Ketimpangan Pangan Negara Maju Vs Berkembang
Said Abdullah, Advokasi
dan Jaringan, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)
SUMBER
: KOMPAS, 02 Mei 2012
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO)
menyatakan bahwa setidaknya ada 925 juta orang kelaparan dan tidur dalam
kondisi perut lapar. Ini berarti satu dari tujuh orang kekurangan pangan setiap
hari.
Tahun 2010, FAO menyatakan bahwa 98 persen
atau 906,5 juta penduduk yang kekurangan pangan adalah warga negara yang
tinggal di negara berkembang. Dari jumlah tersebut, dua pertiga berada di tujuh
negara: Banglades, China, Republik Demokratik Kongo, Etiopia, India, Pakistan,
dan Indonesia.
Di negara berkembang, paling tidak ada 500
juta keluarga yang menjadi petani kecil dan mereka tinggal di pedesaan. Keluarga
ini kekurangan pangan dan bergelut dengan kemiskinan. Tingkat pendapatan
rata-rata kurang dari 2 dollar AS (Rp 18.000) per hari membuat kondisi
kesehatan dan tingkat pendidikan keluarga jauh dari cukup.
Petani Kecil
Di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat
Statistik tahun 2011, jumlah penduduk miskin rawan pangan mencapai 30,02 juta
jiwa atau 12,49 persen dari total populasi. Dari jumlah itu, 60 persen lebih
tinggal di pedesaan yang tak lain adalah petani kecil. Petani kecil di negeri
ini hanya menguasai lahan tak kurang dari 0,2 hektar per keluarga dengan
rata-rata pendapatan kurang dari Rp 400.000 per bulan.
Di sisi lain, di tengah situasi rawan pangan
yang terus mendera, terutama di negara berkembang, FAO melaporkan ada 1,3
miliar ton makanan terbuang percuma. Padahal, makanan sebanyak itu bisa
mencukupi kebutuhan pangan 8,4 juta orang yang kelaparan. Proses kehilangan
pangan terjadi, mulai dari lahan pertanian hingga konsumsi di rumah tangga,
dalam bentuk bahan pangan mentah ataupun yang sudah jadi makanan.
Terbuangnya produksi pangan berarti juga
sia-sianya penggunaan sumber daya pendukung, seperti air dan bahan bakar, baik
untuk pengolahan sarana produksi pertanian maupun pengolahan pangan. Padahal,
keberadaan sumber daya di atas kian terbatas. Pemborosan tersebut turut pula
berkontribusi terhadap perubahan iklim. Seperti diketahui, sektor pertanian
merupakan salah satu emiter gas rumah kaca terbesar, jumlahnya 10-20 persen
dari total global.
Terbuang di Negara Maju
Secara umum jumlah pangan terbuang di negara
maju lebih besar dibandingkan negara berkembang. Sebagian besar makanan
tersebut terbuang pada tahap konsumsi dan banyak yang masih dalam kondisi layak
dikonsumsi. Jumlah pangan terbuang oleh konsumen di Eropa dan Amerika sangat
besar, mencapai 95-115 kg per kapita per tahun.
Sebaliknya jumlah pangan terbuang di negara
berkembang lebih banyak terjadi dalam pascapanen dan rantai distribusi.
Kehilangan pangan pada level ini lebih banyak terjadi karena rendahnya
pengetahuan dan pengembangan, implementasi teknologi pascapanen, dan
distribusi. Di level konsumsi, penduduk di negara berkembang sangat efisien.
Jumlah pangan yang terbuang pada level konsumsi hanya 6-11 kg per kapita per
tahun.
Besarnya jumlah pangan yang terbuang di
negara maju menunjukkan suatu ketimpangan. Sebagian besar pangan yang
diproduksi di negara berkembang dibuang-buang di negara maju. Padahal, produksi
pangan petani kecil negara berkembang mampu memberi makan lebih dari 70 persen
populasi dunia. Di wilayah Asia dan Sub-Sahara, Afrika, petani kecil memenuhi
80 persen kebutuhan pangan di wilayah ini. Khusus beras, 97 persen dari total
kebutuhan dipenuhi dari produksi petani kecil.
Sebagaimana disepakati para pemimpin dunia
dalam Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) untuk terus mengurangi jumlah penduduk
miskin, komitmen semua pihak menjadi keharusan. Penduduk negara maju sudah
seharusnya menghargai produsen pangan dan masa depan pangan dunia. Penghargaan
ini menjadi penting, terutama untuk dimiliki industri pangan, distributor, ataupun
konsumen.
Para pihak dalam rantai pangan perlu mencapai
kesepakatan bersama terkait dengan standar dan kualitas pangan. Dengan
demikian, risiko pangan yang dibuang karena tidak memenuhi standar menjadi
rendah. Rantai distribusi pangan sering terbuang percuma karena tidak ada
kecocokan antara mutu produk dan selera konsumen.
Konsumen Beretika
Sikap konsumsi yang beretika sudah saatnya
dimiliki dan diimplementasikan konsumen. Konsumsi yang tak terencana, baik
jumlah maupun kualitas, harus dihilangkan untuk mengurangi pangan terbuang
percuma. Sikap ini menjadi jalan untuk menekan pemborosan pangan dan
meningkatkan penghargaan pada produsen pangan. Dengan demikian, tak hanya
pangan, kehidupan produsen pangan dan lingkungan juga diselamatkan.
Bagi petani di negara berkembang, termasuk
Indonesia, persoalan akses lahan, infrastruktur, pembiayaan, manajerial,
inovasi teknologi budidaya, dan pascapanen menjadi tantangan terbesar. Oleh
karena itu, menjadi keharusan bagi pemerintah untuk memberikan dukungan penuh bagi
petani kecil: warga negara dengan jumlah besar. Negara wajib merangkul mereka
sebagaimana tekad yang diamanatkan oleh konstitusi.
Adanya kepedulian konsumen dan keberpihakan
kepada petani kecil akan sangat berdampak signifikan tidak hanya pada
ketersediaan pangan, tetapi juga kehidupan petani kecil. Mereka memiliki hak
untuk merdeka dari kemiskinan dan kelaparan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar