Jumat, 04 Mei 2012

Intoleransi, Regulasi, Persekusi


Intoleransi, Regulasi, Persekusi
Novriantoni Kahar; Dosen Falsafah Dan Agama Universitas Paramadina
SUMBER : KORAN TEMPO, 04 Mei 2012


Orang bicara cinta/atas nama Tuhannya/sambil menyiksa membunuh/ berdasarkan keyakinan mereka. Lirik Cinta Iwan Fals ini membuka dan menutup pertunjukan teater Kafka. Di aula Universitas Paramadina, Kamis (1 Mei) lalu, kelompok mahasiswa Paramadina itu memainkan kisah Maryam: yang Terusir karena Iman. Novel Okky Madasari ini bercerita tentang derita-nestapa kelompok Ahmadiyah yang tiba-tiba menjadi kucing kurap di Indonesia. Ini bukan fiksi. Di era demokrasi ini, kita kerap menyaksikan pertunjukan malam itu: kaum Ahmadi menjadi bulan-bulanan intoleransi. Entah sampai kapan, entah berapa kali dan berapa lama lagi.Yang paling mutakhir terjadi di Tasikmalaya.

Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini, pelarangan dan perusakan rumah ibadah, pengusiran individu atau kelompok yang dianggap menyimpang secara agama, dan berbagai kasus keagamaan lainnya seakan tak berkesudahan. Beberapa gereja,Yasmin dan Philadelphia, misalnya, mengalami perlakuan semena-mena. Tiap Minggu mereka dihambat beribadah. Dan saban minggu pula kita menyaksikan tontonan mobilisasi massa keagamaan yang tak elok dipandang mata.

Pendek kata, persekusi, pengusiran, atau penganiayaan fisik terhadap individu atau kelompok karena praktek, profesi, atau afiliasi keagamaannya seakan telah menjadi kaidah dan hukum yang normal belaka. Masya Allah, kegaduhan-kegaduhan ini seperti tak ada solusinya. Kita layak berprasangka, pemerintah menikmati tontonan isak tangis sedu sedan korban; keculasan, amarah, dan kebrutalan para pahlawan agama kesiangan.

Polisi selalu pandai menonton kekerasan, tapi tak mampu mengidentifikasi siapa korban siapa pelaku kejahatan. Kita dibuat terheran-heran: pemerintahan yang juara dalam menangani terorisme (mungkin karena sokongan Amerika), tiba-tiba tak berdaya mengatasi intoleransi dan kekerasan yang terus-menerus direproduksi massa. Ormas-ormas keagamaan besar, yang konon toleran, seakan tak berperan apa-apa dalam menyetop gertakan ormas-ormas intoleran. Apa sebenarnya yang terjadi dan mengapa ini berlarut-larut seakan tak pernah berhenti?

Benturan

Ada beberapa penjelasan mikro maupun makro. Di tingkat mikro, beberapa ketegangan keagamaan bisa saja dijelaskan dari sebab yang sepele sampai yang serius. Bisa karena pemecatan satpam, soal parkir, sengketa lahan, kecemburuan sosial, provokasi demagog, dendam politik, birokrasi negara yang ingin tampak religius, konflik horizontal, dan lain-lainnya. Penjelasan mikro seperti ini berguna untuk melihat kasus per kasus intoleransi, walau tak selalu mudah dicarikan solusi.

Hanya, penjelasan ini tak memberi gambaran besar tentang tren lintas negara yang sedang terjadi dewasa ini. Untuk itu, penjelasan makro diperlukan. Studi persekusi keagamaan lintas-negara Brian J. Grim dan Roger Finke (American Sociological Review, Agustus 2007) mengabarkan temuan penting. Berdasarkan studi terhadap rapor kebebasan beragama 134 negara yang direkam International Religious Freedom (2003), mereka menyatakan bahwa persekusi keagamaan tidak ditentukan oleh faktor-faktor benturan peradaban atau kebudayaan antar kelompok. Persekusi lebih tepat dijelaskan dengan teori regulasi ekonomi keagamaan (regulated religious economy).

Proposisi dasarnya ini: makin banyak regulasi keagamaan, akan semakin banyak pula terjadi persekusi keagamaan. Contoh konkret efek langsung maupun konsekuensi tak langsung soal ini adalah kasus jilbab di Prancis. Setelah pemakaian simbol-simbol keagamaan dinyatakan terlarang (Maret 2004), dampaknya terasa sembilan bu lan kemudian. Diskriminasi sosial dan pelecehan fisik terhadap mereka yang berjilbab meningkat tajam dibanding sebelum ada regulasi. Gerakan supremasi Hinduvta, yang aktif mendesakkan regulasi agama, juga meningkatkan persekusi terhadap kelompok minoritas di India.

Sebaliknya, tatkala soal-soal keagamaan minim regulasi dan ala kadarnya diberi iklim kompetisi yang sehat dan adil, level komitmen dan kesalehan keagamaan justru tinggi. Penjelasan ini bertolak-belakang dengan teori benturan yang menghendaki lebih banyak regulasi agar terjadi harmoni di tengah-tengah keragaman keyakinan dan praktek keagamaan yang diasumsikan potensial berbenturan.

Argumen inti di sini adalah pentingnya deregulasi ketimbang regulasi.Yang dimaksud regulasi adalah pembatasan terhadap afiliasi, praktek, atau kegiatan suatu agama. Sementara deregulasi berarti meminimalkan aspek legal dan sosial yang merintangi afiliasi, praktek, dan kegiatan keagamaan. Pada sisi deregulasi ini, tak ada restriksi terhadap kelompok tertentu, tak diperlukan favoritisme; justru yang diperlukan adalah jaminan terhadap kebebasan beragama untuk semua secara damai dan legal.

Studi ini juga membuktikan, masyarakat muslim jauh lebih haus regulasi dibanding masyarakat lainnya, dan justru karena itu paling banyak melakukan persekusi terhadap kelompok yang dibenci. Mekanisme regulasi ini bertolak dari tekanan sosial (social origin), tapi kemudian ditanggapi pemerintah, entah tulus atau demi oportunisme semata. Kalaupun regulasi tak muncul dari pemerintah, ia tetap bisa hadir dari kartel keagamaan (religious cartels) yang dominan, demi memukul kelompok keagamaan yang hendak dijegal.

Studi ini menjabarkan, persekusi bermula dari intoleransi sosial. Masyarakat intoleransi pelan-pelan menunaikan hukum sosialnya terhadap kelompok yang mereka benci. Namun, agar terhindar dari jerat hukum negara, mereka mendesak pemerintah membuat regulasi agama. Regulasi negara yang dimodifikasi (menjadi lebih ekstrem atau lebih moderat) itulah yang kemudian hari mereka jadikan dalih untuk melakukan persekusi terhadap kelompok yang lemah.

Meski ini tren lintas negara, temuan ini tampak valid untuk konteks Indonesia. Regulasi keagamaan yang muncul selama era reformasi—seperti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah, dan SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah (2008)—dapat dilihat dalam semangat intoleransi. Pemerintah yang menurut Saiful Mujani (Koran Tempo, 9 Februari 2011) berada dalam bayang-bayang kuasa umat, tampak tak punya visi tentang toleransi untuk negeri ini.

Di masa otoriter Orde Baru, Menteri Agama lazim dipahami sebagai agen toleransi. Di era demokrasi ini, ia tampak seperti pengayom intoleransi. Ditambah lemahnya penegakan hukum pemerintah terhadap tindak kekerasan dan intoleransi, genaplah reputasi rezim ini sebagai rezim yang tak peduli dan tuna-visi dalam soal toleransi. Meminjam istilah Quran, inilah rezim yang asyidda’u `ala al-irhab (tegas terhadap terorisme) tapi ruhama’u `ala al-`unf (lemah lembut terhadap kekerasan dan intoleransi). Sampai kapan? Wallahualam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar