dalam menyelesaikan berbagai tantangan dan persoalan, serta selalu berpegang pada pentingnya menjunjung tinggi harkat dan martabat. Menyiapkan generasi yang cerdas merupakan langkah awal dari ikhtiar mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana amanat pembukaan UUD 1945.

Membangun Peradaban

Kita semua menyadari, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mobilitas barang maupun nonbarang (termasuk peradaban) sangatlah tinggi. Karena itu, sangat wajar dan dimungkinkan terjadinya dominasi peradaban tertentu atau konvergensi peradaban, bahkan bisa jadi benturan antar peradaban (seperti tesis Samuel Huntington).

Pada kemungkinan kedua inilah, yaitu konvergensi peradaban, kita harus mempersiapkan diri. Dunia pendidikan harus mampu membangun peradaban khas Indonesia untuk memberikan kontribusi dalam membangun peradaban baru dunia. Ibarat warna cahaya putih yang kalau diurai terdiri atas beberapa spektrum cahaya, salah satu spektrum itulah spektrum khas peradaban Indonesia.

Sebagai bangsa besar, dengan modalitas yang sangat luar biasa, baik sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya kultural, maupun pengalaman dan kesempatan, sudah saatnya kita kepakkan sayap Garuda kita, lambang negara kita. Bangsa ini telah bersepakat menjadikan burung Garuda, burung yang gagah dan perkasa yang mampu terbang jauh dan tinggi melanglang angkasa, sebagai lambang negara kita, bukan burung cipret atau emprit. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar