Selasa, 15 Mei 2012

Memelihara Kebebasan Mimbar Akademik


Memelihara Kebebasan Mimbar Akademik
Agustian Sutrisno ;  Mahasiswa Doktoral dalam Bidang Manajemen Pendidikan Tinggi di Faculty of Education, Queensland University of Technology
SUMBER :  KOMPAS, 15 Mei 2012



Pembatalan diskusi dengan Irshad Manji di dua perguruan tinggi di Yogyakarta mengundang keprihatinan bagi semua yang menjunjung kebebasan mimbar akademik.
Tentu saja tidak salah bagi para pimpinan universitas untuk melarang sebuah acara yang berpotensi menimbulkan tindakan anarkistis dari organisasi-organisasi kemasyarakatan di tengah kampus mereka. Pejabat universitas yang tidak memikirkan hal tersebut secara matang malah patut dicurigai kredibilitasnya.

Kita patut pula angkat topi atas para mahasiswa yang telah berdemonstrasi secara tertib untuk menentang kedatangan Irshad Manji di kampus mereka. Ini jauh lebih baik daripada demonstrasi serupa sebelumnya di Jakarta atau sesudahnya di Bantul oleh sejumlah organisasi kemasyarakatan yang berujung pada tindakan kekerasan.

Namun, di balik dua hal yang kelihatannya baik itu, kebebasan mimbar akademik di perguruan-perguruan tinggi kita agaknya tersandera oleh keyakinan dogmatik dari mereka yang merasa mewakili kelurusan moral dan suara mayoritas masyarakat.

Dalam sebuah perguruan tinggi, kebebasan berpendapat dan mengkritisi pendapat harus dijunjung tinggi. Bahkan, ketika pendapat dan kritik itu bertentangan dengan keyakinan kebanyakan orang. Tolok ukur yang dikenakan atas pendapat dan kritik para anggota civitas akademika adalah kepatuhannya pada norma-norma ilmiah dan logika, bukan suara mayoritas. Inilah inti kebebasan mimbar akademik.

Tesis dari Irshad Manji yang dituding sebagai aktivis lesbian jika memang diyakini salah, patut dilawan dengan antitesis yang kritis dan logis melalui diskusi terbuka dan argumen yang didasarkan pada fakta. Tidakkah kesempatan berdiskusi dengan Manji menjadi sangat berharga? Justru lewat diskusi tersebut akan menjadi jelas di mana posisi berpikir Manji dibandingkan dengan pemikir-pemikir lain.

Jika mahasiswa dan civitas akademika kampus hanya melawan sebuah tawaran pemikiran dengan unjuk rasa dan menggalang masa, kampus tidak lagi menjadi sebuah komunitas keilmuan, tetapi berubah menjadi sebuah parlemen jalanan.

Benar bahwa kebebasan mimbar akademik itu tak berarti anggota civitas akademika boleh bertindak sesuka hati dan menyebarkan pendapat yang menghasut orang lain untuk berbuat jahat. Namun, tugas utama sebuah universitas bukanlah untuk menjadi penyensor moral.

Masa Kegelapan?

Moralitas dan spiritualitas adalah ranah utama institusi keagamaan. Ada mekanisme dialog dan diskusi dengan masyarakat mengenai nilai-nilai moral dalam kegiatan perguruan tinggi yang umumnya tanggung jawab komisi etika atau dewan guru besar di universitas bersangkutan.

Universitas tentu saja boleh menyampaikan hasil kajiannya kepada institusi keagamaan untuk kemudian memberikan penilaian moral dan spiritual. Namun, sekali lagi, itu semua harus dilakukan setelah universitas dan civitas akademikanya melakukan kajian ilmiah dan norma-norma keilmuan yang menjadi inti tugas dan keberadaannya.

Sangat disayangkan jika proses itu semua dilewati begitu saja demi kepatuhan pada tuntutan golongan tertentu. Kita kehilangan kesempatan mengkaji pendapat dari sisi akademis-ilmiah dan langsung tunduk pada sensor moral-religius. Posisi seperti ini tak ubahnya Eropa pada Abad Pertengahan, yang pada masa itu tunduk pada institusi gereja, tidak bebas mengejar ilmu pengetahuan, dan membawa Eropa pada masa-masa kegelapan dalam peradabannya.

Kabar bahwa diskusi yang dibatalkan itu diselenggarakan secara terbatas untuk sebuah kelas pascasarjana patut membuat semua dosen dan mahasiswa di Indonesia khawatir. Bayangkan, di universitas paling terkemuka di Indonesia saja sebuah diskusi terbatas bisa disensor dan dibatalkan demi tuntutan ormas dan kemahasiswaan tertentu. Lalu, bukan tak mungkin suatu hari nanti kelas filsafat, kajian jender, dan perbandingan agama juga dilarang karena ada demonstrasi menentang kajian ilmiah yang disinyalir menyebarluaskan paham yang bertentangan dengan posisi moral-religius tertentu?

Benar sekali jika pejabat kampus harus membatalkan sebuah diskusi jika tamunya menjadi terancam keselamatannya karena hadir di kampus mereka. Sementara aparat negara tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai, seperti yang telah terjadi sebelumnya di Jakarta dan kemudian terulang di Bantul.

Kebebasan mimbar akademik memang tak bisa jalan sendirian. Para pejabat kampus tidak bisa melindungi kebebasan itu jika negara absen dari tugasnya memberi perlindungan dan masyarakat alpa kewajibannya menyokong kemandirian kajian ilmiah.
Seperti kata seorang pakar pendidikan, ”It takes character to disagree graciously. It takes education to fight ideas with ideas (Dibutuhkan karakter untuk menyatakan ketidaksetujuan dengan santun. Dibutuhkan pendidikan untuk melawan ide dengan ide).” Ini dimungkinkan dalam sebuah perguruan tinggi yang terjamin kebebasan mimbar akademiknya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar