Jumat, 04 Mei 2012

Mengurai Problem Pangan Rakyat

Mengurai Problem Pangan Rakyat
Sucipto; Dosen dan Peneliti Teknologi Industri Pertanian (TIP) Universitas Brawijaya, Kandidat Doktor TIP IPB
SUMBER : REPUBLIKA, 04 Mei 2012


Pangan adalah kebutuhan dan hak dasar setiap manusia. Itulah kegelisahan, harapan, dan tantangan Bung Karno saat peletak an batu pertama pembangunan Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (UI) yang sekarang menjadi Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 27 April 1952.

Meski berperan mewujudkan generasi berkualitas, pangan bagi setiap individu rakyat belum terjamin. Si miskin susah mendapat akses pangan untuk menahan lapar, sementara si kaya menderita obesitas. Mengapa problem pangan rakyat terus terjadi?

Problem Dasar

Pemenuhan pangan rakyat bukan soal sederhana. Apalagi, pangan telah menjadi objek spekulasi dan liberalisasi. Diskursus konsep ketahanan pangan dan kedaulatan pangan untuk memenuhi pangan sedang terjadi. Pangan juga terkait ketersediaan, keterjangkauan, penerimaan, dan simbol kesejahteraan rakyat.

Soal pangan rakyat dalam negeri tak lepas dari ancaman krisis pangan global. Organisasi pangan dan pertanian sedunia mengemukakan, indeks harga pangan Februari 2011 mencapai 236, naik dari Januari 2011 sebesar 231. Ini melampaui indeks harga pangan tertinggi pada krisis 2008 yang mencapai 213,5.
 
Saat ini, hampir 1 miliar manusia kekurangan pangan. Ancaman krisis pangan menerpa Indonesia ketika negara terseret liberalisasi pangan. Rancangan Undang-Undang Pangan yang dibahas wakil rakyat diduga kental nuansa liberalisasi. Pembebasan bea masuk selama setahun 57 pos tarif komoditas beras, gandum, kedelai, serta bahan baku pupuk dan pakan ternak tahun 2011 mendorong impor pangan. Susu impor 90 persen kebutuhan, gula 30 persen, garam 50 persen, gandum 100 persen, kedelai 70 persen, dan daging sapi 30 persen. Padahal, ke cuali gandum, pangan tersebut bisa diproduksi dalam negeri.

Secara sederhana, ada tiga kemungkinan terjadinya krisis pangan. Pertama, produksi lebih kecil dari konsumsi. Kedua, produksi lebih dari konsumsi, tetapi secara fisik tidak terdistribusi pada konsumen karena infrastruktur tidak mendukung. Ketiga, produksi lebih dari konsumsi secara fisik dapat terdistribusi ke konsumen, tapi harga tak terjangkau.
Faktanya, produksi pangan masih melebihi konsumsi. Stok beras dunia akhir 2011 sebesar 149,8 juta ton atau 32,0 persen dari penggunaan (Word Rice Market, 2011). Secara nasional, pada 2010 ketersediaan energi 3.035 kkal dan protein 80,33 g per kapita per hari. Ini lebih dari keperluan 2.200 kkal dan protein 57 g per kapita per hari (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 2004).

Ada problem ganda pangan. Warga negara maju membuang makanan 95115 kg per tahun. Angka obesitas meningkat beberapa tahun terakhir, tetapi warga negara miskin dan berkembang kekurangan pangan. Dengan mengandalkan mekanisme pasar, ketersediaan pangan di tingkat makro tidak mengalir ke individu yang membutuhkan. Krisis pangan terjadi lebih karena pangan tidak terdistribusi pada tiap individu akibat harganya tidak terjangkau.

Meroketnya harga pangan dunia disebabkan beberapa kondisi. Perdagangan bebas pangan yang didorong korporasi multinasional (MNCs) yang mengejar rente. Saat ini, lima MNCs menguasai 90 persen perdagangan biji-bijian dunia.
Di Indonesia, Bulog hanya mengontrol 10 persen stok beras nasional. Spekulasi pada bursa komoditas mengakibatkan lonjakan tajam harga pangan.

Peran negara mengurus dan mengendalikan harga pangan dikebiri. Konflik kepentingan terjadi ketika Badan Urusan Logistik (Bulog) dijadikan perusahaan umum (perum) yang berfungsi sebagai stabilisator pangan dan berorientasi profit. Akibatnya, Bulog tidak op timal menyerap beras petani saat panen raya. Cadangan beras Bulog minim dan keran impor dibuka.

Perbaiki Tata Kelola

Selama ada kesungguhan, produksi pangan petani dapat ditingkatkan. Apalagi, masih ada lahan subur dan belum produktif yang dapat diusahakan untuk pangan dengan tetap menjaga kelestariannya. Komitmen pemerintah mewujudkan kemandirian pangan sangat penting.

Akses lahan, modal, serta sarana produksi mesti dipermudah bagi petani.
Benih berkualitas dan adaptif perubaham iklim, pupuk ramah lingkungan, serta peralatan pascapanen akan mendukung produksi. Infrastruktur pertanian mutlak diperbaiki.
Diversifikasi pangan pun harus berjalan. Saatnya tradisi pangan lokal, seperti sagu, jagung, ubi kayu, sorgum, ubi jalar, dan umbi-umbian lain dihidupkan lagi dan dikembangkan. Tentu, perlu sentuhan teknologi, inovasi, dan dipadu pangan lain agar menggugah selera dan bergizi seimbang.

Peningkatan produksi dan diversifikasi pangan tiada arti bagi pemenuhan pangan rakyat jika tata kelola pangan tak diperbaiki. Dominasi MNCs dalam produksi dan distribusi pangan perlu dieleminasi. Perdagangan bebas pangan yang eksploitatif perlu diarahkan menjadi perdagangan yang adil.

Peran negara `pelayan rakyat' dalam menjamin pangan rakyat mutlak dikembalikan. Harga pangan selayaknya mengikuti biaya produksi, terbuka, adil, serta jauh dari pemburu rente.

Petani perlu diperkuat melalui teknologi terjangkau dan kemudahan akses kredit. Peningkatan luas dan penguatan status penguasaan lahan petani dapat didorong melalui land reform dan access reform. Tanah terdistribusi lebih adil dan menjadi lebih produktif. Pendampingan terstruktur dan terintegrasi pemerintah serta penguatan lembaga petani perlu diciptakan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar