Kita adalah
Sebuah Cita-cita
Soegeng Sarjadi ; Ketua
Soegeng Sarjadi Syndicate
SUMBER : KOMPAS, 15
Mei 2012
Kali ini saya terkesan dengan Taufiq Kiemas,
seorang kawan lama yang kini menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ia
berpendirian bahwa para tokoh yang sudah senior sebaiknya menyisih dan memberi
kesempatan kepada yang muda berkompetisi dalam pemilihan presiden nanti.
Dengan sikap itu, Taufiq Kiemas telah
menegakkan tabiat berpolitik yang baik meskipun banyak pihak, terutama para
tokoh senior yang masih ingin menjadi calon presiden dan wakil presiden, tidak
sependapat. Kepada mereka patut diingatkan sindiran iwak peyek nasi jagung, uwis tuwek isih mumpung (rempeyek nasi jagung, sudah tua masih
mumpung). Kalau umur masih di bawah 65 tahun pada 2014, mungkin tenaga dan
pikiran masih prima. Akan tetapi, lebih dari itu, lebih baik menjadi guru
bangsa.
Syahwat politik yang tidak pernah susut dari
tokoh-tokoh senior tersebut dalam batas tertentu boleh disebut paralel dengan
realitas kehidupan yang menggetarkan sekarang ini. Misalnya, orang yang sudah
divonis korupsi dengan tenang tetap menonjolkan diri. Sudah pernah menjadi
presiden dan wakil presiden, tetap saja ia berhasrat tinggi beradu
memperebutkan kembali kursi itu. Sudah tahu berbuat salah, seperti memiskinkan
rakyat di suatu wilayah, tetap saja ia merasa bahwa tidak terjadi apa-apa.
Betapa menggetarkan sikap itu.
Republik akan menjadi paria jika tabiat
berpolitik tidak terbangun dengan baik. Padahal, cita-cita revolusi kemerdekaan
secara gamblang mensyaratkan tabiat berpolitik yang mengedepankan rakyat, yang
menempatkan orang-orang miskin dan telantar di tempat paling mulia di dalam
konstitusi serta prinsip berbangsa dan bernegara. Pendeknya, politik adalah
sebuah kemuliaan.
Jembatan Emas
Tidak mengherankan jika Bung Karno teguh
dengan keyakinannya bahwa kemerdekaan adalah sebuah jembatan emas. Bisa
dibayangkan, jika jembatannya saja emas, betapa makmurnya peri kehidupan
masyarakat di ujung jembatan itu. Mereka hidup, meminjam bahasa Bung Hatta,
seharusnya bahagia. Dalam konstruksi ini, negara wajib melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam perdamaian dunia yang
berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi.
Tabiat politik yang mulia dari Bung Karno,
Bung Hatta, dan Bapak Bangsa yang lain menunjukkan bahwa setiap pribadi dari
mereka adalah entitas utuh, masing-masing adalah sebuah cita-cita. Bung Karno
adalah sebuah cita-cita, Bung Hatta adalah sebuah cita-cita. Demikian pula para
Bapak Bangsa yang lain. Mereka bersama menegakkan dan mewariskan Indonesia.
Karena setiap pribadi dari mereka adalah
sebuah cita-cita, ibarat katedral, masjid, pura, atau kelenteng, setiap suku
bangsa di Tanah Air juga merupakan sebuah cita-cita. Setiap suku bangsa adalah
satu batu bata yang menjadikan Indonesia berdiri. Dengan demikian, bangsa
Indonesia secara otomatis juga sebuah cita-cita. Oleh karena itu, seperti
dinyatakan Daoed Joesoef (2011), ketika berdampingan dengan suku, bangsa
Indonesia harus menjadi asosiasi holistik dari manusia-manusia yang setaraf,
yang punya kesamaan tujuan dan cita-cita.
Sementara itu, ketika berseberangan dengan
pihak asing, bangsa Indonesia mempunyai kebersamaan tekad untuk membebaskan
diri dari belenggu penjajahan dalam bentuk apa pun. Ketika berhadapan dengan
dunia luar, bangsa Indonesia adalah pertahanan tapal batas. Ketika berurusan
dengan pembangunan, kita adalah masyarakat yang berusaha memenuhi aneka
kekurangan sehingga tercipta keadilan dan kemakmuran berdasarkan Pancasila.
Menjadikan diri kita sebagai sebuah
cita-cita—demikian juga dengan keluarga, partai politik, lembaga kajian,
perusahaan, lembaga negara, dan institusi lain—secara hipotesis tidak hanya
akan mendorong peningkatan kesadaran bersama dan berlakunya tabiat berpolitik
yang baik, tetapi juga terciptanya masyarakat adil dan makmur.
Sebaliknya, jika kita menjadikan diri sendiri
lebih besar dari cita-cita bersama, yang ada hanya pengejaran syahwat
kekuasaan, kekayaan, dan hak-hak istimewa lain. Dalam konteks inilah seluruh
keadaban sosial dan tatanan konstitusi potensial untuk dilanggar dan
dimanipulasi.
Padahal, ranah politik adalah pusat perumusan
dan pengambilan keputusan. Ia adalah sumber energi bagi bidang-bidang lain.
Apabila praktik politik berjalan brengsek, yaitu tanpa fatsun dan etika, hampir
bisa dipastikan brengsek pula praktik ekonomi, hukum, keamanan, dan kebudayaan.
Tentu kita tidak mau Indonesia menjadi paria seperti itu.
Obsesi Bernegara
Langkah awal untuk meredam akibat dari tabiat
berpolitik yang buruk adalah memilih seorang pemimpin yang mempunyai obsesi
bernegara. Ia mempunyai obsesi menjadikan rakyat cukup sandang, pangan, papan,
pendidikan, dan kesehatan yang baik dengan biaya terjangkau. Ia mempunyai
obsesi menjadikan rakyat merasa aman: tersedia air bersih, fasilitas umum yang
manusiawi, dan tidak banjir. Ia mempunyai obsesi membuat seluruh rakyat
bahagia.
Pintu terdekat untuk mendapatkan figur dengan
obsesi bernegara tersebut, meskipun tidak seluruh obsesi bisa dipanggulnya,
adalah pemilihan umum. Salah memilih pasangan presiden dan wakil presiden pada
pemilihan umum nanti, misalnya, kita bisa terjerembap menjadi bangsa kuli. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar