Selasa, 22 Mei 2012

Dokter, untuk Apa dan untuk Siapa?


LAPORAN DISKUSI KOMPAS "Dokter Indonesia: Kenyataan dan Harapan"
Dokter, untuk Apa dan untuk Siapa?
 SUMBER :  KOMPAS, 22 Mei 2012


Biaya kuliah pada program studi pendidikan dokter di berbagai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, lebih mahal dibandingkan program studi lain.

Sumbangan pembinaan pendidikan per semester bisa mencapai belasan hingga puluhan juta rupiah. Uang pangkal yang dibayarkan saat pertama kali masuk bisa mencapai ratusan juta rupiah. Mahalnya biaya kuliah pendidikan dokter, baik dokter umum maupun dokter gigi, sangat terasa sejak reformasi, khususnya sejak perguruan tinggi mendapat status badan hukum milik negara. Di masa Orde Baru, biaya kuliah fakultas kedokteran khususnya di universitas negeri relatif terjangkau, termasuk bagi masyarakat kurang mampu.

Besarnya dana yang diperoleh dari pendidikan dokter membuat banyak universitas mengajukan pendirian fakultas kedokteran. Jumlah fakultas kedokteran pun melonjak drastis 2008-2010. Dalam rentang dua tahun, jumlah fakultas kedokteran naik 38 persen dari 52 menjadi 72 fakultas.

”Tak sedikit yang ingin membuka fakultas kedokteran untuk menjadi revenue (pendapatan) bagi universitasnya. Pendidikan kedokteran dianggap sebagai penghasil uang,” kata Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Menaldi Rasmin dalam diskusi.

Meski baru berdiri, banyak fakultas kedokteran menerima mahasiswa baru sampai 100 mahasiswa per tahun. Padahal, ketentuan maksimum jumlah mahasiswa yang boleh diterima pada tahun pertama fakultas kedokteran hanya 50 mahasiswa.

Jumlah mahasiswa yang besar tak didukung rasio dosen dan mahasiswa 1 : 10 untuk tahap preklinik dan 1 : 5 untuk tahap klinik. Alat peraga dan peralatan laboratorium lain juga tak memadai, demikian pula rumah sakit pendidikan yang dimiliki. Ini membuat KKI menghentikan pemberian izin pendirian fakultas kedokteran baru meski banyak pihak menentang. Pertimbangan lain, dengan jumlah lulusan dokter 8.500 orang per tahun dari 52 fakultas yang sudah menghasilkan lulusan, ditargetkan akan ada 100.000 dokter pada tahun 2015. Ini akan membuat rasio dokter dibandingkan penduduk 1 : 2.500, sesuai rasio ideal Organisasi Kesehatan Dunia.

Mahalnya pendidikan dokter berimplikasi pada banyak hal, mulai dari kualitas mahasiswa yang masuk, kualitas lulusan yang dihasilkan, hingga dampak pada sistem kesehatan dan pemenuhan hak rakyat untuk hidup sehat. Dokter menumpuk di kota besar dan enggan bertugas di daerah, apalagi daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, dan kepulauan. Keinginan mengembalikan biaya pendidikan dokter yang besar dan niat melanjutkan pendidikan dokter spesialis yang sangat mahal membuat banyak praktik kedokteran yang menyalahi disiplin dan etika dokter.

Praktik menyimpang itu antara lain diagnosis serampangan, peresepan dan pemeriksaan laboratorium yang tak rasional, hingga perselingkuhan dokter dengan perusahaan farmasi.

Mahalnya biaya pendidikan itu coba diatasi DPR dengan mengajukan RUU Pendidikan Kedokteran yang kini masih dibahas. Dalam draf edisi awal April 2012 disebutkan mahasiswa kedokteran dapat menerima beasiswa atau bantuan biaya pendidikan dari pemerintah, pemerintah daerah (pemda), fakultas, ataupun pihak lain. Kata ”dapat” itu dinilai Ikatan Dokter Indonesia menunjukkan ketidaktegasan negara dalam menjamin pembiayaan pendidikan dokter.

RUU mengharuskan lulusan dokter dan dokter spesialis, baik dokter umum maupun dokter gigi, ikut program wajib kerja atau penempatan. Ini berlaku bagi lulusan fakultas kedokteran yang menerima beasiswa atau lulusan perguruan tinggi yang menerima subsidi negara.

Menggantungkan harapan pada pemda untuk turut membiayai pendidikan dokter, sulit. Pemda lebih suka membangun rumah sakit baru atau puskesmas karena hasil langsung terlihat.

Tenaga Strategis

Kerumitan ini bertumpu dari ketidakjelasan pemerintah dalam memandang fungsi dokter. Pentingnya fungsi dokter menjaga kesehatan seluruh warga negara sama halnya dengan fungsi tentara yang menjaga pertahanan dan keamanan negara atau polisi yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun, pendidikan tentara dan polisi tak menimbulkan masalah karena semua biaya ditanggung negara. Lulusan akademi militer ataupun akademi kepolisian pun dapat ditempatkan dan dipindahkan ke seluruh wilayah Tanah Air karena negara menjadikan tentara dan polisi sebagai tenaga strategis, sedangkan dokter belum.

Pasal 34 Ayat 3 Perubahan Keempat UUD 1945 menyebutkan, negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Amal Chalik Sjaaf mengatakan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan ini bukan hanya gedung atau tempat tidur pasien, melainkan juga penyediaan peralatan medik dan tenaga kesehatan. ”Ini berarti, semua tenaga kesehatan itu, termasuk dokter, adalah tenaga strategis,” katanya.

Artinya, posisi dokter setara tentara dan polisi. Karena itu, biaya pendidikan dokter harus ditanggung negara. Hanya dengan cara ini, negara dapat ”memaksa” dokter untuk bertugas di seluruh pelosok Nusantara.

Pemerataan dokter mendesak dilakukan karena setiap warga negara berhak untuk hidup sehat. Jika tidak segera dilakukan, pelaksanaan sistem jaminan kesehatan semesta pada 2014 yang memberikan akses layanan kesehatan gratis bagi rakyat miskin dan kurang mampu terancam gagal akibat tidak ada dokter di daerah-daerah tertentu.

Di negara lain yang lebih kapitalis, seperti Singapura, 80 persen biaya pendidikan dokter ditanggung negara. Sisanya, mahasiswa dapat meminjam dari bank dengan bunga yang ditekan negara seminimal mungkin. Tak ada aturan mereka harus bekerja untuk Pemerintah Singapura. Namun, mereka selalu diingatkan yang membiayai kuliah mereka adalah rakyat. Jika mahasiswa kedokteran di Indonesia tetap diwajibkan menanggung sebagian besar biaya pendidikannya, keharusan bertugas di daerah terpencil merupakan hal yang tidak adil. Apalagi, jika tidak ada kejelasan jenjang karier dan pendidikan lanjutan bagi mereka.

Gerakan Bayar Balik

Di tengah sikap pemerintah yang cenderung menyerahkan pembiayaan pendidikan mahasiswa kedokteran pada mekanisme pasar, para dokter senior yang sudah sukses dapat mengambil peran dengan membantu pembiayaan pendidikan calon-calon dokter baru. Dokter-dokter senior yang dulu pernah menikmati biaya pendidikan murah karena disubsidi besar-besaran oleh negara dapat membantu dengan melakukan gerakan bayar balik.

Usulan ini disampaikan pendiri sekaligus Ketua Yayasan Indonesia Mengajar yang juga Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan. Gerakan bayar balik merupakan modifikasi dari sistem beasiswa yang dikelola melalui sistem asuransi.

Jika bantuan diberikan dalam bentuk beasiswa konvensional seperti saat ini, saat mahasiswa penerima beasiswa lulus, dana yang ada akan habis. Namun, jika dikelola seperti asuransi, dana yang ada dapat digunakan secara berkelanjutan sehingga tidak perlu setiap tahun menggelontorkan dana bagi mahasiswa lain. Apa pun mekanisme pembiayaannya, pendidikan dokter harus mampu menghasilkan dokter yang berintegritas serta memiliki kemampuan, disiplin, dan etika yang tinggi. Karena di tangan dokterlah, kesehatan rakyat Indonesia dipertaruhkan. Hanya dengan masyarakat yang sehat, ekonomi bangsa dapat tumbuh dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar