Kebebasan
tanpa Norma
Anton
Tabah ; Kolumnis
SUMBER
: REPUBLIKA,
25 Mei 2012
Konser
Lady Gaga akan disetujui jika `menyesuaikan' dengan budaya Indonesia. Itu berarti
tidak menampil kan pornoaksi dan erotisme. Berbusana yang sopan sesuai adat
Timur. Apakah itu cukup itu? Lady Gaga adalah stigma pornoaksi vulgar.
Lady
Gaga adalah stigma penista berbagai agama. Simbol kebebasan tanpa norma. Gaga
adalah lambang pemuja setan. Setidaknya, stigma-stigma itu telah melekat pada
dirinya dan itu diakui pula olehnya. Stigma itulah yang membuat mayoritas
rakyat Indonesia menolak dia konser di Indonesia.
Karena
itu, tak cukup ia mengubah penampilan. Apalagi, Indonesia negara yang paling
lengkap memiliki instrumen hukum, antara lain Undang-Undang Anti Pornografi/Pornoaksi
dan UU Anti Penistaan Agama. Jadi, penolakan terhadap Lady Gaga adalah demi
tegaknya kedaulatan hukum dan kedaulatan budaya. Dan, itu tak cukup dengan
hanya mengubah penampilan.
Lady
Gaga memang fenomenal. Ia dipuja dan dibela mati-matian oleh para pengagumnya
dengan dalih seni, kebebasan, dan demokrasi. Tapi, kita lupa telah berikrar
bahwa kita telah meletakkan ajaran dan bimbingan Tuhan Yang Maha Esa dalam
setiap langkah berpikir dan berperilaku yang terkristalisasi dalam filosofi
bangsa Indonesia.
Ini
berarti pula bahwa seni, kebebasan, dan demokrasi kita harus dalam koridor
petunjuk dan bimbingan Tuhan Yang Maha Esa. Lupakah kita akan penjajahan modern
bukan dengan bedil dan bom, melainkan infiltrasi budaya. Efek budaya sering
berbenturan. Seperti doktrin lain ladang lain belalang, lain lubuk lain
ikannya. Lalu, orang berargumen di era keterbukaan, belalang mana, di ladang
siapa, dan ikan apa di lubuk mana, sulit diidentifikasi?
Sebuah
keniscayaan disparitas budaya antara Barat dan Timur yang sangat jelas. Budaya
Timur memegang teguh agama untuk memayungi budaya, sedangkan budaya Barat
sangat longgar dengan agama sehingga budaya melahirkan paham kebebasan nyaris
menge sampingkan agama.
Namun,
apakah budaya Timur masih tegar dengan komitmennya? Kini, budaya Timur mulai
longgar akibat dahsyatnya gempuran peradaban abad informasi the global village. Dunia hanya bagai
sebuah desa, kata futurolog. Lebih dahsyat lagi kata nenek moyang kita, “Dunia
tak selebar daun kelor.“ Berger bilang gaya hidup melahirkan budaya, budaya
melahirkan hukum. Keniscayaan ini dinisbatkan dengan analogi lahirnya hukum dua
rahim filosofi dan sosiologi.
Dengan
demikian, ini melahirkan kebebasan yang permisif bukan hanya pada pornografi
dan pornoaksi, juga terhadap budaya seks bebas, bahkan budaya yang
terang-terangan menentang agama apa pun, yaitu menikah dengan sesama jenis;
laki-laki kawin dengan laki-laki dan wanita dengan wanita.
Seperti
teori Berger tadi, budaya melahirkan hukum dan hal tersebut telah banyak dilegalkan
di Barat. Bahkan, salah satu isu kampanye Obama dalam pilpres tahun 2012 ini
juga akan melegalkan perkawinan sejenis. Soal penampilan Lady Gaga, bagi Barat
tidak masalah karena sudah sangat bebas.
Ribuan
tahun silam, nenek moyang kita Joyoboyo telah meramal kerusakan bangsa ini
ditandai tiga hal. Yaitu, kali ilang
kedunge (sungai-sungai didangkalkan disempitkan), pasar ilang kumandange (pasar-pasar tradisional diganti pasar
modern), wong wadon ilang wirange
(perempuan sudah tak punya malu membuka aurat di muka umum).
Futurolog kita juga andal. Semua yang diramalkan nenek moyang ribuan tahun tadi kini benar-benar terjadi.
Futurolog kita juga andal. Semua yang diramalkan nenek moyang ribuan tahun tadi kini benar-benar terjadi.
Ramainya
pendukung Lady Gaga yang bersuara lantang membela mati-matian agar konsernya di
Indonesia diizinkan adalah pembenaran ramalan Joyoboyo itu. Mereka berlindung
di bawah payung kebebasan dan demokrasi, tapi lupa jika budaya kebebasan dan
demokrasi bangsa ini berbeda dengan Barat. Demokrasi dan kebebasan kita
dipayungi bimbingan petunjuk Tuhan Yang Maha Esa. Inilah keunggulan kita.
Pertama,
filosofi tujuan utama NKRI dibentuk untuk berkedaulatan, melindungi, dan
mencerdaskan bangsa. Ke daulatan politik, ekonomi, hukum, dan budaya. Termasuk,
melindungi budaya luhur, bukan budaya hina umbar aurat.
Filosofi
mencerdaskan bangsa bukan memintarkan bangsa. Cerdas adalah paduan keputusan
pikiran dan hati, sedangkan pintar hanya artikulasi lahiriah tanpa hati. Jika
yang muncul budaya pintar bukan budaya cerdas, ini akan melahirkan budaya tanpa
malu, melahirkan budaya korupsi.
Kedua,
kita harus mengaktualisasikan kedaulatan bangsa. Tidak gampang menerima
infiltrasi budaya asing. Ingat, penjajahan modern bukan dengan perang senjata,
melainkan perang budaya. Dan, yang tidak memahami konsep perang modern ini
berkhianat, lalu memihak kepada kekuatan musuh. Mereka mati-matian menerima
budaya yang nyata-nyata bertentangan dengan budaya bangsa Indonesia.
Ketiga,
dari berbagai penampilan Lady Gaga, jelas pornoaksi mengumbar aurat sangat
nyata bernuansa ketelanjangan. Sekali lolos masuk Indonesia, yang berkomitmen
mempertahankan budaya luhur, Indonesia akan kedodoran dan tak akan mampu
membendung gempuran pornoaksi dan pornografi . Jika ini terjadi, kerusakan
moral bangsa akan makin parah dan dikhawatirkan generasi yang mendatang akan
mengikuti Lady Gaga sang pemuja setan.
Kasus
Lady Gaga membukakan dialog hati nurani. Apakah patut kita sebagai bangsa yang
religius memaksakan diri menonton yang tak pantas dan kontroversial? Dengan
dialog yang mudah, mengapa mesti nonton yang kontroversi? Toh, masih banyak
hiburan lain yang tidak kontroversi yang bisa ditonton.
Kasus
Lady Gaga justru kesempatan bagi bangsa Indonesia mengaktualisasikan diri akan
kedaulatan budayanya dan ketahanan budaya kita dengan mengapresiasi tiga hal
tersebut. Dengan demikian, kita menjadi bangsa yang cerdas, bukan pintar.
Semoga
Polri menjadi polisi yang cerdas, bukan polisi pintar sehingga tampil sebagai
pelindung, pengayom, penegak kebenaran, kedaulatan hukum, dan kedaulatan budaya
serta akhlak bangsa Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar