LAPORAN
DISKUSI KOMPAS “Dokter Indonesia: Kenyataan dan Harapan”
Mengabdi
sebagai Kehormatan
SUMBER : KOMPAS, 22
Mei 2012
Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia
menyatakan, setiap orang berhak untuk hidup dalam standar yang layak untuk
kesehatan dan kesejahteraan mereka dan keluarganya, termasuk hak mendapat
makanan, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Undang-Undang Dasar 1945
menegaskan, kesehatan merupakan hak setiap orang.
Tentunya pemerintah berkewajiban untuk
menyediakan sarana dan prasarana guna menjamin kesehatan penduduk, termasuk
tenaga kesehatan. Namun, hasil survei Departemen Kesehatan tahun 2007 di 78
kabupaten dari 17 provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa 30 persen dari 7.500
puskesmas di daerah terpencil tidak punya tenaga dokter.
Berdasarkan data yang diungkapkan Bambang
Sardjono, Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan
dan Desentralisasi, sebanyak 25 persen dari 9.323 puskesmas di Indonesia tidak
memiliki dokter. Artinya, sedikitnya 2.330 puskesmas tidak ada dokter. Hal itu
terutama terjadi di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, serta pulau-pulau
kecil terdepan dan terluar.
Distribusi tenaga kesehatan merupakan masalah
selain pembiayaan kesehatan, terutama setelah era Reformasi dan desentralisasi.
Dokter, perawat, dan bidan yang ada cenderung berkumpul di kota-kota besar.
Desentralisasi mempersulit penyebaran tenaga
kesehatan oleh pemerintah pusat. Pemerintah kota/kabupaten terpencil dan miskin
tidak mampu memberikan insentif untuk menarik tenaga kesehatan bekerja di
daerahnya. Desentralisasi yang semula diharapkan mampu memberdayakan daerah
dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, dalam kenyataan belum sepenuhnya
berjalan dan bahkan memunculkan euforia di daerah yang mengakibatkan
pembangunan kesehatan terkendala.
Sebagai contoh, rendahnya anggaran
pembangunan kesehatan dan penunjukan kepala dinas kesehatan yang bukan sarjana
kesehatan masyarakat atau dokter, melainkan sarjana sosial, sarjana agama, dan
sebagainya. Mereka menjabat karena kedekatan dengan kepala daerah.
Memang tidak mudah menggerakkan tenaga
kesehatan untuk berkarya di daerah terpencil dan tertinggal di tengah dunia
yang condong pada materialisme. Di satu sisi, dokter diharapkan mengabdi pada
kemanusiaan. Di sisi lain, dokter dianggap representasi kesuksesan dengan rumah
dan kendaraan bagus.
Situasi ini menjadi kegelisahan pada sebagian
dokter. Semangat dokter, yang berakar pada kata dosere (bahasa Latin), yang berarti pendidik, meluntur. Harapan dan
gambaran masyarakat tentang dokter yang bekerja penuh pengabdian dan menjadi
pendidik masyarakat tidak tampak pada sebagian dokter saat ini. Yang sering
dituding, biaya pendidikan dokter belakangan ini terbilang mahal, bahkan di
universitas negeri. Akibatnya, banyak dokter tidak merasa perlu melakukan
pengabdian di daerah, mereka ingin segera mencari uang untuk balik modal.
Alasan lain, faktor keamanan, terutama di
daerah konflik. Minimnya fasilitas kesehatan daerah terpencil menjadi kendala
bagi dokter/dokter gigi untuk melakukan praktik kedokteran sebagaimana semestinya.
Persoalan lain adalah sering terjadi
keterlambatan gaji, minimnya sarana-prasarana kehidupan sehari-hari, serta
ketiadaan jaminan masa depan.
Semangat Mengabdi
Salah satu pembicara dalam diskusi, tokoh
intelektual Anies Baswedan, menyatakan, sebenarnya masih banyak anak muda
bersedia menjadi pengabdi.
Pengalaman Anies dengan ”Indonesia Mengajar”,
saat dibutuhkan 70-an sukarelawan, ada lebih dari 8.500 anak muda mendaftar.
Padahal, mereka akan dikirim ke daerah terpencil sebagai guru dengan imbalan sama
seperti guru daerah. ”Yang utama, pekerjaan itu harus ditawarkan sebagai
kehormatan, bukan pengorbanan atau hukuman,” katanya. Kehadiran dokter tidak
hanya menjaga kesehatan dan mengobati, tetapi juga mencerahkan, menjadi
inspirasi.
Hal itu sejalan dengan cerita Mohamad Subuh,
pejabat Kementerian Kesehatan yang pernah bekerja di puskesmas pedalaman
Kalimantan Barat selama delapan tahun. Ia menuturkan, tugasnya tidak hanya
mengobati, tetapi juga menikahkan orang, melerai pertengkaran, memberi nama
anak, dan sebagainya. Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan, ia melakukan
hal-hal yang lebih dari tugas dokter umum, seperti melakukan operasi caesar,
anestesi, dan bedah umum dengan peralatan sangat terbatas. Namun, ia bangga
karena telah mengabdi dan membuka isolasi desa terpencil. Apalagi, pada
zamannya pengiriman dokter didasarkan pada instruksi presiden.
Menurut Anies, kesadaran mengabdi bisa
berjalan jika pendidikan kedokteran menanamkan semangat pengabdian, di mana
para pendidik memberikan contoh konkret tentang sikap dan perilaku pengabdian
serta kesederhanaan. Pernyataan itu senada dengan Bambang. Perlu ada kesadaran
pada dokter bahwa kita memiliki negara besar dengan sebagian rakyat yang sangat
rendah derajat kesehatannya. Kesadaran untuk menempati daerah-daerah
terbelakang itu perlu diajarkan di fakultas kedokteran.
Selain kesulitan distribusi dokter, jumlah
dokter Indonesia relatif kurang dibandingkan dengan jumlah penduduk yang
dilayani. Di Indonesia, perbandingan jumlah dokter dengan penduduk 29 per
100.000 penduduk (World Health Statistics, 2011). Sebagai perbandingan,
Filipina 115 per 100.000 penduduk dan Vietnam 122 per 100.000 penduduk. Rasio
Indonesia rendah bahkan ketika dibandingkan dengan negara yang penduduknya tak
kalah banyak, seperti China (142 per 100.000 penduduk) dan India (60 per
100.000 penduduk).
Menurut Ketua Konsil Kedokteran Indonesia
Menaldi Rasmin, dari jumlah fakultas kedokteran yang ada, diperhitungkan tahun
2014 sudah tersedia dokter umum dalam jumlah cukup untuk rasio dokter-penduduk
yang ideal. Yang menjadi masalah adalah distribusi karena tidak ada sistem.
Internship, yakni keharusan magang bagi dokter baru, menjadi salah satu yang
membantu pemerintah untuk mendistribusikan dokter.
Aman dan Nyaman
Dalam diskusi mengemuka, bagi sebagian besar
dokter, bekerja di daerah tidak masalah. Yang diinginkan hanya aman dan nyaman.
Aman dalam arti bekerja tanpa ketakutan diteror, dibunuh, atau bagi dokter
perempuan tidak mengalami pelecehan seksual. Nyaman, bekerja dilengkapi dengan
peralatan yang memungkinkan pelayanan kesehatan yang baik, mendapatkan sarana
dan prasarana tinggal yang layak, serta penghasilan yang cukup untuk hidup.
Selain itu, perlu jaminan karier, menjadi
pegawai negeri sipil atau mendapat beasiswa untuk menjadi dokter spesialis.
Hal-hal ini memungkinkan jika dokter dianggap sebagai tenaga strategis.
Sebagaimana tentara menjaga keamanan negara, dokter menjaga kesehatan warga
negara.
Menurut Bambang, saat ini ada 3.000 dokter
spesialis yang sekolahnya didanai pemerintah. Mereka akan ditempatkan di daerah
tertinggal dan perbatasan.
Yang jelas, untuk memastikan semua berjalan
baik, perlu ada sistem kesehatan nasional terkait perencanaan dalam menyediakan
fasilitas ataupun tenaga kesehatan yang diperlukan. Pemerintah harus mengatur
distribusi tenaga kesehatan, termasuk dokter dan dokter spesialis agar merata,
mengelola pembiayaan kesehatan nasional, dan meningkatkan akses masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan. Semua program kesehatan harus sesuai dengan cetak
biru dalam sistem kesehatan nasional. Ketiadaan sistem kesehatan nasional
menyebabkan Indonesia kalah dengan negara tetangga, seperti Singapura,
Malaysia, dan Thailand.
Jadi, tunggu apa lagi? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar