Rabu, 16 Mei 2012

Memaksa Politikus Pikirkan Rakyat


Memaksa Politikus Pikirkan Rakyat
Djayadi Hanan ;  Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina,
Kandidat Doktor Ilmu Politik
SUMBER :  REPUBLIKA, 15 Mei 2012


Politikus hanya memikirkan diri sendiri, egois. Politikus tak peduli rakyat. Itulah keluhan yang terus muncul atas perilaku poli tikus kita. Biasanya, keluhan ini disertai dengan saran, tepatnya harapan, agar politikus segera tobat dan berupaya memikirkan rakyat.

Tapi, rekor buruk terus ditorehkan politikus. Kasus korupsi dan moral terberitakan tiada henti. Lembaga wakil rakyat, tempat utama politikus, diganjar publik dengan persepsi sebagai salah satu lembaga terkorup. Adakah cara agar politikus memikirkan rakyat?

Mungkin ada dua cara, etis dan paksa. Cara etis mengharapkan politikus memiliki kualitas moral untuk memikirkan rakyat. Cara paksa menggunakan rekayasa kelembagaan agar politikus tak punya pilihan banyak.

Cara Etis

Menurut cara etis, yang menjadi politikus harus orang baik. Mereka adalah orang-orang terseleksi lewat partai politik dan atau lewat pemilu. Politikus adalah orang-orang yang memiliki komitmen untuk mengabdi, bukan mencari penghidupan. Mereka juga memiliki keterampilan yang cukup untuk membuat kebijakan yang menguntungkan rakyat.

Tapi, ada sejumlah masalah dengan cara etis. Ketika para individu yang baik berkumpul, belum tentu mereka mampu membuat kebijakan yang baik. Penelitian Riccardo Pelizzo dan Bernice Ang (2008) tentang peta etika para anggota DPR membuktikan hal tersebut. Menurut penelitian ini, para anggota DPR ternyata memiliki standar etika yang lebih tinggi dibanding anggota parlemen Inggris. Tingkat penolakan mereka terhadap korupsi dan perilaku buruk lainnya lebih tinggi. Tapi, kenyataannya, tingkat korupsi dan cacat perilaku anggota DPR dianggap lebih buruk.

Penyebabnya, kata Pelizzo dan Ang, ada dua. Di satu sisi, standar etis tiap individu ternyata tidak sama. Apa yang dianggap korupsi oleh sejumlah individu dianggap bukan korupsi oleh sejumlah individu yang lain. Di sisi lain, terdapat inkonsistensi dalam penerapan.

Individu yang mengatakan kepentingan publik harus diutamakan belum tentu menolak pergi studi banding yang dianggap masyarakat mubazir. Biasanya, inkonsistensi ini dibarengi dengan alasan bahwa publik salah persepsi. Alasan lain adalah karena media membesarbesarkannya.

Di samping itu, proses atau mekanisme yang menghubungkan antarindividu belum tentu baik. Misalnya, ada persepsi publik bahwa para anggota DPR itu bukan beradu argumen untuk membuat kebijakan demi rakyat. Mereka berkolusi untuk kepentingan masing-masing pribadi atau partai. Masalah lain, individu yang sukarela memikirkan rakyat itu dinamakan negarawan. Di manapun, jumlah negarawan tidak banyak.

Cara Paksa

Karena dikedepankannya rakyat dalam kebijakan publik adalah wajib, pilihan kita tak banyak. Politikus harus dipaksa memikirkan rakyat. Dalam demokrasi, ada dua mekanisme paksa yang paling umum, pemilu dan tekanan publik.

Pemilu sejatinya adalah mekanisme rakyat memberikan penghargaan atau hukuman kepada politikus. Politikus yang memikirkan rakyat dipilih lagi.
Politikus yang memikirkan diri sendiri dipecat sebagai wakil rakyat. Tapi, mekanisme ini tidak selalu bisa berjalan. Sistem pemilu dan partai politik dapat menjadi penghalangnya.

Sistem pemilu proporsional (PR system), apalagi yang tertutup, terbukti membuat politikus lebih banyak terikat kepada partai. Akibatnya, yang harus diutamakan politikus adalah kepentingan partai. Dalam keadaan partai lebih banyak diwarnai kedaulatan penguasa partai, sulit mengharapkan kepentingan partai mewakili kepentingan rakyat.

Menurut sejumlah penelitian, selain lebih rumit, sistem pemilu proporsional juga lebih rawan korupsi (Persson dkk, 2003). Sementara itu, sistem pemilu distrik, selain lebih sederhana, juga cenderung kurang rawan korupsi. Siapa yang menang dalam sebuah distrik, mi salnya, langsung diketahui begitu peng hitungan suara di distrik selesai.

Sistem pemilu distrik juga memungkinkan rakyat punya hubungan langsung dengan politikus yang mereka pilih. Ketika sang politikus kembali lagi dalam pemilu berikutnya, rakyat lebih mudah menentukan apakah dia perlu dihukum atau dipilih kembali. Agar bisa dipilih lagi, tentu politikus terpaksa mengupayakan kebijakan yang menguntungkan rakyat.

Maka, harus diupayakan agar sistem yang memaksa politikus memikirkan rakyat diterapkan. Setidaknya, dapat di kombinasikan dengan sistem yang sudah ada. Tidak ada salahnya mencoba untuk sesuatu yang lebih baik. Tapi, ada tantangan dalam mengupayakan sistem yang memaksa politikus memikirkan rakyat. Sistem itu harus dibuat melalui proses legislasi. Itu berarti, politikus yang sekarang ada di DPR yang harus membuatnya. Sulit untuk mengharapkan DPR secara sukarela membuat sistem yang justru bersifat memaksa mereka sendiri.

Maka, cara paksa yang kedua yang harus diupayakan oleh rakyat. Tekanan publik dapat dilakukan melalui berbagai cara. Bisa lewat pembangunan pendapat publik di koran, televisi, radio, media sosial, serta media lainnya. Cara lain adalah melalui petisi kepada anggota DPR.

Belajar dari keberhasilan rakyat mendesakkan perlunya undang-undang tentang keterbukaan informasi publik, para aktivis gerakan rakyat dapat juga menyusun rancangan sistem guna memaksa politikus memikirkan rakyat. Rancangan ini lalu diupayakan agar diterima DPR. Masih ada pilihan lain. Kita dapat memaksa politikus memikirkan rakyat melalui demonstrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar