Rabu, 16 Mei 2012

Memotong Budaya Kekerasan


Memotong Budaya Kekerasan
Lucia Ratih Kusumadewi ;  Dosen Sosiologi FISIP UI;
Mahasiswa PhD di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS), Paris
SUMBER :  KOMPAS, 16 Mei 2012


Kekerasan hampir selalu dapat ditemui di berbagai masyarakat dari masa ke masa. Hanya saja, saat ini terdapat masyarakat yang lebih sedikit melakukan kekerasan dibandingkan dengan yang lain.

Dalam masyarakat yang sudah sangat akrab dengan kekerasan, kekerasan ditemui hampir setiap waktu sehingga insiden kekerasan telah menjadi hal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari.

Ibarat pengemudi bus yang telah terbiasa mengemudikan busnya dengan kencang dan tidak punya rasa takut lagi akan kecelakaan maut yang dapat mengancam setiap saat, masyarakat yang telah terbiasa dengan kekerasan menghidupi kekerasan itu. Bahkan, semakin terampil dari waktu ke waktu untuk menciptakan moda kekerasan baru. Berangsur-angsur, kekerasan justru mengalami proses pembudayaan dan budaya kekerasan menjadi semakin mapan.

Asal Mula Budaya Kekerasan

Lahirnya kekerasan sering kali dikaitkan dengan personalitas yang otoriter. Pribadi yang memiliki karakter otoriter biasanya cenderung melakukan kekerasan fisik ataupun psikis kepada orang lain supaya kehendaknya terpenuhi.

Dalam hal ini, keluarga dan orang-orang dekat semenjak kecil menjadi referensi sentral pembentukan karakter pribadi seseorang. Jika orangtua atau yang bertindak sebagai orangtua cenderung otoriter, atmosfer yang terbentuk dalam keluarga—tempat seorang anak pertama kali belajar hidup—adalah sebuah atmosfer otoritarianisme dan ini menjadi kebiasaan sehari-hari sang anak. Keluarga otoriter dapat dikatakan merupakan agen utama yang mencipta sosok individu otoriter yang cenderung melakukan kekerasan.

Dalam fase selanjutnya, pribadi-pribadi otoriter akan masuk dalam kehidupan sosial. Biasanya mereka dikenal dominan, selalu berusaha memengaruhi atau memaksa orang lain untuk mengikuti kehendaknya. Kebanyakan korbannya adalah orang-orang yang kurang memiliki kepribadian yang kuat dan atau yang sedang dalam masa pencarian jati diri. Mereka lalu membentuk kelompok di mana otoritarianisme telah mendarah daging dan menjadi budaya kelompok.

Praktik-praktik otoritarian tidak hanya dilakukan oleh pemimpin, tetapi juga secara berjenjang hingga ke anggota-anggota yang berada dalam struktur terbawah. Setiap anggota ini kemudian menularkan budaya otoritariannya itu kepada keluarga dan orang-orang di dekatnya.

Selanjutnya, kelompok-kelompok otoriter tersebut bekerja secara terorganisasi dalam masyarakat bagaikan virus yang menyebar. Karena sifat dasar ekspansif yang melekat dalam dirinya, kelompok-kelompok ini melakukan berbagai cara dalam rangka semakin memapankan eksistensinya. Berbagai upaya dilakukan, di antaranya menarik perhatian publik dengan melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan manuver-manuver politik yang diperlukan guna menguasai wacana publik.

Kelompok-kelompok ini semakin tumbuh subur jika, pertama, keberadaannya didukung oleh kekuatan-kekuatan politik besar, termasuk mereka yang menyokong pembiayaan kelompok semacam itu.

Kedua, tidak berfungsinya entitas utama pengatur tatanan sosial dan pendukung moralitas publik anti-kekerasan yang dalam masyarakat modern adalah aparatus negara. Dan, menjadi semakin parah, dalam kasus ketika negara justru menciptakan, menyuburkan, dan atau beraliansi dengan kelompok-kelompok ini untuk kepentingannya.

Ketiga, tidak terdapatnya kontra-tindakan atau kontra-aksi yang cukup signifikan untuk mematikan virus kekerasan yang disebarkan. Artinya, tidak ada gerakan sosial anti-kekerasan yang cukup mampu untuk membendung penyebaran virus kekerasan di ranah sosial.

Jika situasi penyebaran virus kekerasan ini berlangsung terus-menerus, yang terjadi adalah frustrasi dan patologi sosial. Ketika masyarakat anti-kekerasan tidak tahu lagi harus berbuat apa terhadap kekerasan, ketidakadilan, dan kesemena-menaan yang diterimanya setiap hari, bukan mustahil akan meledak konflik-konflik besar yang sarat kekerasan.

Kekerasan akhirnya dibalas dengan kekerasan karena filosofi anti-kekerasan dianggap tidak mampu untuk menyelesaikan masalah yang berlarut-larut. Jika kondisi ini terus berlangsung, semakin mapanlah budaya kekerasan itu karena kekerasan telah menjadi cara legitimitas yang dipakai oleh masyarakat yang tadinya anti-kekerasan.

Indonesia dan Budaya Kekerasan

Tak dapat disangkal bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang akrab dengan kekerasan. Memang banyak kalangan menyangkal bahwa budaya kekerasan adalah budaya Indonesia. Namun, pada kenyataannya, saat ini budaya anti-kekerasan semakin tersingkir dan—sebaliknya—budaya kekerasan kelihatan semakin mapan.

Dapat dikatakan bahwa intensitas kekerasan di Indonesia saat ini bahkan hampir menyamai negara-negara yang sedang dalam situasi perang sipil. Mengapa? Karena hampir setiap hari di media massa kita membaca berita kekerasan yang menimpa kelompok-kelompok rentan.

Tahun lalu, Komnas Perlindungan Anak mencatat kenaikan drastis dari angka kekerasan yang menimpa anak hingga 98 persen. Sementara angka tawuran pelajar meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. UNHCR mengutarakan bahwa saat ini sedikitnya 20 perempuan Indonesia mengalami kekerasan seksual setiap hari.

Human Rights Watch (HRW) menyebut, kekerasan sektarian yang diarahkan kepada kelompok-kelompok minoritas di Indonesia saat ini semakin mematikan dan semakin sering terjadi. Kekerasan dan pelecehan berkaitan dengan homo-fobia juga semakin banyak menimpa kelompok lesbian-gay-biseksual-transjender di Indonesia, termasuk berupa kekerasan verbal di media-media massa.

Memotong Budaya Kekerasan 

Hal yang harus dilakukan untuk menghindari semakin mapannya budaya kekerasan adalah dengan memotong budaya kekerasan itu. Ini berarti, menghentikan, menangani, dan menyelesaikan setiap aksi kekerasan yang muncul. Ibarat memberikan obat yang mematikan kepada virus, budaya kekerasan harus dimatikan. Tidak ada kompromi atau negosiasi pada budaya kekerasan karena kekerasan bukanlah hal yang bisa dikompromikan jika kita tidak ingin kembali hidup di zaman barbarian.

Oleh karena itu, sinergi dari perbaikan-perbaikan kultural di level masyarakat di satu sisi dan memfungsikan kembali aparatus negara sebagai pengawal pembangunan budaya di sisi lain adalah sangat krusial untuk mengeliminasi budaya kekerasan. Pemotongan budaya kekerasan dengan budaya anti-kekerasan harus dilakukan di setiap lini, mulai dari level individu, keluarga, kelompok, hingga masyarakat secara luas dengan militan dan berkelanjutan.

Gerakan masyarakat untuk mengembalikan kedamaian di Yogyakarta beberapa waktu lalu, misalnya, adalah salah satu upaya yang diperlukan dan penting sebagai kontra-wacana anti-kekerasan di ranah publik, yang akhir-akhir ini sangat didominasi wacana kekerasan. Semoga gerakan ini tak hanya akan subur di Yogyakarta, juga menyebar di seluruh Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar