Menggugat BLU Sesat
Zainun Ahmadi; Anggota DPR Fraksi PDI-Perjuangan
SUMBER
: REPUBLIKA, 04 Mei 2012
Sengketa
kewenangan lembaga negara antara pemerintah, DPR, dan BPK sekarang ini dalam
proses persidangan di Mahkamah Konstitusi. Sengketa menyangkut divestasi PT
Newmont Nusa Tenggara atas pembelian tujuh persen saham oleh pemerintah apakah
perlu meminta persetujuan DPR atau tidak.
Dalam
persidangan terungkap, pemerintah sebagai pemohon berdalih sudah memperoleh
persetujuan dengan diundangkan UU APBN 2011 sedangkan DPR dan BPK sebagai
termohon menyatakan sebaliknya karena bentuk persetujuan itu sangat sumir,
tersembunyi, dan alokasi besaran dana yang tidak memadai. Terungkap pula,
pemerintah melakukan pembelian tujuh persen saham divestasi PT Newmont Nusa
Tenggara (NNT) melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP), yaitu satuan unit
kerja atau unit pelaksana teknis Kemenkeu.
Persamaan
argumentasi pemohon dan termohon ialah menyebut PIP sebagai badan layanan umum
(BLU). Menurut pemohon, proses dan mekanisme pembahasan RUU APBN 2011 telah
berjalan baik, dimulai dengan penyampaian rencana usaha, investasi, rencana
kerja, dan anggaran PIP oleh Kemenkeu kepada Komisi Keuangan DPR untuk
disetujui dan disinkronkan di Badan Anggaran sebelum jadi UU APBN 2011.
Bagi
pemohon, karena PIP merupakan satuan kerja dan bagian perangkat pencapaian
tujuan Kemenkeu maka setiap rencana kerja, anggaran, laporan keuangan, dan
kinerjanya disusun serta disajikan sebagai kesatuan kerja dan kinerja Kemenkeu.
BLU oleh pemohon dianggap sebagai badan atau lembaga.
Di
lain pihak, menurut termohon, penggunaan dana PIP untuk pembelian saham NNT
tidak mencerminkan maksud tujuan BLU, tidak sesuai dengan filosofi dan semangat
dibentuknya BLU sebagaimana ketentuan UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan
Negara. Dalam APBN 2011, selain tidak terdapat alokasi dana pembelian saham NNT
secara khusus, pengalokasian dana investasi juga dilakukan tanpa perincian dan
penjelasan seperti diatur UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara. Di sini
termohon (terpengaruh) juga menganggap BLU sebagai badan atau lembaga.
BLU Bukan Badan
Dua
pasal dalam UU Perbendaharaan Negara yang memunculkan sebutan BLU telah
menciptakan olah pikir sesat dan tafsir yang menyesatkan bahwa BLU merupakan
suatu badan--yang otonom murni. Mencermati dengan saksama makna BLU, baik di
dalam UU, PP, maupun permen, dapat disimpulkan ia bukan suatu badan, melainkan
hanya pola pengelolaan keuangan negara dan menjadi bagian instansi induknya.
Pola
pengelolaan keuangan (PK) BLU dimaksudkan untuk memberi pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa. Pola ini dijalankan berdasarkan prinsip efisiensi dan produktivitas
dengan tidak mengutamakan mencari keuntungan, dikelola secara fleksibel dengan
prinsip ekonomi dan praktik bisnis yang sehat.
PK BLU merupakan pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara yang berlaku pada umumnya.
PK BLU merupakan pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara yang berlaku pada umumnya.
Pemahaman
secara sederhana, yaitu mengatur semua penerimaan negara yang diperoleh satuan
unit kerja, tidak perlu dimasukkan ke kas negara sebagai anggaran pendapatan,
tetapi dapat langsung dibelanjakan sesuai rencana kerja/anggaran. PK BLU
dituntut agar senantiasa dalam koridor entrepreneurial
bureaucratic. Penerapan sistem manajemen dengan spirit korporasi yang
produktif, efisien, dan kompetitif dalam menghasilkan pelayanan bermutu
digadang-gadang dapat bermanfaat bagi masyarakat.
Format
baru penganggaran berbasis kinerja demikian relatif cocok, misalnya, bagi
manajemen keuangan layanan kesehatan atau lingkungan rumah sakit yang selain
mengemban misi kemanusiaan juga menjadi rujukan bagi masyarakat tidak mampu.
Ataupun di lingkungan layanan pendidikan. Tetapi, bagi Kemenkeu selaku pemilik
PIP, di manakah letak memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan
barang/jasa tanpa mengutamakan keuntungan sesuai Pasal 1 Ayat (1) PP No
23/2005?
Tinjau Ulang
Ada
beberapa alasan PK BLU perlu ditinjau ulang. Pertama, BLU membawa implikasi
luas terhadap kelembagaan (kementerian, badan, pemerintahan daerah), baik menyangkut
status, susunan, maupun aspek lain. Status kepegawaian, misalnya, PK BLU
memungkinkan ditempati oleh pegawai non-PNS. Pun mengenai pengaturan hubungan
antara pemerintah pusat dan daerah.
Kedua,
dalam perkara PIP di Mahkamah Konstitusi, masuk akal jika BPK menuding
pembelian saham NNT sebagai investasi jangka panjang dalam bentuk penyertaan
modal pemerintah dan itu artinya keberadaan PIP bertujuan mencari keuntungan.
Ditemukan banyak sekali pola PK BLU mirip PIP yang mengelola aset triliunan rupiah,
antara lain, Pusat Pengelolaan Kawasan (PPK) Kemayoran, PPK Gelora Bung Karno,
dan Transjakarta.
GBK,
dulu merupakan aset Yayasan Gelora Bung Karno, selalu dikatakan pemerintah
sebagai kawasan olahraga dengan lingkungan hijau, terbuka, dan bagian dari resapan
air, nyatanya lebih dikuasai bangunan mal/plaza, hotel, apartemen, perkantoran,
dan segala fasilitas rekreasi metropolis. PPK GBK menguasai lahan seluas 279
hektare dengan nilai aset lebih Rp 50 triliun. Pendapatan pada 2011 hanya
sekitar Rp 132 miliar. Setoran ke negara sebagai PNBP sebesar Rp 19,8 miliar.
Kondisi serupa juga terjadi di PPK Kemayoran.
Ketiga, asosiasi publik menjadi rancu dan
menganggap BLU laksana badan atau lembaga dengan penambahan istilah di
depannya, contohnya BLU PIP, BLU Transjakarta, BLU PPK Kemayoran, atau BLU PPK
GBK. Hal ini terjadi karena peniruan penamaan pada perseroan terbatas. Jadi,
BLU harus dibaca, hanya menyangkut pola pengelolaan keuangan. Diharapkan,
Kemenpan dan Reformasi Birokrasi tergerak segera menyelesaikan penyiapan RUU
BLU yang sudah bertahun-tahun terbengkalai sebagai inisiatif pemerintah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar