Rabu, 02 Mei 2012

Memaknai Reformasi Pendidikan dalam Hardiknas 2 Mei 2012


Memaknai Reformasi Pendidikan
dalam Hardiknas 2 Mei 2012
Ki Supriyoko, Guru besar Universitas Taman Siswa Yogyakarta,
Wakil Presiden Pan-Pacific Association of Private Education (PAPE) di Tokyo, Jepang
SUMBER : JAWA POS, 02 Mei 2012


BANYAK orang berpendapat bahwa diberlakukannya UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang diikuti dengan pembayaran tunjangan profesi bagi guru yang telah memiliki sertifikat pendidik, -sebagai tanda atas profesionalisme yang disandang- merupakan awal reformasi pendidikan di Indonesia yang sebenarnya.

Mengapa? UU Guru ''mewajibkan" semua guru menjadi profesional dan dengan profesionalisme yang dimiliki, maka proses pembelajaran di kelas akan semakin produktif. Semakin produktifnya proses pembelajaran inilah yang akan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Pendapat tersebut semakin signifikan ketika pemerintah menindaklanjuti ketentuan UU secara nyata; sekarang ini sudah ratusan ribu guru yang tunjangan profesinya telah dibayar, yang nota bene besarnya amat ''aduhai" untuk ukuran guru pada umumnya. Di sisi lain, guru yang belum mendapat tunjangan profesi pun bekerja keras untuk menjadi profesional agar hak tunjangan profesinya terbayarkan.

Malaysia dan Jepang

Perlukah reformasi pendidikan itu dilakukan? Reformasi pendidikan perlu dilakukan karena banyaknya indikator dari organisasi internasional seperti World Bank, IBO, CINDOC, Times, dan Shanghai Jiao Tong University yang menunjukkan rendahnya kinerja pendidikan di Indonesia.

Secara empiris banyak negara yang memulai reformasai pendidikan dari guru. Guru sebagai independent variable dan keberhasilan reformasi sebagai dependent variable dalam hubungan sebab akibat (causal relationship). Guru diposisikan sebagai primadona. Artinya, tanpa didukung guru, reformasi pendidikan tidak mungkin dijalankan.

Posisi sentral guru sampai saat ini masih diakui. Sekalipun dunia ini sudah memasuki era siberkomunikasi, termasuk pendidikan yang disiberkomunikasikan dengan kuliah jarak jauh (distance learning), pembelajaran elektronik (e-learning), dan pendidikan melalui internet (virtual education), posisi guru tetap penting dan strategis. Karena itulah, ketika beberapa negara sekitar menggulirkan gerakan reformasi pendidikan, sentuhan pertamanya pun dilakukan terhadap guru.

Ketika Malaysia memutar roda reformasi pendidikan tahun 90-an, ide-ide reformasi tersebut disosialisasikan kepada guru sebelum kepada masyarakat luas. Bahkan, ketika Malaysia melakukan perubahan mendasar pada kurikulum sebagai bagian dari reformasi, yang dikemas dalam Kurikulum Bersepadu Sekolah Rendah (KBSR) dan Kurikulum Bersepadu Sekolah Menengah (KBSM), guru pun diposisikan sebagai ujung tombak reformasi.

Karena itulah, secara eksplisit dalam bukunya Pendidikan di Malaysia (1997), Mok Soon Sang menyatakan pelaksanaan reformasi pendidikan di Malaysia memerlukan dukungan mutlak guru untuk mereformasi dirinya masing-masing dengan memperluas pandangan, sikap, dan usaha dilandasi peningkatan pengetahuan, ilmu, dan keterampilan profesinya. Tanpa itu semua, reformasi pendidikan tidak mungkin berhasil. Hal ini secara tak langsung juga dibenarkan pengamat pendidikan Malaysia Tan Mui Hong dalam karyanya, Education in Malaysia (1999).

Secara historis, reformasi pendidikan di Jepang juga dimulai dengan memprimadonakan guru. Pada 1984, pemerintah Jepang membentuk National Education Evaluation Board yang ditugasi mengevaluasi penyelenggaraan pendidikan dan membuat rekomendasi. Atas rekomendasi badan itu, Jepang mengarahkan reformasi pendidikan kepada isu-isu globalisme. Jepang juga menanamkan jiwa kemandirian anak didik sejak dini.

Untuk menyukseskan reformasi tersebut, para guru ditatar isu kesejagatan seperti hubungan politik antarnegara, interdependensi kultural antarbangsa, kompetisi global, dan sebagainya. Selanjutnya, guru tampil sebagai tokoh reformasi pendidikan dengan menyosialisasikan wawasan global dan menanamkan jiwa kemandirian kepada anak didik. Hasilnya, seperti kita lihat sekarang, Jepang menjadi negara paling depan dalam ketangguhan daya saing. Seperti halnya dengan Malaysia dan Jepang, ternyata gerakan reformasi pendidikan di Korea Selatan, Singapura, Thailand, dan negara-negara lainnya pun ditempuh dengan metode memprimadonakan guru.

60 Persen Beli Laptop

Sebagai subjek reformasi, banyak guru berpendapat bahwa kinerja guru itu terletak pada kesejahteraannya. Artinya, kalau kesejahteraannya memadai, kinerjanya akan meningkat. Sebaliknya, kalau kesejahteraannya tidak memadai, sulit bagi guru untuk meningkatkan kinerja pendidikannya.

Pendapat tersebut memang ada benarnya meski tidak mutlak. Sebuah penelitian yang dijalankan Kemendikbud memperoleh hasil, seluruh guru yang menerima kenaikan kesejahteraan melalui tunjangan profesi yang diterima menyatakan -tentu saja- senang atas kenaikan kesejahteraan itu. Sebagian tunjangan profesi digunakan untuk membiayai pendidikan anaknya, membiayai pendidikan dirinya sendiri, memperbaiki tempat tinggal, membeli alat transportasi, dan ada yang digunakan untuk naik haji. Yang berkait langsung dengan tugasnya, secara riil, sekitar 60 persen guru membelanjakan sebagian tunjangan profesinya untuk membeli laptop.

Meski tunjangan profesi belum mampu meningkatkan prestasi siswa, proses pendidikan sudah dapat dilaksanakan lebih hidup dan lebih produktif. Itu semua adalah jasa laptop yang dibelinya dari uang tunjangan profesi yang diterima.

Apakah reformasi guru di Indonesia benar-benar akan memantapkan kinerja pendidikan nasional sebagaimana yang pernah terjadi di Malaysia dan Jepang? Kita harapkan demikianlah adanya! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar