Potret Buram
Otda
Sutrisno; Mahasiswa
Pascasarjana (S2) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
SUMBER
: SINAR
HARAPAN, 09 Mei 2012
Pelaksanaan
otonomi daerah (otda) sudah berjalan dua belas tahun. Saat awal otda
dilaksanakan, orang membayangkan otda adalah sebuah fase baru, yang bakal
memberikan harapan sekaligus ruang hidup yang lebih leluasa.
Wajar
saja antusiasme pemberlakuan otonomi disambut di mana-mana, bahkan sampai ke
pelosok yang terisolasi sekalipun. Tetapi, sejak UU No 22 Tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah diberlakukan, bahkan sampai diganti dengan yang baru, yaitu UU
No 32 Tahun 2004 diubah menjadi UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan
Daerah, pelaksanaan otda seperti jalan di tempat (stagnan).
Bahkan,
otda telah menimbulkan masalah-masalah baru, di antaranya menjauh dari
cita-cita persatuan bangsa seperti, pertama, fanatisme daerah. Kedua, mangarah
paham separatis. Ketiga, kebocoran dana APBN ternyata masih terus berlanjut
karena tidak terkontrol, di mana keberadaan bupati dan wali kota tidak punya
hak untuk mencampuri proyek-proyek yang diperbantukan pusat kepada provinsi.
Keempat,
yang tidak kalah menariknya adalah tentang suasana pemilihan langsung
kepala-kepala daerah yang sangat mencekam. Malah sekarang ini di kalangan
masyarakat mengatakan undang-undang ini membuat kita tidak terkendali atau
kebablasan.
Harus
diakui, sejak otda diberlakukan, banyak kritik yang mengemuka terkait perilaku
tak elok para kepala daerah. Fenomena munculnya raja-raja kecil hingga maraknya
korupsi di daerah menjadi petanda ada yang salah dengan otda. Belum lagi bila
mengacu pada postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang
mayoritas habis untuk belanja birokrasi. APBD dinilai masih menjadi incaran
koruptor.
Hal
ini dibuktikan terus meningkatnya potensi kerugian negara akibat korupsi yang
menggerogoti APBD. Maraknya kasus korupsi yang melibatkan keuangan daerah,
terutama APBD, jelas sangat ironis di tengah himpitan hidup masyarakat,
kemiskinan, serta angka pengangguran yang telah sampai pada titik yang
mengkhawatirkan.
Kasus-kasus
korupsi tersebut juga menjadi bukti telah terjadi pembajakan makna
desentralisasi sekaligus potret buram pelaksanaan otda yang dengan susah payah
mulai kita bangun.
Kompleksitas
Persoalan
Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat dari 524 kepala daerah (gubernur, bupati,
dan wali kota), 173 di antaranya terlibat kasus korupsi pada 2004-2012. Dari
jumlah tersebut, 70 persen telah diputus bersalah dan diberhentikan.
Dengan
otda, para kepala daerah dengan kekuasaannya memanfaatkan aji mumpung sebagai
bupati/wali kota menciptakan modus baru korupsi, antara lain menahan setoran
pajak ke pusat dengan menyimpan di rekening pribadi kepala daerah maupun modus
pinjaman kas daerah untuk investasi pribadi.
Ditambah,
kongkalikong markup dan cash back dari rekanan proyek, budaya upeti. Modus lain
adalah pemanfaatan sisa dana tanpa pertanggungjawaban, manipulasi sisa APBD,
manipulasi perizinan, gratifikasi dari dana BPD penampung anggaran daerah,
hingga bantuan sosial yang tak sesuai peruntukan. Jadi, memang banyak cara,
trik, dan modus yang dipergunakan kepala daerah dan birokrasi pemerintah daerah
untuk memperkaya dirinya (Hadi Supeno, Korupsi di Daerah, 2009).
Kita
mafhum bahwa desentralisasi politik yang saat ini tengah berjalan memang telah
membalik arah seluruh logika kekuasaan secara sangat cepat dan mengurangi
kekuasaan pusat secara amat signifikan. Konsekuensi dari kondisi tersebut
adalah lahirnya kompleksitas persoalan yang luar biasa dalam spektrum otonomi
daerah. Sebagian adalah persoalan lama yang belum tuntas dan sebagian merupakan
persoalan baru.
Salah
satu persoalan baru yang muncul adalah terkait hubungan keuangan pusat dan
daerah. Di sinilah letak persoalannya. Pada tingkatan daerah, masih terdapat
persoalan akuntabilitas dan responsibilitas pengelolaan keuangan serta belum
terbentuknya sistem yang sempurna untuk memastikan setiap sen uang rakyat
dikelola secara bertanggung jawab oleh pemerintah daerah.
Berkaitan
dengan itu, Wakil Presiden Boediono saat membuka peringatan Hari Otonomi Daerah
XVI, di Jakarta, Rabu (25/4) lalu, meminta agar persoalan otda segera
dituntaskan karena masih adanya tumpang tindih kebijakan dan kewenangan antara
pusat dan daerah. Tumpang tindih kebijakan harus segera dituntaskan agar tak
lagi tersisa wilayah abu-abu dalam pelaksanaan otda.
Wapres
Boediono meminta masalah tersebut bisa tuntas saat akhir masa jabatannya.
Pelaksanaan otda di Indonesia telah mendapat apresiasi dari dunia internasional
yang menilai sebuah proses demokrasi yang telah berjalan dengan baik. Namun,
faktanya di dalam negeri sendiri, masalah masih membelit. Itu terjadi karena
belum dijabarkannya secara cermat dan rinci, apa yang jadi kewenangan dan
tanggung jawab pusat dan apa yang jadi kewenangan daerah. Begitu pun yang
terkait dengan hak dan kewajiban pusat dan daerah (Kompas, 26/4/2012).
Kinerja
daerah dalam melaksanakan otda tidak berdiri sendiri atas upaya daerah, tetapi
juga dipengaruhi kebijakan dan perilaku pemerintah pusat. Tingkat pengaruhnya
amat beragam bergantung pada seberapa “taat” dan “inovatif” daerah menyikapi
kebijakan pemerintah. Dalam tahap desentralisasi Indonesia yang belum
terlembagakan secara baik, keberanian bersikap kepala daerah sangat menentukan
kinerja daerah.
Pemerintah
daerah yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya selalu ditandai
kemauan politik dan kemampuan manajerial kepala daerah. Meski jumlahnya tidak
terlalu banyak (misalnya, Lamongan, Solo, Karaganyar, Sragen, Tarakan, Kebumen,
Jembrana, Solok), hal itu bisa menjadi bukti bahwa otda yang disertai dengan
komitmen politik tinggi dari kepala daerah dan dukungan politik dari DPRD akan
menjadi instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Praktik
otda yang menggembirakan tersebut harus menjadi perhatian seluruh stakeholders
kehidupan bernegara bahwa penyelenggaraan otda yang bertanggung jawab,
konsistensi pemerintah pusat termasuk DPR, dan kemampuan masyarakat untuk
mengontrol pelaksanaan otda akan menjadi kunci keberhasilan otda.
Keseimbangan
antara sentralisasi dan desentralisasi akan mempertahankan keutuhan NKRI.
Menjadi tugas bagi kita agar corak pemerintahan yang desentralistik itu harus
meningkatkan demokrasi dan kesejahteraan, bukan menjadi pemuas kepentingan
elite belaka. Otda harus menjadi kesempatan bagi rakyat untuk menikmati
kehidupan yang lebih baik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar