Selasa, 15 Mei 2012

Hubungan Indonesia-Korut


Hubungan Indonesia-Korut
Arfin Sudirman ;  Dosen Hubungan Internasional FISIP Unpad
SUMBER :  KOMPAS, 15 Mei 2012



Berita mengejutkan datang dari Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah: pejabat Korea Utara akan mengunjungi Indonesia pada 13-16 Mei 2012. Apa makna kunjungan ini bagi Indonesia?

Hubungan bilateral Korut dan Indonesia sebetulnya sudah terjalin sejak 1961. Namun, dinamika hubungan keduanya tampaknya jauh dari liputan media massa nasional dan pengamatan hubungan internasional. Bahkan, bukan tidak mungkin beberapa warga Indonesia baru tahu kita memiliki hubungan diplomatik dengan negara paling tertutup di dunia tersebut.

Padahal, di era Perang Dingin, Presiden Soekarno pernah membentuk poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyongyang, yang membuat Indonesia masuk ke dalam Blok Timur. Setelah Perang Dingin berakhir, ternyata hubungan Indonesia-Korut masih terjalin hingga saat ini.

Meski berbagai kebijakan kontroversial Korea Utara telah memicu reaksi negatif dari Barat, hubungan Indonesia-Korut relatif stabil. Apa yang dilakukan Indonesia hendaknya tidak sekadar menunjukkan konsistensi dalam melaksanakan kebijakan luar negeri ”Zero enemy, million friends”. Lebih dari itu, pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia dengan Korut juga seharusnya dilakukan dengan mendorong stabilitas di kawasan Semenanjung Korea.

Nuklir Korut

Salah satu isu paling mengganjal dalam upaya stabilisasi kawasan Semenanjung Korea adalah nuklir Korut. Dari 1960 hingga saat ini Korut adalah salah satu negara yang cukup ”bandel” dalam urusan nuklir. Mulai dari penolakannya menandatangani Non-Proliferasi Nuklir (NPT) pada 1980, meluncurkan rudal berjangkauan jelajah 1.700-2.200 kilometer sebagai uji coba pada 1998, pengunduran diri dari NPT pada 2004, meluncurkan rudal jarak jauh ”Daepodong-2” sebagai uji coba pada 2006, hingga kegagalan peluncuran roket Korut (2012). Tujuannya bervariasi, mulai dari sekadar unjuk kekuatan hingga tuntutan atas bantuan ekonomi dari negara barat.

Keseluruhan aksi Korut itu selalu dianggap serius oleh negara-negara Asia Timur dan AS. Jepang dan Korea Selatan bereaksi paling keras atas tindakan Korut. Begitu pula dengan AS yang bereaksi keras, tetapi lebih suka memberikan bantuan ekonomi dengan syarat Korut harus menghentikan proyek nuklirnya.

Kondisi seperti itu relatif tidak berubah sejak berakhirnya Perang Dingin. Korut satu-satunya negara yang ”tertinggal” di era Perang Dingin karena faktor ideologinya.
Dalam kasus nuklir Korut ini, AS sebetulnya memiliki kepentingan atas stabilitas Semenanjung Korea. Ada upaya agar kondisi status quo ini sengaja dipelihara karena AS tak punya pilihan lain.

AS tidak dapat melancarkan kebijakan seperti yang dilakukan ke Irak pada 2003, yaitu dengan serangan militer. Andai AS nekat melakukan serangan militer, sudah bisa dipastikan fungsi pencegahan yang dimiliki oleh senjata nuklir akan digunakan oleh Korut untuk kebutuhan perang terbuka.

Jika ini terjadi, tidak hanya AS dan negara-negara kawasan Semenanjung Korea yang akan dirugikan, tetapi juga seluruh dunia karena jalur ekspor-impor menjadi terganggu. Selain itu, pertimbangan degradasi lingkungan akibat senjata nuklir membuat upaya stabilisasi Semenanjung Korea selalu berakhir pada kebuntuan.

Peran Indonesia

Indonesia yang memiliki hubungan diplomatik dengan Korut seharusnya dapat memainkan peran aktif yang lebih mendorong pendekatan positive sum game untuk mencapai stabilitas kawasan Semenanjung Korea. Perlu diketahui, kondisi buntu tersebut justru yang selalu diinginkan oleh Korut. Karena faktor nuklirnya, Korut memiliki posisi tawar yang kuat terhadap negara-negara Barat untuk membantu perekonomiannya.

Pendekatan yang dilakukan Indonesia, salah satunya, dapat dilakukan dengan cara yang lebih kurang sama dengan yang pernah dilakukan terhadap Myanmar. Dapat dikatakan, ketulusan junta militer Myanmar untuk menyerahkan kedaulatan kepada rakyat tidak lepas dari upaya gigih Indonesia mengawal proses demokratisasi negara tersebut sejak setahun terakhir. Positive sum game yang dilakukan Indonesia (seperti publikasi positif mengenai perkembangan demokrasi di Myanmar) ternyata tidak hanya membuat Myanmar menjadi demokratis, tetapi juga diapresiasi oleh negara-negara yang selama ini menekan Myanmar.

Selain itu, forum-forum regional lainnya, seperti ASEAN+3 atau ASEAN Regional Forum (ARF), dapat digunakan Indonesia sebagai wadah perubahan kondisi buntu tersebut, tanpa terjebak pada skenario nuklir Korea Utara. Urgensi stabilitas Semenanjung Korea adalah penting karena tidak ada yang mampu memprediksi kapan kondisi buntu ini akan berujung pada perang nuklir. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar