Rabu, 09 Mei 2012

Ensiklopedia Legislator Tersorot


Ensiklopedia Legislator Tersorot
Richo Andi Wibowo; Aktivis PPI Belanda periode 2007-2008; Dosen Hukum Pengawasan terhadap Aparatur Negara FH UGM
SUMBER :  JAWA POS, 08 Mei 2012


MENTERI Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar menginstruksi para pejabat daerah agar mengurangi kebiasaan melakukan perjalanan dinas (Jawa Pos, 7/5/2012). Kehadiran instruksi tersebut tentu patut diapresiasi. Namun, guna memastikan agar perintah itu dihormati dengan baik, pemerintah pusat, baik eksekutif maupun legislatif, harus mampu memberikan teladan akuntabilitas.

Eksekutif pusat harus memberikan contoh yang baik karena instruksi tersebut dikeluarkan oleh menteri yang merupakan pejabat pemerintah pusat. Sedangkan legislatif pusat (DPR) juga berkewajiban memberikan contoh yang baik karena posisinya sebagai lembaga pengawas eksekutif. Semestinya DPR harus lebih baik daripada lembaga yang diawasi.

Urgensi DPR untuk menekan perjalanan dinas semakin relevan, mengingat meningkatnya kritik publik kepada DPR belakangan ini. Sebagaimana diketahui khalayak, beberapa waktu lalu lawatan kerja anggota Komisi I DPR ke Jerman ditolak oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) dan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCI NU) setempat.

Kelompok tersebut beralasan bahwa kunjungan kerja (kunker) hanyalah jubah terselubung agar legislator dapat berjalan-jalan secara gratis atas biaya rakyat. Tudingan tersebut logis, mengingat tujuan kunker berupa memantau kedutaan besar di luar negeri dianggap sebagai agenda yang sepele. Karena itu, pelaksanaan kegiatan tersebut tidak perlu dilakukan dengan cara ''bedol desa'' ke luar negeri. Namun, itu bisa dilakukan dengan pendekatan komunikasi-informasi dan teknologi.

Pernah Berhasil Mengkritik

Sesungguhnya penolakan serupa juga kerap terjadi sebelumnya. Tepat setahun yang lalu, PPI Australia menolak lawatan yang dilakukan komisi VIII untuk studi banding materi RUU Fakir Miskin ke parlemen Australia.

Kala itu, PPI Australia juga yakin bahwa kunker tersebut adalah kedok untuk jalan-jalan gratis. Hal itu mengingat parlemen Australia tidak mungkin menerima kunjungan karena sedang masa reses dan libur Paskah (Media Indonesia, 25/4/2011).

Lebih dari itu, upaya penolakan kunker DPR juga sudah sejak lama disuarakan PPI Belanda. Bahkan, organisasi itu tercatat pernah dua kali (pada 2005 dan 2008) menolak kunker para legislator ke Belanda dengan alasan yang serupa dengan di atas.

Sayangnya, sekalipun masyarakat telah berulang-ulang memberikan kritik, DPR tidak kunjung melakukan perbaikan. Jangankan menurunkan anggaran perjalanan dinas, anggaran kunker DPR pada 2012 justru naik Rp 3,4 miliar liar dari anggaran tahun sebelumnya.

Dengan begitu, tidaklah mengherankan jika ada pihak yang menganggap mengkritik DPR bagaikan berteriak di dalam gua; sekalipun keras dan menggaung, tak ada yang menggubris. Akibatnya, terjadi penurunan semangat masyarakat dalam mengkritik dan mengawasi DPR (Jawa Pos, 3/5/2012).

Sesungguhnya masyarakat tidak boleh patah semangat dalam melakukan pengawasan terhadap DPR karena -dalam beberapa kejadian- kritik keras yang solid dari masyarakat berhasil memengaruhi kebijakan DPR. Misalnya, masyarakat pernah berhasil membatalkan rencana pembagian fasilitas laptop untuk legislator pada 2007. Masyarakat juga pernah sukses menggugurkan rencana pembangunan gedung mewah DPR pada 2011.

Responsible Voters

Kegerahan masyarakat terhadap masalah kunker para legislator dapat diatasi jika masyarakat sama-sama solid memberikan hukuman politik kepada anggota DPR. Caranya, memastikan legislator yang gemar berjalan-jalan gratisan tidak dipilih kembali dalam periode setelah ini.

Guna memastikan hal di atas terimplementasi, masyarakat harus diarahkan untuk menjadi pemilih yang bertanggung jawab (responsible voters). Maksudnya, ketika akan menggunakan hak pilih, masyarakat perlu memastikan terlebih dahulu rekam jejak calon legislatif (caleg) yang ada, khususnya caleg-caleg yang saat ini menjabat anggota DPR. Para legislator yang bermasalah tersebut jangan sampai terpilih kembali ke depannya.

Guna kemudahan masyarakat, mereka perlu dibantu terkait referensi orang-orang yang akan mereka pilih. Peran itu dapat dilakukan kelompok cendekia dengan membentuk ''ensiklopedia'' yang berisi list anggota DPR yang masuk daftar sorotan negatif.

Ensiklopedia tersebut harus mampu membangun reputasi agar dapat menjadi rujukan media, akademisi, aktivis LSM, partai politik, dan masyarakat (voters/pemilih). Jika voters mendasarkan pilihan pencoblosan mereka melalui ensiklopedia ini, para anggota dewan akan menjaga sikap sebaik mungkin guna menghindari tercantumnya nama mereka dalam daftar tersebut.

Agar berhasil membangun reputasi, para penyusun ensiklopedia ini perlu mempertimbangkan beberapa hal sebagai strategi dan taktik perjuangan. Pertama, guna alasan kemudahan, maka katalog tersebut perlu disusun dari berbagai kliping berita yang sudah sahih. Agar reliable dan objektif, sumber berita yang dipilih perlu diambil dari surat kabar yang tepercaya. Cara itu pernah dilakukan ketika para aktivis membuat daftar politisi busuk menjelang pemilu lalu.

Kedua, guna menghindari permasalahan hukum yang mungkin timbul akibat pemuatan suatu informasi di katalog, berita yang ditampilkan perlu disajikan apa adanya. Tidak perlu ditambahi atau dikurangi. Selain untuk kemanfaatan di atas, hal itu bermanfaat untuk menghindari tuduhan black campaign dari pihak-pihak yang tidak senang dengan hadirnya ensiklopedia legislator tersorot ini.

Ketiga, guna kemudahan akses bagi masyarakat, katalog itu perlu dibuat tidak hanya dengan versi biasa, melainkan juga versi elektronik (e-encyclopedia). Harapannya, masyarakat dan para pemangku kepentingan di seluruh penjuru tanah air dapat menjadi semakin mudah mengakses ensiklopedia ini melalui internet.

Selain hal tersebut, perlu ditekankan bahwa strategi dan taktik dari pembentukan katalog ini bukanlah sebagai sarana untuk ''tuding'' dan ''permalukan'' para legislator. Melainkan lebih kepada: (1) membantu dan mendidik masyarakat untuk menjadi responsible voters; dan (2) mendesain formula baru pengawasan bagi anggota DPR sehingga mereka takut berbuat sesuatu yang berseberangan dengan kehendak rakyat.

Dengan melakukan hal tersebut, diharapkan harkat dan martabat DPR sebagai penyerap aspirasi rakyat akan pulih; dan bukan sebagai tempat berkumpulnya orang-orang yang perilakunya dikeluhkan rakyat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar