Rabu, 09 Mei 2012

Aplikasi Moto Pendidikan


Aplikasi Moto Pendidikan
Hamka Abdul Aziz; Dosen dan Bekerja di Dinas Pendidikan
Provinsi Kalimantan Selatan
SUMBER :  REPUBLIKA, 08 Mei 2012


Beberapa hari lalu, tepat 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasion al (Hardiknas). Sudah se layaknya Hardiknas itu menjadi momen untuk introspeksi bagi seluruh individu yang berkecimpung dalam dunia pendidikan.
 
Sejauh mana pendidikan telah menanamkan nilai-nilai kebajikan sehingga mampu mengubah perilaku seseorang (peserta didik) menjadi baik dan menjadikan kebaikan sebagai perilaku.

Ujian Nasional (UN) yang baru saja berlalu, untuk siswa SMP dan SMA, sesungguhnya bisa juga menjadi indikator keberhasilan pendidikan kita. Tidak untuk mengukur kualitas para peserta didik, tetapi mengukur kualitas para pendidik (guru). Tidak adil rasanya kalau para peserta didik secara berkala menjalani ujian, tetapi para pendidiknya sendiri tidak dievaluasi berkenaan dengan kompetensi, integritas, ataupun kapabilitasnya sebagai pendidik.

Sebab, guru adalah pilar utama keberhasilan proses pendidikan (belajar-mengajar), yang seharusnya lebih sering menjalani ujian kompetensi, karena mengingat fungsinya, guru adalah sosok yang wajib diikuti dan ditiru. Bukan hanya oleh murid-muridnya, melainkan juga oleh masyarakat secara keseluruhan.

Menjadi sangat beralasan bila Ujian Nasional dan Hardiknas dijadikan titik berangkat dalam mengevaluasi guru. Tentu saja di sini guru diberikan penilaian, sebagaimana layaknya sebuah evaluasi. Kita bukan ingin guru juga ikut merasakan “ketegangan“ menghadapi evaluasi, sebagaimana murid-muridnya ketika menghadapi Ujian Nasional. Tapi, evaluasi ini benar-benar dimaksudkan untuk lebih mempertegas peran dan fungsi guru sebagai pilar keberhasilan pendidikan.

Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantoro, telah merumuskan semboyan dalam dunia pendidikan kita dengan begitu indahnya dalam bahasa Jawa tinggi, yang agaknya diperuntukkan bagi guru, yaitu ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani (di depan memberi teladan/contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan). Memang awalnya ini menjadi semboyan untuk seluruh Sekolah Taman Siswa. Tapi, kemudian dijadikan moto oleh Kemendik bud, yaitu bagian tut wuri handayani.

Tanpa bermaksud mengkritik, saya menganggap seandainya yang dijadikan moto adalah bagian ing ngarso sung tu lodo (di depan memberi teladan/contoh), mungkin akan lebih tepat. Alasannya, guru tidak sekadar memberikan dorongan, tetapi yang lebih penting lagi adalah menjadi teladan bagi murid-murid. Sebab, menjadi teladan adalah keharusan bagi seorang guru. Tanpa keteladanan, guru hanya seseorang yang mengajarkan mata pelajaran, bukan menanamkan nilai-nilai kebajikan yang utuh.

Sangat penting dan mendesak, guru mentransformasikan dirinya menjadi sosok teladan. Apalagi, dalam kondisi bangsa seperti sekarang ini. Kita sedang membutuhkan figur yang bisa diteladani dalam semua bidang kehidupan. Dan itu, bisa dimulai dari lembaga pendidik an, tempat guru memainkan peranan penting sebagai pengajar, pendidik, dan pemberi contoh perilaku. Ini adalah ba gian dari upaya mengaplikasikan moto pendidikan yang digagas oleh Ki Hajar Dewantoro, yang tanggal kelahirannya kita abadikan menjadi Hari Pendidikan Nasional sebagai sebuah penghormatan.

Guru adalah sosok yang digugu dan ditiru. Digugu artinya diindahkan atau dipercayai. Sedangkan ditiru artinya di contoh atau diikuti. Ditilik dan ditelusuri dari bahasa aslinya, Sansekerta, kata “guru” adalah gabungan dari kata gu dan ru. Gu artinya kegelapan, kejumudan atau kekelaman. Sedangkan ru artinya melepaskan, menyingkirkan, atau membebaskan. Jadi, guru adalah manusia yang “berjuang” terus-menerus dan secara gradual, untuk melepaskan manusia dari kegelapan.

Dia menyingkirkan manusia dari kejumudan (kebekuan dan kemandekan) pikiran. Dia berusaha membebaskan ma nusia dari kebodohan yang membuat hidup mereka jauh dari ajaran Tuhan. Dia berikhtiar melepaskan manusia dari kekelaman yang mengungkung, yang membuat perilaku mereka buruk layak nya hewan. Peran guru adalah kombinasi dari peran orang tua, pendidik, pengajar, pembina, penilai, dan pemelihara.

Apa pun julukannya, guru bukan sekadar profesi yang mendatangkan uang sebagaimana lazimnya sebuah profesi. Bukan pula profesi yang dapat mendatangkan gemerlap dunia kepada yang melakoninya.

Guru adalah sosok agung yang membentuk karakter dan kepribadian manusia. Guru adalah seseorang yang berdiri di depan dalam teladan tutur kata dan tingkah laku, yang di pundaknya melekat tugas yang sangat mulia, yakni menciptakan sebuah generasi yang paripurna. Seseorang yang berniat menjadi guru maka dia harus menyadari tugas pertama (dan utama) seorang guru. Karena itulah, sudah selayaknya kalau kita memberikan apresiasi yang tinggi kepada mereka dan profesi mereka.

Sebagai orang yang berkecimpung di dunia pendidikan lebih dari 20 tahun, saya merasa sudah saatnya kita mengaplikasikan moto pendidikan yang digagas Ki Hajar Dewantoro untuk para guru, ing ngarso sung tulodo. Di depan murid-muridnya, guru harus menjadi teladan.

Moto ini jangan-jangan sudah lama kita lupakan dan tidak kita hiraukan. Tidak berlebihan kalau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menjadikan bagian ing ngarso sung tulodo sebagai moto institusi menggantikan tut wuri handayani. Karena kompetisi dan persaingan yang ketat sudah bisa menjadi motivasi sendiri bagi anak-anak kita untuk meraih prestasi. Tapi sosok teladan, yang bisa dilihat dan bisa diikuti, jelas lebih mereka butuhkan daripada sekadar motivasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar