Rabu, 23 Mei 2012

Kontroversi Konser Lady Gaga


Kontroversi Konser Lady Gaga
Thomas Koten ; Direktur Social Development Center
SUMBER :  REPUBLIKA, 23 Mei 2012


Lady Gaga tengah menjadi pusat pembicaraan hangat di Indonesia. Ini terkait dengan penolakan Polda Metro Jaya atas rencana konser perempuan yang bernama asli Stefani Joanne Angelina Germanotta itu di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, 3 Juni nanti.

Persoalan yang diperdebatkan adalah mengapa polisi bersikukuh menolak konser yang disebut akan menjadi terbesar di Asia tersebut? Dan, mengapa hanya konser Lady Gaga yang dilarang, sedangkan konser lain seperti Katy Perry diperbolehkan? Juga mengapa banyak pihak beserta sejumlah ormas, seperti Front Pembela Islam (FPI) dan beberapa fraksi di DPR ikut melarangnya? Polda Metro Jaya, secara spesifik membeberkan alasan penolakan konser bertajuk `The Born This Way Ball' ini didasarkan pada pertimbangan keamanan dan pertentangan dengan budaya Indonesia, karena sang penyanyi kerap mempertontonkan erotisme dan menunjukkan simbol pemujaan terhadap setan.

Pertanyaan pihak yang kurang setuju dengan pelarangan itu, apakah sedemikian gawatnya sehingga berpotensi menimbulkan gangguan keamanan atau kesusilaan? Atau, benarkah Lady Gaga sedemikian tidak bermoral sehingga bertentangan dengan nilai agama dan budaya ketimuran yang menjunjung moralitas, etika, dan sopan santun?

Ancaman Budaya dan Darurat Moral

Mempersoalkan konser Lady Gaga di Tanah Air, seperti penolakan pihak keamanan, 
sungguh bisa dimengerti. Itu sejauh kita mengerti mengapa penolakan itu harus dilancarkan karena di satu sisi, pementasan seperti itu sungguh menohok budaya ketimuran nan luhur, serta norma-norma agama yang kita pelihara dengan susah payah.

Okelah, pelarangan konser Lady Gaga dianggap kontras dengan peradaban modern di era globalisasi yang mengagungkan kebebasan berekspresi dan melabrak hak asasi manusia secara pribadi dan kelompok dalam beraktivitas. Apalagi, tidak menyebut analisis persoalan potensial yang memaksa polisi mengambil sikap supertegas di luar kebiasaan.

Lebih jauh, pelarangan itu dinilai kelewatan, mengingat belum ada batasan-batasan yang jelas menyangkut ketidaksesuaian dengan budaya luhur atau norma-norma moral dan agama. Karena polisi terkesan masih memilah antara peraga yang satu dan peraga yang lain. Karena jika Lady Gaga dianggap mengumbar erotisme yang tidak sesuai dengan budaya luhur bangsa, harus ada ukuran yang jelas ketidaksesuaian itu. Maka, rumusan itu berlaku untuk setiap peraga baik lokal, nasional, maupun internasional.

Mengingat, jika yang dipersoalkan adalah menyangkut penampilan erotismenya, di Indonesia banyak penyanyi dangdut yang biasa pentas di daerah dan ruang-ruang terbuka yang penampilannya jauh lebih erotis dan mengundang syahwat. Kalaupun yang dipersoalkan adalah sisi lirik yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, bukankah banyak lirik lagu musisi cadas dunia yang pernah tampil di Tanan Air punya lirik yang lebih parah? Jadi, pelarangan konser Lady Gaga dinilai subjektif dan hanya tunduk pada tekanan sejumlah pihak.

Tetapi, sesungguhnya pelarangan itu dapat dibenarkan jika dilihat dari sisi perbaikan moral bangsa, dan dalam usaha untuk tetap mempertahankan nilai-nilai budaya luhur dan norma-norma agama yang kini sudah benar-benar terkikis. Okelah, banyak lirik lagu yang jauh lebih parah daripada lirik lagu milik Lady Gaga. Juga banyak konser dangdut dan konser-konser lain yang banyak mengumbar erotisme.

Namun, itu tidak berarti kita tetap membiarkan konser-konser seperti itu terus tumbuh subur di negeri ini kalau itu memang benar-benar bertentangan dengan budaya luhur dan nilai-nilai agama kita? Harus diingat bahwa sudah terlalu banyak budaya luhur kita dirusak oleh masuknya budaya asing yang kurang terkontrol dan disikapi dengan baik.

Jika konser ala Lady Gaga dibiarkan terjadi, bukan tidak mungkin muncul lagi konser-konser lain yang lebih berani mengumbar erotisme di hadapan publik bangsa ini, dengan lirik-lirik lagu yang lebih tidak patut. Itu tidak boleh terjadi karena membuat kesan pemerintah melegalisasi dan melegitimasi berbagai aksi erotisme di negeri ini. Bisa dibayangkan apa jadinya jika pemerintah yang bertanggung jawab menjaga moral bangsa, kemudian malah semakin longgar dengan merestui konser-konser yang nyata-nyata mengancam budaya luhur kita.

Jika moral bangsa kita semakin hancur. Korupsi, suap, pornografi, pornoaksi, seks bebas yang mencederai lembaga perkawinan, sungguh telah merajalela dan semakin tak terbendung. Lalu, apakah dengan demikian, kita semakin longgar dan terus membuka pintu untuk membiarkan moral bangsa bertambah hancur di negeri ini, tanpa upaya sekecil apa pun untuk mencegahnya?

Secara komersial, benar bahwa konser Lady Gaga menyajikan keuntungan besar. Tetapi, bisa tanpa disadari daya rusaknya terhadap moral bangsa untuk jangka panjang jauh lebih besar. Khususnya, bagi generasi muda, tentu sangat riskan jika segala konser yang bertentangan dengan budaya luhur dan norma-norma agama dibiarkan terus beraksi di ruang-ruang publik bangsa ini.

Ujian Bagi Pemerintah

Karena itu, meski pelarangan pihak keamanan itu mengandung sisi negatifnya, ada nilai positif yang mesti dijunjung tinggi dan dihormati. Lebih dari sekadar perdebatan soal moralitas, dan nilai-nilai agama dan budaya yang luhur negeri ini, apa yang ada di balik kontroversi konser Lady Gaga adalah batu ujian bagi pemerintah tentang sikapnya sebagai penanggung jawab langgengnya moral bangsa dan lahirnya generasi muda, yang tidak kebablasan dalam berperilaku.

Mungkin pengaruh negatif konser Lady Gaga tidaklah banyak untuk saat ini, tetapi itu tidak bisa dianggap sepele. Perlu dicatat bahwa kerusakan moral bangsa ini sudah sangat parah dan jangan diperparah lagi, dengan membiarkan pintu-pintu kerusakan moral bangsa dan budaya terbuka lebar, sehingga kebobrokan kian tidak terkendalikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar