Kamis, 24 Mei 2012

Memiskinkan Penyamun Uang Negara


Memiskinkan Penyamun Uang Negara
Dominikus Dalu S ; Senior Asisten Ombudsman pada Ombudsman Republik Indonesia SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 24 Mei 2012


EDITORIAL Media In donesia (18/5), dengan judul `Perjalanan Dinas Sarang Penyamun', menyoroti korupsi perjalanan dinas oleh birokrasi pemerintahan sesuai dengan hasil temuan BPK yang nilainya mencapai 40% dari biaya perjalanan dinas Rp18 triliun selama setahun. Praktik korupsi perjalanan dinas tersebut bukan hal baru dan sudah ada sejak zaman Orba. Kasus yang sempat menghebohkan adalah mark-up tiket perjalanan dinas di Kemenlu pada 2010, yang menyeret sejumlah pejabat masuk penjara.

Di Provinsi NTT misalnya, perjalanan dinas fiktif oleh pejabat pemda dengan jumlah hari dalam perjalanan dinasnya melebihi hari dalam sebulan. Motif curang perjalanan dinas lainnya yaitu pemalsuan tiket perjalanan dinas kerja sama dengan perusahaan travel atau agen tiket pesawat. Untuk meyakinkan tiket tersebut asli, itu bahkan didukung dengan bukti boarding pass. Namun, borok tersebut ketahuan dari hasil audit BPK. Sebagai contoh, tujuan perjalanan dinasnya ke Jakarta yaitu Bandara Soekarno-Hatta dengan kode IATA-nya CGK, sedangkan pada bukti boarding pass tertera SUB yaitu kode IATA-nya Bandara Juanda, Surabaya. Tentunya masih banyak cerita konyol dan memalukan tentang modus operandi korupsi perjalanan dinas walaupun praktik korupsi bukan hanya dalam perjalanan dinas. Hampir semua penyelenggaraan pemerintahan, dengan peluang sekecil apa pun, kalau bisa `diduitin'.

Selama ini sudah bukan rahasia lagi jika melaksanakan perjalanan dinas, birokrasi kita sangat getol berangkat dengan rombongan dalam jumlah besar, padahal substansi yang akan dikerjakan dalam perjalanan dinas bisa jadi hanya dilakukan satu atau dua orang. Demikian pula halnya perjalanan dinas suatu instansi ke daerah atau dari daerah ke instansi di tingkat pusat. Itu dilakukan dalam waktu yang berdekatan, bahkan bersamaan, oleh beberapa pejabat dalam lingkup instansi tersebut sehingga praktis lebih banyak acara seremonial seperti penyambutan dan lain-lain, padahal minim hasil. Belum lagi pada perjalanan dinas ke luar negeri, pihak KBRI atau perwakilan kita di luar negeri pasti dibuat repot oleh ulah para pejabat yang tak tahu malu, persoalan substansi yang menjadi tujuan perjalanan dinas biasanya dikalahkan oleh urusan pribadi seperti pelesir dan belanja.

Sungguh tragis nasib rakyat kita yang memiliki pejabat demikian. Sialnya, itu terjadi hampir di semua instansi pemerintahan baik di daerah maupun di tingkat pusat. Padahal, peluang untuk menghemat dan tidak melakukan perjalanan dinas dengan menggunakan teknologi informasi yang sedemikian canggih saat ini tidaklah sulit. Fasilitas melalui e-mail, telepon, bahkan telekonferensi bisa dipergunakan. Bahan studi banding bisa pula diunduh dari internet yang menyediakan data apa pun yang dibutuhkan, kecuali untuk hal tertentu yang bersifat sangat urgen dan membutuhkan perjalanan dinas.

Peran lembaga pengawasan internal birokrasi di semua instansi pemerintahan selama ini sungguh melempem, seperti inspektorat jenderal dan pengawasan internal lainnya. Alihalih melakukan pengawasan, semuanya justru terjebak pada perilaku koruptif. Itu situasi yang sungguh memprihatinkan.

Terapkan TPPU

Jika korupsi sedemikian merata, yang bisa dilakukan ialah perombakan dan penataan birokrasi secara menyeluruh serta sikap keteladanan dan ketegasan para pemimpin birokrasi. Solusi lainnya yaitu penegakan hukum yang sungguh-sungguh tanpa pandang bulu. Walaupun harus diakui, pada saat ini kinerja penegak hukum masih belum banyak diharapkan karena korupsi juga menggerogoti lembaga tersebut. Oleh karena itu, kita menaruh harapan pada KPK dengan segala kewenangan mereka selaku pionir penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Jika KPK pun tidak dapat berbuat banyak, bersiaplah kita menjadi negara gagal (failed state) karena persoalan korupsi dan lemahnya kepemimpinan negara. Menilik ketentuan hukum mengenai pemberantasan korupsi sepertinya sudah lebih dari cukup dan sangat memadai sebagai senjata para penegak hukum. Yang belum ialah tindakan atau bukti nyata pemberantasan korupsi.

Sejatinya, selain UU Tipikor, koruptor dapat dijerat dengan UU No 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Pasal 77 UU tersebut mengatur, `Untuk kepentingan pemeriksaan dalam sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan hasil tindak pidana'. Pasal inilah yang menjadi dasar hukum pembuktian terbalik.

Selama ini para pelaku korupsi biasa hidup mewah. Jika mereka dimiskinkan, dampaknya akan sangat luar biasa. Selain bisa mengembalikan kerugian keuangan negara, itu dapat memberikan efek jera bagi para pelaku. Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) terdapat lebih dari 24 jenis kejahatan atau tindak pidana yang dapat dijerat dengan TPPU. Yakni, dari kejahatan korupsi sampai kejahatan di bidang kelautan dan perikanan, ditambah semua jenis kejahatan lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih.

Harta kekayaan yang diperoleh dari semua jenis kejahatan tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan pencucian uang asalkan terdapat cukup alat bukti (Pasal 183 KUHAP). Penjelasan pasal itu bahkan menyatakan penentuan hasil tindak pidana menganut asas kriminalitas ganda (double criminality). Demikian banyaknya jenis tindak pidana yang hasil kejahatannya dikategorikan sebagai pencucian uang. Tepat kiranya penegak hukum menggunakan ketentuan TPPU untuk menjerat pelaku kejahatan, terutama koruptor, yang terbukti merugikan negara dan menyengsarakan kepentingan banyak orang.

Mengingat, sejauh ini hanya beberapa kasus korupsi yang pelakunya dijerat dengan pasal pencucian uang (money laundering). Contohnya, kasus dengan terpidana Bahasyim Assifie dan Gayus Tambunan, pegawai Ditjen Pajak yang menggelapkan pajak. Adapun yang masih dalam penyidikan ialah kasus dengan tersangka Dhana Widyatmika (penggelapan pajak), Muhammad Nazaruddin (kasus pembelian saham PT Garuda Indonesia), dan Wa Ode Nurhayati (kasus Badan Anggaran DPR). Para koruptor selama ini dihukum terlalu ringan karena hanya hukuman badan, tidak sepadan dengan kejahatan mereka. Hukuman pengganti atau denda bagi koruptor berupa sejumlah uang biasanya tidak diindahkan dan lebih memilih hukuman badan (subsider).

Setelah selesai menjalani hukuman, para koruptor tetap hidup mewah karena tidak dimiskinkan. Sudah saatnya menggabungkan UU Tipikor dan UU TPPU dalam menjerat para koruptor. Dalam kasus Bahasyim misalnya, walaupun hanya dihukum 10 tahun penjara dan denda Rp250 juta subsider tiga bulan kurungan, harta Bahasyim senilai Rp60,9 miliar dan US$681.147 dirampas untuk negara.

Dalam perkara Gayus, selain memvonis penjara, majelis hakim memiskinkan Gayus dengan menyita hartanya senilai Rp74 miliar untuk negara. Dengan demikian para koruptor tidak hanya dihukum badan, tetapi harta kekayaannya dari hasil korupsi pun dirampas untuk negara. Jika semua elemen masyarakat di negeri ini sudah bersepakat tidak ada toleransi sekecil apa pun bagi para koruptor, wahai penegak hukum tunggu apa lagi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar