Memotong Budaya
Kekerasan
Lucia Ratih Kusumadewi ; Dosen
Sosiologi FISIP UI;
Mahasiswa PhD di Ecole
des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS), Paris
SUMBER : KOMPAS, 16
Mei 2012
Kekerasan hampir selalu dapat ditemui di
berbagai masyarakat dari masa ke masa. Hanya saja, saat ini terdapat masyarakat
yang lebih sedikit melakukan kekerasan dibandingkan dengan yang lain.
Dalam masyarakat yang sudah sangat akrab
dengan kekerasan, kekerasan ditemui hampir setiap waktu sehingga insiden
kekerasan telah menjadi hal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari.
Ibarat pengemudi bus yang telah terbiasa
mengemudikan busnya dengan kencang dan tidak punya rasa takut lagi akan
kecelakaan maut yang dapat mengancam setiap saat, masyarakat yang telah
terbiasa dengan kekerasan menghidupi kekerasan itu. Bahkan, semakin terampil
dari waktu ke waktu untuk menciptakan moda kekerasan baru. Berangsur-angsur,
kekerasan justru mengalami proses pembudayaan dan budaya kekerasan menjadi
semakin mapan.
Asal Mula Budaya Kekerasan
Lahirnya kekerasan sering kali dikaitkan
dengan personalitas yang otoriter. Pribadi yang memiliki karakter otoriter
biasanya cenderung melakukan kekerasan fisik ataupun psikis kepada orang lain
supaya kehendaknya terpenuhi.
Dalam hal ini, keluarga dan orang-orang dekat
semenjak kecil menjadi referensi sentral pembentukan karakter pribadi
seseorang. Jika orangtua atau yang bertindak sebagai orangtua cenderung
otoriter, atmosfer yang terbentuk dalam keluarga—tempat seorang anak pertama
kali belajar hidup—adalah sebuah atmosfer otoritarianisme dan ini menjadi
kebiasaan sehari-hari sang anak. Keluarga otoriter dapat dikatakan merupakan
agen utama yang mencipta sosok individu otoriter yang cenderung melakukan
kekerasan.
Dalam fase selanjutnya, pribadi-pribadi otoriter
akan masuk dalam kehidupan sosial. Biasanya mereka dikenal dominan, selalu
berusaha memengaruhi atau memaksa orang lain untuk mengikuti kehendaknya.
Kebanyakan korbannya adalah orang-orang yang kurang memiliki kepribadian yang
kuat dan atau yang sedang dalam masa pencarian jati diri. Mereka lalu membentuk
kelompok di mana otoritarianisme telah mendarah daging dan menjadi budaya
kelompok.
Praktik-praktik otoritarian tidak hanya
dilakukan oleh pemimpin, tetapi juga secara berjenjang hingga ke anggota-anggota
yang berada dalam struktur terbawah. Setiap anggota ini kemudian menularkan
budaya otoritariannya itu kepada keluarga dan orang-orang di dekatnya.
Selanjutnya, kelompok-kelompok otoriter
tersebut bekerja secara terorganisasi dalam masyarakat bagaikan virus yang
menyebar. Karena sifat dasar ekspansif yang melekat dalam dirinya,
kelompok-kelompok ini melakukan berbagai cara dalam rangka semakin memapankan
eksistensinya. Berbagai upaya dilakukan, di antaranya menarik perhatian publik
dengan melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan manuver-manuver politik yang
diperlukan guna menguasai wacana publik.
Kelompok-kelompok ini semakin tumbuh subur
jika, pertama, keberadaannya didukung oleh kekuatan-kekuatan politik besar,
termasuk mereka yang menyokong pembiayaan kelompok semacam itu.
Kedua, tidak berfungsinya entitas utama
pengatur tatanan sosial dan pendukung moralitas publik anti-kekerasan yang
dalam masyarakat modern adalah aparatus negara. Dan, menjadi semakin parah,
dalam kasus ketika negara justru menciptakan, menyuburkan, dan atau beraliansi
dengan kelompok-kelompok ini untuk kepentingannya.
Ketiga, tidak terdapatnya kontra-tindakan
atau kontra-aksi yang cukup signifikan untuk mematikan virus kekerasan yang
disebarkan. Artinya, tidak ada gerakan sosial anti-kekerasan yang cukup mampu
untuk membendung penyebaran virus kekerasan di ranah sosial.
Jika situasi penyebaran virus kekerasan ini
berlangsung terus-menerus, yang terjadi adalah frustrasi dan patologi sosial.
Ketika masyarakat anti-kekerasan tidak tahu lagi harus berbuat apa terhadap
kekerasan, ketidakadilan, dan kesemena-menaan yang diterimanya setiap hari,
bukan mustahil akan meledak konflik-konflik besar yang sarat kekerasan.
Kekerasan akhirnya dibalas dengan kekerasan
karena filosofi anti-kekerasan dianggap tidak mampu untuk menyelesaikan masalah
yang berlarut-larut. Jika kondisi ini terus berlangsung, semakin mapanlah
budaya kekerasan itu karena kekerasan telah menjadi cara legitimitas yang
dipakai oleh masyarakat yang tadinya anti-kekerasan.
Indonesia dan Budaya Kekerasan
Tak dapat disangkal bahwa masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang akrab dengan kekerasan. Memang banyak kalangan
menyangkal bahwa budaya kekerasan adalah budaya Indonesia. Namun, pada
kenyataannya, saat ini budaya anti-kekerasan semakin tersingkir
dan—sebaliknya—budaya kekerasan kelihatan semakin mapan.
Dapat dikatakan bahwa intensitas kekerasan di
Indonesia saat ini bahkan hampir menyamai negara-negara yang sedang dalam
situasi perang sipil. Mengapa? Karena hampir setiap hari di media massa kita
membaca berita kekerasan yang menimpa kelompok-kelompok rentan.
Tahun lalu, Komnas Perlindungan Anak mencatat
kenaikan drastis dari angka kekerasan yang menimpa anak hingga 98 persen.
Sementara angka tawuran pelajar meningkat lebih dari dua kali lipat
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. UNHCR mengutarakan bahwa saat ini
sedikitnya 20 perempuan Indonesia mengalami kekerasan seksual setiap hari.
Human Rights Watch (HRW) menyebut, kekerasan
sektarian yang diarahkan kepada kelompok-kelompok minoritas di Indonesia saat
ini semakin mematikan dan semakin sering terjadi. Kekerasan dan pelecehan
berkaitan dengan homo-fobia juga semakin banyak menimpa kelompok
lesbian-gay-biseksual-transjender di Indonesia, termasuk berupa kekerasan verbal
di media-media massa.
Memotong Budaya Kekerasan
Hal yang harus dilakukan untuk menghindari
semakin mapannya budaya kekerasan adalah dengan memotong budaya kekerasan itu.
Ini berarti, menghentikan, menangani, dan menyelesaikan setiap aksi kekerasan yang
muncul. Ibarat memberikan obat yang mematikan kepada virus, budaya kekerasan
harus dimatikan. Tidak ada kompromi atau negosiasi pada budaya kekerasan karena
kekerasan bukanlah hal yang bisa dikompromikan jika kita tidak ingin kembali
hidup di zaman barbarian.
Oleh karena itu, sinergi dari
perbaikan-perbaikan kultural di level masyarakat di satu sisi dan memfungsikan
kembali aparatus negara sebagai pengawal pembangunan budaya di sisi lain adalah
sangat krusial untuk mengeliminasi budaya kekerasan. Pemotongan budaya
kekerasan dengan budaya anti-kekerasan harus dilakukan di setiap lini, mulai
dari level individu, keluarga, kelompok, hingga masyarakat secara luas dengan
militan dan berkelanjutan.
Gerakan masyarakat untuk mengembalikan
kedamaian di Yogyakarta beberapa waktu lalu, misalnya, adalah salah satu upaya
yang diperlukan dan penting sebagai kontra-wacana anti-kekerasan di ranah
publik, yang akhir-akhir ini sangat didominasi wacana kekerasan. Semoga gerakan
ini tak hanya akan subur di Yogyakarta, juga menyebar di seluruh Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar