Jumat, 04 Mei 2012

Bu Dokter, Kau Tak Pernah Pergi Kan?


Bu Dokter, Kau Tak Pernah Pergi Kan?
Arifin Panigoro; Penggiat dan Suporter Komisi Nasional Pengendalian Tembakau
SUMBER : KOMPAS, 04 Mei 2012


Kabar duka itu menghampiri saya seperti belati yang mengiris ulu hati. Perih! Dokter Endang Rahayu Sedyaningsih mendahului kita semua, Rabu (2/5), kembali ke Yang Ilahi.
Sejatinya, saya—sebagaimana khalayak ramai—ikuti pemberitaan tentang kesehatan mendiang Ibu Menteri Kesehatan, yang belakangan hari tengah merosot tajam karena penyakit yang diidapnya. Saya pun mendengar Bu Dokter, demikian saya kerap menyebut sosok almarhumah, terdeteksi mengidap penyakit kanker paru. Saya juga menyimak cerita beberapa kawan dan saudara saya yang kebetulan juga aktif di departemen yang ia pimpin, bahwa Bu Dokter sedang menjalani terapi.

Satu hal yang bikin saya salut, kendati dalam fase pengobatan, ia tidak menunjukkan tanda-tanda mengendorkan semangat dan dedikasi pada departemen yang ia pimpin. Adik saya yang jadi tenaga medis di sebuah rumah sakit di Ibu Kota malah menyebutkan, ”Dia tidak mau pergi Pin, seolah-olah dia tetap sehat seperti sediakala. Dia meminta kami semua fokus dalam tugas di ranah pengabdian medis.”

Gigih, cakap, rendah hati

Hadirnya sosok Bu Dokter seperti rekan dalam berjuang. Ceritanya, kami sama-sama getol memperjuangkan bebasnya masyarakat Indonesia dari ancaman bahaya tembakau.
Ancaman dari pengisap tembakau di Indonesia bukan isapan jempol belaka. Data yang ada di Komisi Nasional Pengendalian Tembakau menunjukkan, tak kurang dari 40 juta anak Indonesia rawan terpapar bahaya asap rokok. Pemicunya faktor orangtua atau saudara mereka yang punya kebiasaan buruk ini dalam menikmati tembakau di rumahnya.

Indonesia adalah ”juara” ketiga dari konsumen terbesar rokok dunia setelah China dan India. Total rokok yang dibakar mencapai 220 miliar batang per tahun di Tanah Air. Fakta ini sungguh mencengangkan, sekaligus memprihatinkan.

Di mata Bu Dokter, rupanya, maraknya konsumsi rokok tidak lepas dari gencarnya iklan dan promosi dari produsen yang mengemasnya dengan menarik bagi masyarakat. Rokok bahkan menyasar masyarakat dengan pencitraan sebagai bagian dari gaya hidup modern. Berbagai bentuk ”kampanye” rokok ini menumbuhkan kecemasan di kalangan praktisi yang menggagas pengendalian bahaya tembakau. Utamanya risiko pada anak-anak dan perokok pasif.

Sosok almarhumah begitu gigih mendukung gerakan dan kegiatan Komisi Nasional Pengendalian Tembakau. Kebetulan saya dan keluarga turut aktif mendorong kegiatan komisi ini sebagai suatu gerakan masyarakat madani.

Kegetolan Bu Dokter mendukung kami membuat saya kagum, tetapi juga bertanya-tanya dari mana sumber dan akar keberaniannya. Padahal, sudah jadi rahasia umum kekuatan lobi industri tembakau begitu besar pada kekuatan politik di republik ini. Bu Dokter tak surut langkah. Dia tak terlihat mudah menyerah meskipun proses legislasi dalam mengegolkan regulasi pengendalian tembakau mengalami pasang surut yang tidak ringan bagi dirinya. Di titik ini, saya dan teman-teman yang giat dalam Komisi Nasional Pengendalian Tembakau merasa kehilangan rekan sejawat dan seperjuangan.

Sikap gigih Bu Dokter ternyata bukan ”barang tiban” atau instan yang hadir begitu saja. Saya coba bicara dengan beberapa kolega dan temannya. Kebetulan ada teman semasa SMA Negeri 4 Gambir, Jakarta Pusat, yang juga getol dalam kampanye pengendalian tembakau turut membagi senarai kisah Bu Dokter. Dari situ saya paham garis hidup dan perjalanannya, yang membuat birokrat ini bersikap bukan seperti pejabat yang biasa kita kenal dalam ”nomenklatur” kepegawaian pada umumnya.

Jika pejabat lain menyebarkan atau kampanye program kementerian sudah lumrah, Bu Dokter satu ini membuat saya tertegun. Dia begitu getol memberi perhatian serius dan kepedulian tinggi dalam penanganan program-program kesehatan, khususnya tentang kesehatan ibu dan anak serta pemberantasan penyakit menular dan penyakit tidak menular. Termasuk pengendalian faktor risiko terbesar dari penyakit tidak menular, yaitu konsumsi tembakau.

Bu Dokter tak asal cakap. Tanpa ba-bi-bu, Bu Dokter pula yang memprakarsai kementeriannya memasang berbagai iklan layanan masyarakat mengenai bahaya rokok hingga menjangkau kendaraan umum. Kita pun dapat melihat akibat buruk bahaya rokok yang dikampanyekan, di antaranya di bus transjakarta.

Di sini saya jadi ingat seloroh di atas, jangan-jangan Bu Dokter memang tidak pernah pergi. Dia hadir dalam bentuk jangkauan kegiatan aktif di masyarakat. Pesannya sederhana, tetapi layaknya obat racikan sangat ”cespleng” dalam membuka mata publik terhadap inti dari kampanye pengendalian tembakau yang didukungnya.

Sebagai pakar dan profesional lulusan Universitas Harvard, Bu Dokter dikenal sebagai pribadi yang rendah hati sesuai ajaran kedua orangtuanya: Prof Dr Sudjiran Resosudarmo dan Satimah Mardjana. Ia juga sangat terbuka dalam membina relasi dengan para mitra dan pemangku kepentingan. Tak hanya dengan para profesional kesehatan, ia pun mudah bergaul dengan seluruh lapisan masyarakat. Bahkan, kolega saya sering bercerita, ia mendengar informasi jika Bu Dokter kerap turun langsung mendengarkan keluh kesah masyarakat dengan hati dan kepala dingin.

Urusan terjun langsung ke masyarakat memang bukan barang baru bagi sosok almarhumah. Bu Dokter saya dengar cukup lama berada di tengah masyarakat bawah saat jadi dokter puskesmas di Desa Waipare, pedalaman Nusa Tenggara Timur, selama lebih dari tiga tahun di awal 1980-an. Desa Waipare bahkan sangat berkesan untuk Bu Dokter karena di sana ia pernah menjabat sebagai kepala puskesmas. ”Tak semua orang bisa menjabat kepala puskesmas di daerah,” katanya dengan bangga pada satu kesempatan.

Sosok Penuh Elan Juang

Bu Dokter—sebagian teman sekolahnya memanggil dengan nama akrabnya, Enny—boleh dibilang berkarier dari jabatan kepala puskesmas hingga menapak di anak tangga tertinggi sebagai Menteri Kesehatan. Tak kurang dari 2,5 tahun Bu Dokter menorehkan catatan dan prestasinya sebagai menteri. Sungguh tak banyak pejabat setingkat menteri, yang notabene adalah jabatan politis dari pelaksanaan hak prerogatif presiden, memiliki catatan karier dan ilmu ”luar-dalam” dari departemen yang dipimpinnya selengkap Bu Dokter.

Hari ini Indonesia boleh berduka. Namun, saya tidak akan mengenang sosoknya dengan air mata meski duka masih perih terasa di hati. Saya lebih senang mengenang sumbangsihnya dalam berbagai kampanye yang ia sokong, utamanya kegiatan pengendalian tembakau yang ia tekuni bersama-sama kami. Pada galibnya saya yakin Bu Dokter tidak pernah benar-benar pergi. Dia hadir dalam berbagai ranah pengabdian yang telah ia ukir semasa kariernya.

Bu Dokter, sampai di sini saya tutup catatan mengenang sosokmu yang penuh elan juang. Terima kasih untuk dedikasimu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar