Menakar China di
Eropa
Darmansjah Djumala; Diplomat, Bertugas di Polandia
SUMBER
: SINAR
HARAPAN, 10 Mei 2012
Perdana
Menteri China Wen Jiabao berkunjung ke Polandia, 13-15 April lalu. Selama di
Polandia, dua pertemuan digelar: konsultasi bilateral dengan Perdana Menteri
Polandia Donald Tusk dan Forum Bisnis China-Eropa Timur.
Dalam
temu bisnis yang dihadiri oleh 16 kepala pemerintahan negara-negara Eropa Timur
itu, PM Jiabao menjanjikan dana pinjaman lunak jangka panjang sebanyak US$ 10
miliar untuk pembangunan infrastruktur dan berbagai proyek hi-tech di Eropa
Timur.
Di
bidang penanaman modal, China akan menyiapkan dana sebesar US$ 500 juta sebagai
modal awal bagi pengusaha China yang ingin investasi di kawasan itu. Tak hanya
itu, di bidang perdagangan PM Jiabao berjanji akan meningkatkan nilai
perdagangan dengan Eropa Timur dua kali lipat, menjadi US$ 100 miliar pada
2015.
Dalam
pakem diplomasi konvensional, kunjungan pemimpin satu negara ke negara lain
sangat jamak dilakukan untuk meningkatkan hubungan bilateral. Namun
ketika rencana itu diumumkan di depan 16 kepala pemerintahan dari negara-negara
Eropa Timur, manuver diplomasi ekonomi itu membuka ruang interpretasi yang luas
terhadap kepentingan China di Eropa. Bagaimana menakar kepentingan China itu?
Untuk menakar kepentingan China di
Eropa, utamanya di Eropa Timur, dapat dilakukan dengan melihat politik
perluasan keanggotaan Uni Eropa. Uni Eropa sampai saat ini beranggotakan 27 negara.
Pada 2004, entitas regional ini menerima delapan anggota baru, yaitu Polandia,
Republik Cek, Slovakia, Hongaria, Estonia, Latvia, Lithuania, dan Slovenia.
Lalu
pada 2007, dua negara menyusul, yaitu Bulgaria dan Rumania. Tuntaskah ambisi
Uni Eropa memperluas keanggotaannya? Ternyata belum. Sampai saat ini proses
perluasan keanggotaan terus bergulir.
Beberapa
negara masih dalam daftar tunggu. Untuk tidak menyebut semuanya, lima negara
(Kroasia, Makedonia, Serbia, Albania, dan Bosnia-Herzegovina) sedang menjalani
proses aksesi menjadi anggota. Menarik diamati, negara-negara yang diterima
menjadi anggota baik pada 2004 maupun 2007, bahkan lima negara yang sedang
diproses keanggotaannya adalah negara-negara bekas sosialis-komunis.
Dari
sini terlihat bahwa kriteria perluasan keanggotaan Uni Eropa ternyata tidak
melulu masalah geografi. Sesuai dengan amanat Lisbon Treaty 2009, entitas
regional ini mengusung nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, dan ekonomi pasar.
Maka,
demokrasi, hak asasi manusia, dan ekonomi pasar menjadi takaran utama dalam
menilai keanggotaan baru. Uni Eropa berkepentingan untuk merangkul negara bekas
komunis itu agar mereka tidak terpengaruh kembali oleh mantan bos ideologinya
dulu, Rusia (John Van Oudenaren, Uniting Europe, 2005).
Dengan
anggota yang banyak dan ideologi yang sama, Uni Eropa akan solid untuk
mengembangkan nilai ideal itu di kawasan, termasuk menjadikannya alat penekan
dalam berinteraksi dengan negara mitranya, termasuk China. Pada titik inilah
kepentingan Uni Eropa berkelindan dengan ambisi China untuk hadir di Eropa,
khususnya Eropa Timur.
Selama
ini China risih dengan kerewelan Uni Eropa terhadap hak asasi manusia dan
demokrasi. Sikap kritis atas rekam jejak China dalam isu ini tidak hanya
ditunjukkan oleh negara anggota dari Eropa Barat, tetapi juga oleh negara bekas
komunis, Eropa Timur.
Tengok
Polandia yang aktif mendukung demokratisasi di Ukraina, Belarusia dan kawasan
Afrika Utara. Terkait dengan isu demokrasi dan hak asasi manusia, ada dua hal
menarik dalam paket bantuan ekonomi China untuk Eropa Timur.
Pertama,
pemilihan Polandia sebagai tempat temu bisnis. Kiprah Polandia dalam mendukung
demokratisasi dinilai sebagai indikasi bahwa negara ini pada suatu saat akan
rewel terhadap kinerja demokrasi dan penghormatan hak asasi manusia di negara
lain. Dalam konteks ini, pemilihan Polandia sebagai tempat untuk temu bisnis
dan pengumuman paket bantuan ekonomi bukanlah suatu kebetulan.
Polandia,
negara Eropa Timur terbesar dalam jumlah penduduk dan pendapatan nasional serta
dikenal sebagai penyebar demokrasi di kawasan, dinilai dapat berperan sebagai
perantara, bridge builder, antara China dan negara-negara Eropa Barat tatkala
isu demokrasi dan hak asasi manusia menjadi ganjalan dalam hubungan China-Uni
Eropa.
Kedua,
ke-16 negara yang hadir pada acara temu bisnis di Polandia itu adalah negara
bekas komunis di Eropa Timur. Dalam perspektif geo-politik, Uni Eropa, terutama
anggota dari kawasan Eropa Barat, sangat berkepentingan dengan haluan politik
ke-16 negara bekas komunis itu agar mereka juga pro demokrasi dan hak asasi
manusia.
Namun
China “bermain dari dalam” dengan instrumen ekonomi. Dalam jangka panjang, jika
lima dari 16 negara itu resmi menjadi anggota maka 16 negara itu merupakan
separuh dari seluruh anggota Uni Eropa. Ini jelas sangat signifikan dalam
konstelasi politik dan proses pengambilan keputusan di markas besar Uni Eropa
di Brussels.
Jika
paket bantuan ekonomi China berhasil meningkatkan kemakmuran, tak heran jika
ke-16 negara itu akan berpikir dua kali untuk mengusik China dengan isu-isu
sensitif. Berhubungan baik dengan ke-16 negara Eropa Timur yang bekas komunis
dan tidak rewel terhadap demokrasi dan hak asasi manusia, sejatinya adalah
kepentingan China di Eropa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar