Sabtu, 05 Mei 2012

Membaca Kecenderungan Pilkada DKI


Membaca Kecenderungan Pilkada DKI
M Alfan Afian; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional (Unas), Jakarta
SUMBER : SINDO, 05 Mei 2012


Sejak pendaftaran pasangan calon kepala daerah DKI Jakarta ditutup, dari segi kandidasi, pilkada DKI tahun ini cukup meriah. Ada tiga pasang kandidat yang disokong partai-partai politik, yakni Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, Alex Noerdin-Nono Sampono, Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok),dan Hidayat Nurwahid-Didik J Rachbini.

Ada pula dua kandidat independen, yakni Herdardji Soepandji- Ahmad Riza Patria dan Faisal Basri-Biem Benyamin. Menilik banyaknya pasangan calon, persaingannya cukup ketat. Apabila menilik berbagai hasil polling selama ini yang selalu bergerak, maka garis kompetisinya tergambar bahwa pasangan Fauzi-Nachrowi berada pada sisi ekstrem kanan, apabila kanan yang dimaksud adalah incumbent. Ekstrem penantangnya, bukan pasangan independen ternyata, melainkan Jokowi-Ahok.

Pasangan terakhir ini, tampak paling atraktif dibanding dengan yang lain, yang sama-sama penantang kubu Fauzi-Nachrowi. Kecenderungan hasil polling yang berkembang, Fauzi-Nachrowi memang masih yang tertinggi, tetapi menurun. Sementara, Jokowi-Ahok popularitasnya cenderung naik. Pasangan-pasangan lain di luar Fauzi-Nachrowi dan Jokowi- Ahok, yang berada dalam wilayah penantang, juga tampak berupaya terus mempertegas identifikasi mereka.

Yang berpeluang lebih besar, karena identifikasinya jelas, ialah yang ekstrem penantang. Karenanya, apabila hendak menarik perhatian, pasangan lain harus melakukan terobosan untuk menggeser ekstremitas Jokowi-Ahok. Dalam konteks ini, yang berpeluang ialah pasangan Alex-Nono dan Faisal- Biem. Pasangan pertama mengangkat isu menyelesaikan masalah banjir dan macet selama tiga tahun. Pasangan kedua, berpeluang untuk lebih atraktif lagi dalam menggulirkan gerakan sosial, mengingat Faisal-Biem, sebelumnya sempat menjadi ekstrem penantang. Pasangan Hidayat-Didik dan Herdardji-Riza tampak agak susah untuk merebut identifikasi ekstrem penantang. Kedua pasangan tampak kurang begitu atraktif. Pasangan pertama, terkesan susah keluar dari pasar tertutup partai pengusungnya. Pasangan kedua tidak memperlihatkan adanya isu yang menonjol.

Kalau kecenderungan demikian tetap bertahan, maka hingga hari-H pemungutan suara pola ekstremitas kompetisinya akan tetap, ibarat garis kontinum, sisi kanan Fauzi-Nachrowi dan sisi kirinya Jokowi- Ahok. Pasangan Jokowi-Ahok tampak mengalami pelejitan popularitas belakangan ini. Isunya, secara umum sebenarnya sama dengan para penantang lain, yakni perubahan. Yang membuat pasangan ini dipandang lebih justru karena manuver politik kampanyenya yang lebih variatif dan cukup efektif.

Selain itu, latar belakang mereka sebagai kepala daerah di tingkat kabupaten/ kota serta usianya yang masih relatif muda membuat pasangan ini tampak tidak cukup kesulitan masuk ke segmen pemilih muda. Gaya kampanye yang berbeda sekali dengan pasangan incumbent membuat pasangan ini susah untuk disangkal keberadaannya di wilayah ekstrem penantang.

Bukan Matematika

Tetapi, politik bukan matematika. Banyak variabel yang susah dikuantifikasi secara pasti. Tidak ada asumsi yang cateris paribus atau tetap, melainkan semuanya bergerak dinamis. Popularitas incumbent bisa saja dikalahkan penantang. Tetapi, juga bisa saja, para penantang tak sanggup menaklukkan benteng pertahanan incumbent. Di antara banyak variabel, manajemen isu akan sangat menentukan siapa yang akhirnya memperoleh banyak dukungan dalam pilkada yang demokratis.

Kelebihan incumbent adalah kesempatan untuk menjelaskan banyaknya program baik yang harus dilanjutkan. Pasangan ini dapat meraih dukungan dengan mengatakan bahwa misi harus dituntaskan, dan itu artinya, Fauzi Bowo harus menjabat sebagai gubernur kembali. Incumbent bisa menciptakan kekhawatiran bahwa program-program yang belum sepenuhnya tuntas atau yang sedang direncanakan, seperti program ambisius nan atraktif mass rapid transportation (MRT), dapat tidak akan berlanjut manakala yang berkuasa adalah penantang.

Sebaliknya, para penantang akan melakukan berbagai upaya agar pemilih tidak lagi percaya kepada incumbent. Ini satu soal. Soal lain ialah bagaimana para penantang mampu menyuguhkan alternatif atau setidaknya imajinasi pembangunan yang lebih hebat dan lebih masuk akal ketimbang perubahan yang berkesinambungan ala pasangan incumbent. Dua-duanya sudah dilakukan.

Yang pertama, terkait dengan negative campaign, yang manakala tidak dilakukan secara hati-hati dan cermat, dapat jadi bumerang bagi pelemparnya. Yang kedua, isu-isu alternatif dan imajinatif harus memperoleh kemasannya yang tepat, sebab kalau tidak ia sudah diborong oleh incumbent. Pihak incumbent memang merupakan yang paling banyak memperoleh serangan karena selain merupakan semacam musuh bersama, juga telah menjalankan pemerintahan sebelumnya yang pasti tidak lepas dari kelemahan. Eksploitasi kelemahan ini mudah dilakukan secara verbal, tetapi efektivitasnya belum tentu tinggi.

Perubahan- Kesinambungan

Betapapun demikian, para penantang tetap punya kesempatan untuk menggoyahkan argumen- argumen kemapanan dan kesinambungan ini dengan melejitkan popularitas karismatik atau populisme. Yang paling atraktif dari sudut ini adalah pasangan Jokowi-Ahok. Dengan pendekatan solidarity maker, pasangan ini melejit. Pelipatgandaan popularitas terjadi tanpa harus memaksakan diri untuk mengedepankan argumen dan logika incumbent yang problem solver.

Dengan risiko bahaya populisme, ekstrem penantang sesungguhnya lebih diuntungkan dari konteks psikologi mesias, bahwa ia berpotensi menjadi semacam juru selamat. Ketika incumbent dipandang banyak kelemahan atau tidak memuaskan, maka posisi estrem penantang sangat strategis. Tetapi, dalam kasus pilkada DKI kali ini, logika dan pola ekstrem dalam perilaku pemilih belum tampak. Artinya, tidak mudah bagi ekstrem penantang melibas ekstrem incumbent. Argumen perubahan semata tidak cukup mampu diterima, terutama oleh kalangan rasionalis dan mapan.

Kubu incumbent dapat goyah, apabila ada distrust yang kuat. Tetapi, untuk menghadirkan itu, tentu sangat tidak mudah. Jadi, setidaknya, sampai artikel ini ditulis, kecenderungan yang masih terlihat adalah masih kuatnya kubu incumbent. Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar