Selasa, 15 Mei 2012

Kita adalah Sebuah Cita-cita

Kita adalah Sebuah Cita-cita
Soegeng Sarjadi ;  Ketua Soegeng Sarjadi Syndicate
SUMBER :  KOMPAS, 15 Mei 2012


Kali ini saya terkesan dengan Taufiq Kiemas, seorang kawan lama yang kini menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ia berpendirian bahwa para tokoh yang sudah senior sebaiknya menyisih dan memberi kesempatan kepada yang muda berkompetisi dalam pemilihan presiden nanti.

Dengan sikap itu, Taufiq Kiemas telah menegakkan tabiat berpolitik yang baik meskipun banyak pihak, terutama para tokoh senior yang masih ingin menjadi calon presiden dan wakil presiden, tidak sependapat. Kepada mereka patut diingatkan sindiran iwak peyek nasi jagung, uwis tuwek isih mumpung (rempeyek nasi jagung, sudah tua masih mumpung). Kalau umur masih di bawah 65 tahun pada 2014, mungkin tenaga dan pikiran masih prima. Akan tetapi, lebih dari itu, lebih baik menjadi guru bangsa.

Syahwat politik yang tidak pernah susut dari tokoh-tokoh senior tersebut dalam batas tertentu boleh disebut paralel dengan realitas kehidupan yang menggetarkan sekarang ini. Misalnya, orang yang sudah divonis korupsi dengan tenang tetap menonjolkan diri. Sudah pernah menjadi presiden dan wakil presiden, tetap saja ia berhasrat tinggi beradu memperebutkan kembali kursi itu. Sudah tahu berbuat salah, seperti memiskinkan rakyat di suatu wilayah, tetap saja ia merasa bahwa tidak terjadi apa-apa. Betapa menggetarkan sikap itu.

Republik akan menjadi paria jika tabiat berpolitik tidak terbangun dengan baik. Padahal, cita-cita revolusi kemerdekaan secara gamblang mensyaratkan tabiat berpolitik yang mengedepankan rakyat, yang menempatkan orang-orang miskin dan telantar di tempat paling mulia di dalam konstitusi serta prinsip berbangsa dan bernegara. Pendeknya, politik adalah sebuah kemuliaan.

Jembatan Emas

Tidak mengherankan jika Bung Karno teguh dengan keyakinannya bahwa kemerdekaan adalah sebuah jembatan emas. Bisa dibayangkan, jika jembatannya saja emas, betapa makmurnya peri kehidupan masyarakat di ujung jembatan itu. Mereka hidup, meminjam bahasa Bung Hatta, seharusnya bahagia. Dalam konstruksi ini, negara wajib melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi.

Tabiat politik yang mulia dari Bung Karno, Bung Hatta, dan Bapak Bangsa yang lain menunjukkan bahwa setiap pribadi dari mereka adalah entitas utuh, masing-masing adalah sebuah cita-cita. Bung Karno adalah sebuah cita-cita, Bung Hatta adalah sebuah cita-cita. Demikian pula para Bapak Bangsa yang lain. Mereka bersama menegakkan dan mewariskan Indonesia.

Karena setiap pribadi dari mereka adalah sebuah cita-cita, ibarat katedral, masjid, pura, atau kelenteng, setiap suku bangsa di Tanah Air juga merupakan sebuah cita-cita. Setiap suku bangsa adalah satu batu bata yang menjadikan Indonesia berdiri. Dengan demikian, bangsa Indonesia secara otomatis juga sebuah cita-cita. Oleh karena itu, seperti dinyatakan Daoed Joesoef (2011), ketika berdampingan dengan suku, bangsa Indonesia harus menjadi asosiasi holistik dari manusia-manusia yang setaraf, yang punya kesamaan tujuan dan cita-cita.

Sementara itu, ketika berseberangan dengan pihak asing, bangsa Indonesia mempunyai kebersamaan tekad untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan dalam bentuk apa pun. Ketika berhadapan dengan dunia luar, bangsa Indonesia adalah pertahanan tapal batas. Ketika berurusan dengan pembangunan, kita adalah masyarakat yang berusaha memenuhi aneka kekurangan sehingga tercipta keadilan dan kemakmuran berdasarkan Pancasila.

Menjadikan diri kita sebagai sebuah cita-cita—demikian juga dengan keluarga, partai politik, lembaga kajian, perusahaan, lembaga negara, dan institusi lain—secara hipotesis tidak hanya akan mendorong peningkatan kesadaran bersama dan berlakunya tabiat berpolitik yang baik, tetapi juga terciptanya masyarakat adil dan makmur.

Sebaliknya, jika kita menjadikan diri sendiri lebih besar dari cita-cita bersama, yang ada hanya pengejaran syahwat kekuasaan, kekayaan, dan hak-hak istimewa lain. Dalam konteks inilah seluruh keadaban sosial dan tatanan konstitusi potensial untuk dilanggar dan dimanipulasi.

Padahal, ranah politik adalah pusat perumusan dan pengambilan keputusan. Ia adalah sumber energi bagi bidang-bidang lain. Apabila praktik politik berjalan brengsek, yaitu tanpa fatsun dan etika, hampir bisa dipastikan brengsek pula praktik ekonomi, hukum, keamanan, dan kebudayaan. Tentu kita tidak mau Indonesia menjadi paria seperti itu.

Obsesi Bernegara

Langkah awal untuk meredam akibat dari tabiat berpolitik yang buruk adalah memilih seorang pemimpin yang mempunyai obsesi bernegara. Ia mempunyai obsesi menjadikan rakyat cukup sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan yang baik dengan biaya terjangkau. Ia mempunyai obsesi menjadikan rakyat merasa aman: tersedia air bersih, fasilitas umum yang manusiawi, dan tidak banjir. Ia mempunyai obsesi membuat seluruh rakyat bahagia.

Pintu terdekat untuk mendapatkan figur dengan obsesi bernegara tersebut, meskipun tidak seluruh obsesi bisa dipanggulnya, adalah pemilihan umum. Salah memilih pasangan presiden dan wakil presiden pada pemilihan umum nanti, misalnya, kita bisa terjerembap menjadi bangsa kuli. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar