Memelihara
Kebebasan Mimbar Akademik
Agustian Sutrisno ; Mahasiswa
Doktoral dalam Bidang Manajemen Pendidikan Tinggi di Faculty of Education,
Queensland University of Technology
SUMBER : KOMPAS, 15
Mei 2012
Pembatalan diskusi dengan Irshad Manji di dua
perguruan tinggi di Yogyakarta mengundang keprihatinan bagi semua yang
menjunjung kebebasan mimbar akademik.
Tentu saja tidak salah bagi para pimpinan
universitas untuk melarang sebuah acara yang berpotensi menimbulkan tindakan
anarkistis dari organisasi-organisasi kemasyarakatan di tengah kampus mereka.
Pejabat universitas yang tidak memikirkan hal tersebut secara matang malah
patut dicurigai kredibilitasnya.
Kita patut pula angkat topi atas para
mahasiswa yang telah berdemonstrasi secara tertib untuk menentang kedatangan
Irshad Manji di kampus mereka. Ini jauh lebih baik daripada demonstrasi serupa
sebelumnya di Jakarta atau sesudahnya di Bantul oleh sejumlah organisasi
kemasyarakatan yang berujung pada tindakan kekerasan.
Namun, di balik dua hal yang kelihatannya
baik itu, kebebasan mimbar akademik di perguruan-perguruan tinggi kita agaknya
tersandera oleh keyakinan dogmatik dari mereka yang merasa mewakili kelurusan
moral dan suara mayoritas masyarakat.
Dalam sebuah perguruan tinggi, kebebasan
berpendapat dan mengkritisi pendapat harus dijunjung tinggi. Bahkan, ketika
pendapat dan kritik itu bertentangan dengan keyakinan kebanyakan orang. Tolok
ukur yang dikenakan atas pendapat dan kritik para anggota civitas akademika
adalah kepatuhannya pada norma-norma ilmiah dan logika, bukan suara mayoritas.
Inilah inti kebebasan mimbar akademik.
Tesis dari Irshad Manji yang dituding sebagai
aktivis lesbian jika memang diyakini salah, patut dilawan dengan antitesis yang
kritis dan logis melalui diskusi terbuka dan argumen yang didasarkan pada
fakta. Tidakkah kesempatan berdiskusi dengan Manji menjadi sangat berharga?
Justru lewat diskusi tersebut akan menjadi jelas di mana posisi berpikir Manji
dibandingkan dengan pemikir-pemikir lain.
Jika mahasiswa dan civitas akademika kampus
hanya melawan sebuah tawaran pemikiran dengan unjuk rasa dan menggalang masa,
kampus tidak lagi menjadi sebuah komunitas keilmuan, tetapi berubah menjadi
sebuah parlemen jalanan.
Benar bahwa kebebasan mimbar akademik itu tak
berarti anggota civitas akademika boleh bertindak sesuka hati dan menyebarkan
pendapat yang menghasut orang lain untuk berbuat jahat. Namun, tugas utama
sebuah universitas bukanlah untuk menjadi penyensor moral.
Masa Kegelapan?
Moralitas dan spiritualitas adalah ranah utama
institusi keagamaan. Ada mekanisme dialog dan diskusi dengan masyarakat
mengenai nilai-nilai moral dalam kegiatan perguruan tinggi yang umumnya
tanggung jawab komisi etika atau dewan guru besar di universitas bersangkutan.
Universitas tentu saja boleh menyampaikan
hasil kajiannya kepada institusi keagamaan untuk kemudian memberikan penilaian
moral dan spiritual. Namun, sekali lagi, itu semua harus dilakukan setelah
universitas dan civitas akademikanya melakukan kajian ilmiah dan norma-norma
keilmuan yang menjadi inti tugas dan keberadaannya.
Sangat disayangkan jika proses itu semua
dilewati begitu saja demi kepatuhan pada tuntutan golongan tertentu. Kita
kehilangan kesempatan mengkaji pendapat dari sisi akademis-ilmiah dan langsung
tunduk pada sensor moral-religius. Posisi seperti ini tak ubahnya Eropa pada
Abad Pertengahan, yang pada masa itu tunduk pada institusi gereja, tidak bebas
mengejar ilmu pengetahuan, dan membawa Eropa pada masa-masa kegelapan dalam
peradabannya.
Kabar bahwa diskusi yang dibatalkan itu
diselenggarakan secara terbatas untuk sebuah kelas pascasarjana patut membuat
semua dosen dan mahasiswa di Indonesia khawatir. Bayangkan, di universitas
paling terkemuka di Indonesia saja sebuah diskusi terbatas bisa disensor dan
dibatalkan demi tuntutan ormas dan kemahasiswaan tertentu. Lalu, bukan tak
mungkin suatu hari nanti kelas filsafat, kajian jender, dan perbandingan agama
juga dilarang karena ada demonstrasi menentang kajian ilmiah yang disinyalir
menyebarluaskan paham yang bertentangan dengan posisi moral-religius tertentu?
Benar sekali jika pejabat kampus harus
membatalkan sebuah diskusi jika tamunya menjadi terancam keselamatannya karena
hadir di kampus mereka. Sementara aparat negara tidak dapat memberikan
perlindungan yang memadai, seperti yang telah terjadi sebelumnya di Jakarta dan
kemudian terulang di Bantul.
Kebebasan mimbar akademik memang tak bisa
jalan sendirian. Para pejabat kampus tidak bisa melindungi kebebasan itu jika
negara absen dari tugasnya memberi perlindungan dan masyarakat alpa
kewajibannya menyokong kemandirian kajian ilmiah.
Seperti kata seorang pakar pendidikan, ”It takes character to disagree graciously.
It takes education to fight ideas with ideas (Dibutuhkan karakter untuk menyatakan ketidaksetujuan dengan santun. Dibutuhkan
pendidikan untuk melawan ide dengan ide).” Ini dimungkinkan dalam sebuah
perguruan tinggi yang terjamin kebebasan mimbar akademiknya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar