Kebebasan
dan Kebaikan Kolektif
Novri
Susan ; Sosiolog
Konflik Universitas Airlangga (Unair);
Kandidat
PhD Doshisha University, Jepang
SUMBER
: SINDO,
25 Mei 2012
Kebebasan
dipahami sebagai prasyarat normatif terbentuknya masyarakat demokratis yang
dinamis dan maju. Kebebasan dipandang menjamin suatu proses dialektis
kebudayaan masyarakat yang mampu merealisasikan tujuan hidup kolektif
kebangsaan seperti keadilan, kesejahteraan, dan keamanan manusia.
Pada
pengertian ini kebebasan menjadi sangat vital sehingga harus dijamin oleh
organisasi negara. Negara Republik Indonesia pun memberikan jaminan kebebasan
pada masyarakat melalui konstitusi. Kebebasan beragama, berpendapat,
berorganisasi, sampai kebebasan berekonomi-politik terjamin dalam UUD 1945.
Kendati demikian, kebebasan di Indonesia yang dijamin konstitusi seringkali sarat kekerasan ketika kelompok-kelompok sosial terlibat konflik dalam isuisu tertentu. Kekerasan baik fisik maupun komunikasi memadat di ruang kebebasan berbangsa yang menyebabkan peristiwa marjinalisasi, represi, dan stigmatisasi direproduksi dalam kehidupan sehari-hari. Pada kondisi ini kebebasan tidak lagi memajukan kebudayaan bangsa,namun telah menjadi arena konflik kekerasan yang destruktif.
Kelembagaan Mediatif
Dalam demokrasi kebebasan memiliki dua basis konseptual, yaitu kebebasan untuk melakukan praktik tertentu (freedom to) dan kebebasan dari hal-hal yang membahayakan kehidupan (fredom from). Sedangkan kepemilikan kebebasan berada di antara kepemilikan individu dan dunia kehidupan sosial. Artinya kebebasan merupakan milik individu yang terikat oleh dunia kehidupan bersama yang di dalamnya terdapat individuindividu lain.
Individu bebas melakukan praktik tertentu, namun juga dituntut memperhatikan kehidupan sosial. Individu bebas mempraktikkan aktivitas pribadi di halaman rumahnya sendiri. Namun, bagaimana ketika individu-individu lain di dalam lingkungan kehidupan sosial merasa “freedom from” terancam oleh praktik tersebut? Pada dasarnya praktik kebebasan secara alamiah menciptakan kondisi konfliktual di antara individu dan dunia kehidupan sosial.
Sebab itu, dua basis konseptual kebebasan membutuhkan kelembagaan mediatif kehidupan sosial yang menengahi dan mendorong pemecahan konflik di antara praktik kebebasan.Tanpa kelembagaan mediatif, praktik kebebasan disarati oleh konflik yang sulit terpecahkan dan berpotensi pada mobilisasi kekerasan. Kelembagaan mediatif adalah tata norma dan peranan yang disediakan oleh negara dan sistem sosial untuk menciptakan formulasi penyelesaian kondisi konfliktual praktik kebebasan.
Kelembagaan mediatif direpresentasikan oleh norma sosial, aturan hukum, organisasi masyarakat, peranan pemimpin, dan organisasi kepemerintahan. Dengan begitu, kondisi konfliktual dari praktik-praktik kebebasan pada gilirannya harus merujuk pada kelembagaan mediatif tersebut. Setiap praktik kebebasan individu yang saling bertentangan dan berkonflik harus masuk ke dalam kelembagaan mediatif untuk mencari jalan keluar yang disepakati bersama.
Sebab itu, meminjam istilah Paolo Crosetto (Turning Private Vices into Collective Virtues, 2009), kelembagaan mediatif dituntut mampu mentransformasi kondisi konfliktual menjadi pemecahan masalah yang menyediakan kebaikan kolektif (collective virtues). Pada konteks kondisi konfliktual yang cukup berat seperti praktik kebebasan yang bersinggungan dengan ibadah atau identitas keagamaan, perannegara menjalankan kelembagaan mediatif adalah vital.
Negara melalui wewenang konstitusionalnya, aturan hukum formal, dan organisasi kepemerintahan berkewajiban memediasi kondisi konfliktual praktik- praktik kebebasan. Mediasi atas kondisi konfliktual berpotensi menciptakan kebaikan bersama jika menyediakan “paket mediasi” seperti dialog dan negosiasi bebas dominasi, adanya perlindungan keamanan dari intimidasi atau aksi kekerasan, serta proposal alternatif penyelesaian konflik.
Pada kasus kondisi konfliktual dalam praktik ibadah seperti isu Syiah, Ahmadiyah, atau minoritas Nasrani,kelembagaan mediatif harus menyediakan “paket mediasi”. Sayangnya, selama ini negara masih gagal menyediakan paket mediasi sehingga menyebabkan banyak kondisi konfliktual tidak terselesaikan dan sarat kekerasan.
Komunikasi Nirkekerasan
Selain mengupayakan paket mediasi, kelembagaan mediatif baik sistem sosial dan negara memiliki tanggung jawab melakukan internalisasi komunikasi nirkekerasan. Karena komunikasi sosial selalu menjadi bagian integral dari praktik-praktik kebebasan.Setiap individu mempraktikkan kebebasan dan mengomunikasikan nalar atau kepentingan dari praktiknya kepada lingkungan hidup bersosial.
Seperti terkait praktik penolakan FPI dan ormas-ormas keagamaan lainnya pada klub malam atau pentas penyanyi pop Lady Gaga. Begitu juga kelompok individu lain seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), yang “menerima“ Lady Gaga dan tidak setuju pada praktik penolakan FPI.Masing-masing mengekspresikan penolakan atau penerimaan melalui komunikasi. Kondisi konfliktual bisa makin parah dan tidak ada jalan keluar ketika komunikasi kekerasan dipakai oleh masingmasing kelompok individu.
Ilmuwan studi konflik dan perdamaian, Marshal Rosenberg (Nonviolent Communication: A Language of Life, 2003/2004) secara jernih memaparkan komunikasi kekerasan muncul melalui dua bentuk, yaitu penyalahan dan stigma.Penyalahan cenderung muncul membabi buta dengan memosisikan individu lain sebagai pihak yang selalu salah.Sedangkan stigma merupakan proses membunuh karakter kelompok individu melalui pelabelan buruk.
Penyalahan dan stigma ini seringkali direproduksi dalam kondisi konfliktual. Pada social media seperti di Facebook dan Twitter saling lempar penyalahan dan stigma begitu sering direproduksi oleh masing-masing kelompok individu dalam banyak kasus. Karena itu,komunikasi kekerasan begitu memenuhi ruang publik Indonesia.
Tugas kelembagaan mediatif adalah menetralisasi komunikasi kekerasan dengan melakukan upaya improvisasi komunikasi intersubjektif, yaitu mereduksi atau menghapus reproduksi penyalahan dan stigmatisasi dengan mempertemukan aspirasi-aspirasi secara terbuka melalui dialog. Kelembagaan mediatif tidak bisa hanya terpekur dalam sikap pengabaian. Kebebasan akan menjadi berkah bagi bangsa Indonesia jika kelembagaan mediatif mampu bekerja optimal dan komunikasi kekerasan bisa disirnakan dari praktik kebebasan.
Dengan demikian, kebebasan adalah proses dialektis kebudayaan masyarakat yang mampu merealisasikan kebaikan kolektif kebangsaan. ●
Kendati demikian, kebebasan di Indonesia yang dijamin konstitusi seringkali sarat kekerasan ketika kelompok-kelompok sosial terlibat konflik dalam isuisu tertentu. Kekerasan baik fisik maupun komunikasi memadat di ruang kebebasan berbangsa yang menyebabkan peristiwa marjinalisasi, represi, dan stigmatisasi direproduksi dalam kehidupan sehari-hari. Pada kondisi ini kebebasan tidak lagi memajukan kebudayaan bangsa,namun telah menjadi arena konflik kekerasan yang destruktif.
Kelembagaan Mediatif
Dalam demokrasi kebebasan memiliki dua basis konseptual, yaitu kebebasan untuk melakukan praktik tertentu (freedom to) dan kebebasan dari hal-hal yang membahayakan kehidupan (fredom from). Sedangkan kepemilikan kebebasan berada di antara kepemilikan individu dan dunia kehidupan sosial. Artinya kebebasan merupakan milik individu yang terikat oleh dunia kehidupan bersama yang di dalamnya terdapat individuindividu lain.
Individu bebas melakukan praktik tertentu, namun juga dituntut memperhatikan kehidupan sosial. Individu bebas mempraktikkan aktivitas pribadi di halaman rumahnya sendiri. Namun, bagaimana ketika individu-individu lain di dalam lingkungan kehidupan sosial merasa “freedom from” terancam oleh praktik tersebut? Pada dasarnya praktik kebebasan secara alamiah menciptakan kondisi konfliktual di antara individu dan dunia kehidupan sosial.
Sebab itu, dua basis konseptual kebebasan membutuhkan kelembagaan mediatif kehidupan sosial yang menengahi dan mendorong pemecahan konflik di antara praktik kebebasan.Tanpa kelembagaan mediatif, praktik kebebasan disarati oleh konflik yang sulit terpecahkan dan berpotensi pada mobilisasi kekerasan. Kelembagaan mediatif adalah tata norma dan peranan yang disediakan oleh negara dan sistem sosial untuk menciptakan formulasi penyelesaian kondisi konfliktual praktik kebebasan.
Kelembagaan mediatif direpresentasikan oleh norma sosial, aturan hukum, organisasi masyarakat, peranan pemimpin, dan organisasi kepemerintahan. Dengan begitu, kondisi konfliktual dari praktik-praktik kebebasan pada gilirannya harus merujuk pada kelembagaan mediatif tersebut. Setiap praktik kebebasan individu yang saling bertentangan dan berkonflik harus masuk ke dalam kelembagaan mediatif untuk mencari jalan keluar yang disepakati bersama.
Sebab itu, meminjam istilah Paolo Crosetto (Turning Private Vices into Collective Virtues, 2009), kelembagaan mediatif dituntut mampu mentransformasi kondisi konfliktual menjadi pemecahan masalah yang menyediakan kebaikan kolektif (collective virtues). Pada konteks kondisi konfliktual yang cukup berat seperti praktik kebebasan yang bersinggungan dengan ibadah atau identitas keagamaan, perannegara menjalankan kelembagaan mediatif adalah vital.
Negara melalui wewenang konstitusionalnya, aturan hukum formal, dan organisasi kepemerintahan berkewajiban memediasi kondisi konfliktual praktik- praktik kebebasan. Mediasi atas kondisi konfliktual berpotensi menciptakan kebaikan bersama jika menyediakan “paket mediasi” seperti dialog dan negosiasi bebas dominasi, adanya perlindungan keamanan dari intimidasi atau aksi kekerasan, serta proposal alternatif penyelesaian konflik.
Pada kasus kondisi konfliktual dalam praktik ibadah seperti isu Syiah, Ahmadiyah, atau minoritas Nasrani,kelembagaan mediatif harus menyediakan “paket mediasi”. Sayangnya, selama ini negara masih gagal menyediakan paket mediasi sehingga menyebabkan banyak kondisi konfliktual tidak terselesaikan dan sarat kekerasan.
Komunikasi Nirkekerasan
Selain mengupayakan paket mediasi, kelembagaan mediatif baik sistem sosial dan negara memiliki tanggung jawab melakukan internalisasi komunikasi nirkekerasan. Karena komunikasi sosial selalu menjadi bagian integral dari praktik-praktik kebebasan.Setiap individu mempraktikkan kebebasan dan mengomunikasikan nalar atau kepentingan dari praktiknya kepada lingkungan hidup bersosial.
Seperti terkait praktik penolakan FPI dan ormas-ormas keagamaan lainnya pada klub malam atau pentas penyanyi pop Lady Gaga. Begitu juga kelompok individu lain seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), yang “menerima“ Lady Gaga dan tidak setuju pada praktik penolakan FPI.Masing-masing mengekspresikan penolakan atau penerimaan melalui komunikasi. Kondisi konfliktual bisa makin parah dan tidak ada jalan keluar ketika komunikasi kekerasan dipakai oleh masingmasing kelompok individu.
Ilmuwan studi konflik dan perdamaian, Marshal Rosenberg (Nonviolent Communication: A Language of Life, 2003/2004) secara jernih memaparkan komunikasi kekerasan muncul melalui dua bentuk, yaitu penyalahan dan stigma.Penyalahan cenderung muncul membabi buta dengan memosisikan individu lain sebagai pihak yang selalu salah.Sedangkan stigma merupakan proses membunuh karakter kelompok individu melalui pelabelan buruk.
Penyalahan dan stigma ini seringkali direproduksi dalam kondisi konfliktual. Pada social media seperti di Facebook dan Twitter saling lempar penyalahan dan stigma begitu sering direproduksi oleh masing-masing kelompok individu dalam banyak kasus. Karena itu,komunikasi kekerasan begitu memenuhi ruang publik Indonesia.
Tugas kelembagaan mediatif adalah menetralisasi komunikasi kekerasan dengan melakukan upaya improvisasi komunikasi intersubjektif, yaitu mereduksi atau menghapus reproduksi penyalahan dan stigmatisasi dengan mempertemukan aspirasi-aspirasi secara terbuka melalui dialog. Kelembagaan mediatif tidak bisa hanya terpekur dalam sikap pengabaian. Kebebasan akan menjadi berkah bagi bangsa Indonesia jika kelembagaan mediatif mampu bekerja optimal dan komunikasi kekerasan bisa disirnakan dari praktik kebebasan.
Dengan demikian, kebebasan adalah proses dialektis kebudayaan masyarakat yang mampu merealisasikan kebaikan kolektif kebangsaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar