Rabu, 16 Mei 2012

Batasan Kaku “Justice Collaborator”


Batasan Kaku “Justice Collaborator”
Agus Riewanto ;  Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta
SUMBER :  SINDO, 16 Mei 2012


KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) mengintroduksi konsep hukum justice collaborator untuk bisa membongkar kasus megakorupsi, mengawali pada penyelidikan korupsi wisma atlet SEA Games, Hambalang, dan proyek di Kemendikbud, yang melibatkan Angelina Sondakh. Komisi antikorupsi itu menawari Angie agar bekerja sama membuka kasus tersebut. Sudah tepat dan relevankah penerapannya pada kasus itu?

Justice collaborator bisa dimaknai sebagai saksi pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum mngungkap tabir gelap dan jejaring tindak pidana khusus yang dilakukan sindikat yang sistematis, masif, dan terstruktur. Pada tradisi penegakan hukum di Eropa dan Amerika Serikat, konsep itu menjadi model utama. Karena itu, tahun 2003 PBB mengeluarkan Konvensi Antikorupsi, terutama napas Pasal 37 Ayat (2) yang memberikan panduan internasional agar negara mengurangi hukuman bagi pelaku kejahatan tertentu yang bersedia bekerja sama dalam penyelidikan atau penuntutan. Begitu pula Konvensi PBB Tahun 2000 tentang Antikejahatan Transnasional yang Ter-organisasi.

Sebagai salah satu negara anggota PBB, Indonesia terikat oleh dua konvensi itu. Karena itu pemerintah meratifikasi dua konvensi badan dunia tersebut, melalui UU Nomor 7 Tahun 2006 dan UU Nomor 5 Tahun 2009.

Hakim Progresif

Untuk melengkapi pelaksanaan dua UU itu, Indonesia mendesain UU Nomor 10 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Bahkan setahun kemudian terbentuk institusi khusus nonnegara yang melindungi saksi dan korban, yakni Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Jakarta.

Berdasarkan fakta yuridis itu sesungguhnya konsep justice collaborator kini telah menjadi bagian dari proses penegakan hukum. Hanya sejak pengundangan dua UU itu pemerintah belum melengkapi prosedur yang tepat untuk menjalankan konsep itu, baik pada level penegak hukum di kejaksaan, kepolisian, maupun pengadilan.  Baru pada 10 Agustus 2011 ada Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Nomor 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.

Sayang, surat edaran itu hanya mengikat hakim, tidak mengikat institusi kejaksaan dan kepolisian. Akibatnya masih diperlukan hakim yang progresif menerjemahkan tuntutan jaksa dalam kasus korupsi. Jika jaksa tak memahami konsep justice collaborator maka hakim pun secara otomatis takkan bertindak di luar tuntutan jaksa, kecuali hakim progresif yang kini tampaknya makin sepi dan nyaris hilang karena lemahnya dukungan sistem hukum.

Sema Nomor 04 Tahun 2011 itu memberikan panduan kepada hakim untuk mengategorikan saksi pelaku sebagai  justice collaborator, yakni merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan itu, dan memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan.

Rasanya sulit menerapkan konsep itu pada Angie karena surat edaran MA justru membuat batasan yang rigid dan rumit. Faktanya, Angie dalam proses penyidikan di KPK dan sidang pengadilan sebagai saksi membantah terlibat dalam kasus-kasus tersebut. Dia juga mengaku tidak korupsi pada kasus-kasus tersebut.

Kesulitan lain menerapkan konsep itu, justice collaborator tak akan memperoleh pengampunan hukuman tapi hanya keringanan. Ditambah budaya politik di negara kita pun belum bisa melahirkan budaya malu dan harga diri tinggi, seperti politikus Jepang, Jerman, dan Prancis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar