Memaksa
Politikus Pikirkan Rakyat
Djayadi Hanan ; Dosen Ilmu
Politik Universitas Paramadina,
Kandidat Doktor Ilmu Politik
SUMBER : REPUBLIKA,
15 Mei 2012
Politikus
hanya memikirkan diri sendiri, egois. Politikus tak peduli rakyat. Itulah
keluhan yang terus muncul atas perilaku poli tikus kita. Biasanya, keluhan ini
disertai dengan saran, tepatnya harapan, agar politikus segera tobat dan
berupaya memikirkan rakyat.
Tapi,
rekor buruk terus ditorehkan politikus. Kasus korupsi dan moral terberitakan
tiada henti. Lembaga wakil rakyat, tempat utama politikus, diganjar publik
dengan persepsi sebagai salah satu lembaga terkorup. Adakah cara agar politikus
memikirkan rakyat?
Mungkin
ada dua cara, etis dan paksa. Cara etis mengharapkan politikus memiliki kualitas
moral untuk memikirkan rakyat. Cara paksa menggunakan rekayasa kelembagaan agar
politikus tak punya pilihan banyak.
Cara Etis
Menurut
cara etis, yang menjadi politikus harus orang baik. Mereka adalah orang-orang
terseleksi lewat partai politik dan atau lewat pemilu. Politikus adalah
orang-orang yang memiliki komitmen untuk mengabdi, bukan mencari penghidupan.
Mereka juga memiliki keterampilan yang cukup untuk membuat kebijakan yang
menguntungkan rakyat.
Tapi,
ada sejumlah masalah dengan cara etis. Ketika para individu yang baik
berkumpul, belum tentu mereka mampu membuat kebijakan yang baik. Penelitian
Riccardo Pelizzo dan Bernice Ang (2008) tentang peta etika para anggota DPR
membuktikan hal tersebut. Menurut penelitian ini, para anggota DPR ternyata memiliki
standar etika yang lebih tinggi dibanding anggota parlemen Inggris. Tingkat
penolakan mereka terhadap korupsi dan perilaku buruk lainnya lebih tinggi.
Tapi, kenyataannya, tingkat korupsi dan cacat perilaku anggota DPR dianggap
lebih buruk.
Penyebabnya,
kata Pelizzo dan Ang, ada dua. Di satu sisi, standar etis tiap individu
ternyata tidak sama. Apa yang dianggap korupsi oleh sejumlah individu dianggap
bukan korupsi oleh sejumlah individu yang lain. Di sisi lain, terdapat
inkonsistensi dalam penerapan.
Individu
yang mengatakan kepentingan publik harus diutamakan belum tentu menolak pergi
studi banding yang dianggap masyarakat mubazir. Biasanya, inkonsistensi ini
dibarengi dengan alasan bahwa publik salah persepsi. Alasan lain adalah karena
media membesarbesarkannya.
Di
samping itu, proses atau mekanisme yang menghubungkan antarindividu belum tentu
baik. Misalnya, ada persepsi publik bahwa para anggota DPR itu bukan beradu
argumen untuk membuat kebijakan demi rakyat. Mereka berkolusi untuk kepentingan
masing-masing pribadi atau partai. Masalah lain, individu yang sukarela memikirkan
rakyat itu dinamakan negarawan. Di manapun, jumlah negarawan tidak banyak.
Cara Paksa
Karena
dikedepankannya rakyat dalam kebijakan publik adalah wajib, pilihan kita tak
banyak. Politikus harus dipaksa memikirkan rakyat. Dalam demokrasi, ada dua
mekanisme paksa yang paling umum, pemilu dan tekanan publik.
Pemilu
sejatinya adalah mekanisme rakyat memberikan penghargaan atau hukuman kepada
politikus. Politikus yang memikirkan rakyat dipilih lagi.
Politikus yang memikirkan diri sendiri dipecat sebagai wakil rakyat. Tapi, mekanisme ini tidak selalu bisa berjalan. Sistem pemilu dan partai politik dapat menjadi penghalangnya.
Politikus yang memikirkan diri sendiri dipecat sebagai wakil rakyat. Tapi, mekanisme ini tidak selalu bisa berjalan. Sistem pemilu dan partai politik dapat menjadi penghalangnya.
Sistem
pemilu proporsional (PR system),
apalagi yang tertutup, terbukti membuat politikus lebih banyak terikat kepada
partai. Akibatnya, yang harus diutamakan politikus adalah kepentingan partai.
Dalam keadaan partai lebih banyak diwarnai kedaulatan penguasa partai, sulit
mengharapkan kepentingan partai mewakili kepentingan rakyat.
Menurut
sejumlah penelitian, selain lebih rumit, sistem pemilu proporsional juga lebih
rawan korupsi (Persson dkk, 2003). Sementara itu, sistem pemilu distrik, selain
lebih sederhana, juga cenderung kurang rawan korupsi. Siapa yang menang dalam
sebuah distrik, mi salnya, langsung diketahui begitu peng hitungan suara di
distrik selesai.
Sistem
pemilu distrik juga memungkinkan rakyat punya hubungan langsung dengan
politikus yang mereka pilih. Ketika sang politikus kembali lagi dalam pemilu
berikutnya, rakyat lebih mudah menentukan apakah dia perlu dihukum atau dipilih
kembali. Agar bisa dipilih lagi, tentu politikus terpaksa mengupayakan
kebijakan yang menguntungkan rakyat.
Maka,
harus diupayakan agar sistem yang memaksa politikus memikirkan rakyat
diterapkan. Setidaknya, dapat di kombinasikan dengan sistem yang sudah ada.
Tidak ada salahnya mencoba untuk sesuatu yang lebih baik. Tapi, ada tantangan
dalam mengupayakan sistem yang memaksa politikus memikirkan rakyat. Sistem itu
harus dibuat melalui proses legislasi. Itu berarti, politikus yang sekarang ada
di DPR yang harus membuatnya. Sulit untuk mengharapkan DPR secara sukarela
membuat sistem yang justru bersifat memaksa mereka sendiri.
Maka,
cara paksa yang kedua yang harus diupayakan oleh rakyat. Tekanan publik dapat
dilakukan melalui berbagai cara. Bisa lewat pembangunan pendapat publik di
koran, televisi, radio, media sosial, serta media lainnya. Cara lain adalah
melalui petisi kepada anggota DPR.
Belajar
dari keberhasilan rakyat mendesakkan perlunya undang-undang tentang keterbukaan
informasi publik, para aktivis gerakan rakyat dapat juga menyusun rancangan
sistem guna memaksa politikus memikirkan rakyat. Rancangan ini lalu diupayakan
agar diterima DPR. Masih ada pilihan lain. Kita dapat memaksa politikus memikirkan
rakyat melalui demonstrasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar