Dari N-2130
hingga SSJ100
Rahardi Ramelan ; Pengamat
Masalah Masyarakat dan Teknologi
SUMBER : KOMPAS, 16
Mei 2012
Musibah yang menimpa pesawat Sukhoi Superjet
100 menggugah kita untuk menoleh ke belakang: melihat program pesawat kita,
N-2130.
Sudah lama pasar pesawat komersial besar atau
Large Commercial Aircraft (LCA)
didominasi oleh Boeing dan Airbus sebagai duopoli. Walaupun pasar terbuka bagi
produsen baru, kemungkinan masuknya produsen ketiga hampir tidak mungkin.
Pasar Pesawat
Akan tetapi, adanya persaingan harga tiket
dan tekanan terhadap biaya produksi di perusahaan penerbangan memunculkan
kebutuhan pesawat dengan 100 penumpang. Studi yang dilakukan pada 1995 oleh
beberapa industri pesawat mengindikasikan, terbuka pasar pesawat dengan kapasitas
100-130 penumpang pada 2000-2020. Jumlahnya diperkirakan 3.000 pesawat. Hal
inilah yang kemudian ”memaksa” Boeing memproduksi B 717-200 (MD-95) dan Airbus
dengan A-319 yang berkapasitas 100-130 penumpang.
Sebenarnya, industri pesawat menengah dan regional
terus memfokuskan diri pada pengembangan pesawat untuk 100 penumpang yang
merupakan low end dari LCA. Sebutlah
di antaranya Embraer dari Brasilia yang mengembangkan E-170. Embraer kemudian
melanjutkan dengan stretch version E-190
yang penerbangan perdananya berlangsung pada 2004.
Ada juga Bombardier dari Kanada. Perusahaan
ini pada 1997 mengembangkan CRJ-700, stretch
version CRJ-200. Ini kemudian dilanjutkan dengan CRJ-900 dan akhirnya
CRJ-1000 yang programnya dimulai pada 2007 dan penerbangan perdana pada 2008.
Fokker-Belanda berusaha memasuki pasar ini dengan F-100, tetapi gagal.
Rusia pun tidak mau ketinggalan. Tupolev pada
waktu itu mengembangkan Tu 334-120 yang penerbangan perdananya terlaksana pada
1999. Baru kemudian Sukhoi pada 2000 mengembangkan program SSJ100. Ini adalah
pesawat baru dan penerbangan perdananya dilaksanakan tahun 2008.
Penyerahan pesawat pertama dilakukan tahun
2011. Sukhoi memiliki kerja sama jangka panjang dengan Boeing dan Pemerintah
Rusia mendukung pengembangan SSJ100 melalui pendanaan. SSJ100 juga menggunakan
mesin baru, SaM-146, buatan Rusia hasil kerja sama Rusia dan Perancis.
Bagaimana dengan Indonesia? IPTN, yang
sekarang bernama Dirgantara Indonesia (DI), setelah sukses dengan CN-235 dan
penerbangan perdana N-250 mulai mengembangkan pesawat N-2130 tahun 1995. Versi
N-2130-100 rencananya melakukan terbang perdana pada awal 2005 dan penyerahan
pesawat pertama tahun 2006.
Untuk membiayai program N-2130, atas prakarsa
pemerintah, tahun 1996 telah dibentuk perusahaan PT Dua Satu Tigapuluh (DSTP).
Saham PT DSTP dimiliki oleh pemerintah daerah, BUMN, perusahaan swasta, dan
perorangan. Pada pertengahan tahun 1997, sewaktu nilai mata uang rupiah semakin
menurun serta keadaan ekonomi dan keuangan Indonesia semakin memburuk dan tidak
menentu, kemampuan PT DSTP untuk memenuhi target membiayai program N-2130 tidak
tercapai.
Seiring dengan gelombang reformasi politik,
PT DSTP bulan September 1999 akhirnya dilikuidasi. Hak milik atas kekayaan
intelektual yang dimilikinya—hasil penelitian, desain, dan
sebagainya—diserahkan kepada pemerintah.
N-2130 dan SSJ100
Dibandingkan dengan pesawat lain dengan
kapasitas 100 penumpang, N-2130 yang dimulai tahun 1995 dan SSJ100 yang dimulai
tahun 2004 merupakan pesawat baru yang memanfaatkan teknologi mutakhir,
termasuk FBW-Fly by Wire. Sebagai
pesawat baru, rancangan pesawat, antara lain, memanfaatkan Computational Fluid Dynamics (CFD) Technology yang canggih untuk mengurangi biaya pengembangan.
Dihentikannya program N-2130 pada 1999 telah
menceraiberaikan pool para ahli desain dan enginer pesawat kita yang
jumlahnya ratusan. Mereka kemudian menyebar dan menjadi bagian dari perusahaan
pesawat dunia. Ada yang di Brasilia, Kanada, Amerika Serikat, dan Eropa.
Kita pun pada 2010 membeli pesawat dari para
pesaing kita untuk memenuhi pasar pesawat 100 penumpang dalam negeri. Beberapa
perusahaan penerbangan dalam negeri telah melirik atau membeli Embraer E-190,
Bombardier CRJ-1000, dan SSJ100.
Setelah 13 tahun dihentikannya program
N-2130, kita belajar banyak. Kemampuan teknologi dan industri merupakan hasil
perjalanan yang panjang, akumulasi dari belajar dan praktik. Berhentinya proses
akumulasi ini dan upaya untuk mengembalikannya memerlukan keberanian dan waktu
yang panjang.
Adakah pemimpin atau calon pemimpin kita yang
mempunyai Visi Teknologi 2030? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar