Aplikasi Moto Pendidikan
Hamka Abdul Aziz; Dosen dan Bekerja di Dinas
Pendidikan
Provinsi Kalimantan Selatan
SUMBER
: REPUBLIKA,
08 Mei 2012
Beberapa
hari lalu, tepat 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasion al
(Hardiknas). Sudah se layaknya Hardiknas itu menjadi momen untuk introspeksi
bagi seluruh individu yang berkecimpung dalam dunia pendidikan.
Sejauh mana pendidikan telah menanamkan nilai-nilai kebajikan sehingga mampu
mengubah perilaku seseorang (peserta didik) menjadi baik dan menjadikan
kebaikan sebagai perilaku.
Ujian
Nasional (UN) yang baru saja berlalu, untuk siswa SMP dan SMA, sesungguhnya
bisa juga menjadi indikator keberhasilan pendidikan kita. Tidak untuk mengukur
kualitas para peserta didik, tetapi mengukur kualitas para pendidik (guru).
Tidak adil rasanya kalau para peserta didik secara berkala menjalani ujian,
tetapi para pendidiknya sendiri tidak dievaluasi berkenaan dengan kompetensi,
integritas, ataupun kapabilitasnya sebagai pendidik.
Sebab,
guru adalah pilar utama keberhasilan proses pendidikan (belajar-mengajar), yang
seharusnya lebih sering menjalani ujian kompetensi, karena mengingat fungsinya,
guru adalah sosok yang wajib diikuti dan ditiru. Bukan hanya oleh
murid-muridnya, melainkan juga oleh masyarakat secara keseluruhan.
Menjadi
sangat beralasan bila Ujian Nasional dan Hardiknas dijadikan titik berangkat
dalam mengevaluasi guru. Tentu saja di sini guru diberikan penilaian,
sebagaimana layaknya sebuah evaluasi. Kita bukan ingin guru juga ikut merasakan
“ketegangan“ menghadapi evaluasi, sebagaimana murid-muridnya ketika menghadapi
Ujian Nasional. Tapi, evaluasi ini benar-benar dimaksudkan untuk lebih
mempertegas peran dan fungsi guru sebagai pilar keberhasilan pendidikan.
Bapak
Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantoro, telah merumuskan semboyan dalam dunia
pendidikan kita dengan begitu indahnya dalam bahasa Jawa tinggi, yang agaknya
diperuntukkan bagi guru, yaitu ing ngarso
sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani (di depan memberi
teladan/contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan).
Memang awalnya ini menjadi semboyan untuk seluruh Sekolah Taman Siswa. Tapi,
kemudian dijadikan moto oleh Kemendik bud, yaitu bagian tut wuri handayani.
Tanpa
bermaksud mengkritik, saya menganggap seandainya yang dijadikan moto adalah
bagian ing ngarso sung tu lodo (di
depan memberi teladan/contoh), mungkin akan lebih tepat. Alasannya, guru tidak
sekadar memberikan dorongan, tetapi yang lebih penting lagi adalah menjadi
teladan bagi murid-murid. Sebab, menjadi teladan adalah keharusan bagi seorang
guru. Tanpa keteladanan, guru hanya seseorang yang mengajarkan mata pelajaran,
bukan menanamkan nilai-nilai kebajikan yang utuh.
Sangat
penting dan mendesak, guru mentransformasikan dirinya menjadi sosok teladan.
Apalagi, dalam kondisi bangsa seperti sekarang ini. Kita sedang membutuhkan
figur yang bisa diteladani dalam semua bidang kehidupan. Dan itu, bisa dimulai
dari lembaga pendidik an, tempat guru memainkan peranan penting sebagai
pengajar, pendidik, dan pemberi contoh perilaku. Ini adalah ba gian dari upaya
mengaplikasikan moto pendidikan yang digagas oleh Ki Hajar Dewantoro, yang
tanggal kelahirannya kita abadikan menjadi Hari Pendidikan Nasional sebagai
sebuah penghormatan.
Guru
adalah sosok yang digugu dan ditiru. Digugu
artinya diindahkan atau dipercayai. Sedangkan ditiru artinya di contoh atau diikuti. Ditilik dan ditelusuri dari
bahasa aslinya, Sansekerta, kata “guru” adalah gabungan dari kata gu dan ru. Gu artinya kegelapan,
kejumudan atau kekelaman. Sedangkan ru artinya
melepaskan, menyingkirkan, atau membebaskan. Jadi, guru adalah manusia yang
“berjuang” terus-menerus dan secara gradual,
untuk melepaskan manusia dari kegelapan.
Dia
menyingkirkan manusia dari kejumudan (kebekuan dan kemandekan) pikiran. Dia
berusaha membebaskan ma nusia dari kebodohan yang membuat hidup mereka jauh
dari ajaran Tuhan. Dia berikhtiar melepaskan manusia dari kekelaman yang
mengungkung, yang membuat perilaku mereka buruk layak nya hewan. Peran guru
adalah kombinasi dari peran orang tua, pendidik, pengajar, pembina, penilai,
dan pemelihara.
Apa
pun julukannya, guru bukan sekadar profesi yang mendatangkan uang sebagaimana
lazimnya sebuah profesi. Bukan pula profesi yang dapat mendatangkan gemerlap
dunia kepada yang melakoninya.
Guru
adalah sosok agung yang membentuk karakter dan kepribadian manusia. Guru adalah
seseorang yang berdiri di depan dalam teladan tutur kata dan tingkah laku, yang
di pundaknya melekat tugas yang sangat mulia, yakni menciptakan sebuah generasi
yang paripurna. Seseorang yang berniat menjadi guru maka dia harus menyadari
tugas pertama (dan utama) seorang guru. Karena itulah, sudah selayaknya kalau
kita memberikan apresiasi yang tinggi kepada mereka dan profesi mereka.
Sebagai
orang yang berkecimpung di dunia pendidikan lebih dari 20 tahun, saya merasa
sudah saatnya kita mengaplikasikan moto pendidikan yang digagas Ki Hajar
Dewantoro untuk para guru, ing ngarso
sung tulodo. Di depan murid-muridnya, guru harus menjadi teladan.
Moto
ini jangan-jangan sudah lama kita lupakan dan tidak kita hiraukan. Tidak berlebihan kalau Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menjadikan bagian ing ngarso sung tulodo sebagai moto
institusi menggantikan tut wuri handayani.
Karena kompetisi dan persaingan yang ketat sudah bisa menjadi motivasi sendiri
bagi anak-anak kita untuk meraih prestasi. Tapi sosok teladan, yang bisa
dilihat dan bisa diikuti, jelas lebih mereka butuhkan daripada sekadar
motivasi.●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar