Rabu, 02 Mei 2012

Kesejahteraan Jurnalis dalam Perburuhan

Kesejahteraan Jurnalis dalam Perburuhan
Agus Sudibyo, Anggota Dewan Pers
SUMBER : JAWA POS, 02 Mei 2012


''PERUSAHAAN pers wajib memberi upah kepada wartawan dan karyawannya sekurang-kurangnya sesuai dengan upah minimum provinsi minimal 13 kali setahun". Demikianlah bunyi pasal 8 Peraturan Dewan Pers No. 4/III/2008 tentang Standar Perusahaan Pers. Klausul ini merupakan jalan tengah setelah tiga asosiasi wartawan dan empat asosiasi perusahaan pers (AJI, PWI, IJTI, SPS, ATVSI, PRSSNI, ATVLI) berdebat panjang lebar tentang standar gaji untuk wartawan di Indonesia.

Layakkah upah ini? Jika kita bertolak dari fakta betapa strategis posisi pers dan wartawan (jurnalis) bagi kehidupan sosial-politik masyarakat Indonesia, jelas upah tersebut tidak masuk akal. Tak perlu diperdebatkan lagi betapa menentukan peran pers di negeri ini sebagai sarana persebaran informasi, komunikasi politik, kritik sosial, dan pendidikan kewargaan. Saat ini bangsa Indonesia berada pada era yang perdebatan tentang semua masalah publik memusat pada diskursus media. Media adalah ruang antara politik yang semua unsur bangsa bertemu, berdialog, dan berusaha membangun konsensus bersama.

Dalam konteks yang sama, tak perlu diragukan lagi ujung tombak dari perusahaan pers adalah para wartawan: reporter, fotografer, kamerawan, redaktur, editor, dan presenter. Kepada merekalah, media menggantungkan diri dalam memperoleh sumber yang kredibel, topik pemberitaan yang penting dan relevan, informasi yang akurat, serta sudut-pandang yang menarik. Singkat kata, kerja-kerja jurnalistik adalah kerja yang menuntut keterampilan, keahlian, pengalaman, juga intelektualitas.

Lebih dari itu, risiko yang dihadapi wartawan besar. Terlepas dari fakta masih banyaknya wartawan yang tidak profesional, para wartawan bekerja membantu masyarakat dalam mengontrol kekuasaan politik dan ekonomi. Dalam pemberantasan korupsi, dalam perlawanan terhadap penyelewengan maupun keserakahan para pemimpin politik dan pebisnis, tidak perlu diragukan lagi masyarakat sangat tergantung kepada keberanian para wartawan dalam menembus fakta dan mengangkatnya ke permukaan.

Konsekuensinya, banyak wartawan hidup dengan risiko menjadi sasaran intimidasi, teror, pemukulan, penusukan, bahkan hingga upaya penghilangan nyawa. Yang mereka hadapi sering adalah pejabat korup, politisi bermasalah, pengusaha hitam, preman suruhan, atau tukang pukul bayaran. Dengan risiko yang seperti ini, jelas para wartawan seharusnya mendapatkan upah lebih tinggi daripada buruh pabrik dan petugas cleaning service.

Namun, perlu dipahami bahwa "sekurang-kurangnya upah minimum provinsi untuk upah wartawan" itu adalah kompromi terbaik yang dapat diambil tujuh asosiasi jurnalis dan asosiasi perusahaan media di Indonesia pada tahun 2008. Kok bisa begitu? Sebab, saat itu banyak perusahaan media yang belum mapan, bahkan untuk mengupahi wartawannya dengan upah minimum provinsi pun tidak mampu.

Apa boleh buat, inilah ironi kemerdekaan pers di Indonesia sejauh ini. Bahwa kerja jurnalistik yang menuntut intelektualitas dan ketangguhan mental masih disamakan dengan kerja-kerja kasar yang berbasis kepada keandalan fisik semata.

Perlu digarisbawahi, sebagian wartawan yang hidup pas-pasan itu bekerja di perusahaan pers yang sebenarnya sudah dalam hitungan "makmur". Namun, kemakmuran itu, tampaknya, belum menetes kepada para wartawan. Di sini, ada ironi berikutnya. Kesejahteraan wartawan kurang diprioritaskan karena pebisnis media memperlakukan media massa pertama sebagai institusi bisnis, bukan institusi sosial. Karena itu, yang mereka anggap sebagai ujung tombak dari media massa adalah bagian pemasaran atau divisi iklan; bukan ruang redaksi (newsroom) dan para wartawan.

Upah bulanan bukan satu-satunya isu di sini. Para wartawan dituntut untuk bekerja keras oleh medianya, namun banyak di antara mereka yang tidak mendapatkan perlindungan memadai. Yakni, ketika mereka menjadi korban kekerasan atau menghadapi ancaman pemidanaan. Dengan risiko menjadi korban kekerasan dalam berbagai bentuknya, para wartawan kadang juga tidak dibekali dengan asuransi kesehatan dan keselamatan jiwa.

Serikat Pekerja Media

Persoalan berikutnya adalah status para wartawan. Jika status mereka adalah karyawan kontrak, berapa lama status ini akan ditingkatkan menjadi karyawan tetap? Bagaimana pula status para koresponden dan kontributor di daerah? Apa saja hak-hak yang diberikan kepada mereka? Jika mereka dibayar per berita yang dimuat atau disiarkan, apakah perusahaan media juga akan bertanggung jawab jika mereka mengalami kecelakaan saat proses liputan?

Dengan peta masalah seperti di atas, cukup bisa dipahami jika para wartawan belakang lebih intensif dalam menyuarakan perlunya pembentukan serikat pekerja media. Tak masalah, sejauh gagasan pembentukan serikat pekerja media ini tidak dilandasi oleh sentimen anti pemodal atau antiindustri. Yakni, menciptakan relasi industrial yang lebih adil, fair, dan manusiawi antara perusahaan media dan para wartawan.

Sebaliknya, para wartawan juga harus menyadari bahwa posisi yang diametral dan hubungan yang antagonistik terus-menerus dengan manajemen media juga tidak akan menguntungkan semua pihak, bahkan akan merugikan masyarakat. Para jurnalis harus dapat menetapkan standar kesejahteraan yang layak namun juga realistis dengan mempertimbangkan situasi bisnis media terkini. ●

1 komentar:

  1. Ironis memang, jurnalis ikut memperjuangkan kesejahteraan buruh, tapi banyak jurnalis yang hidupnya belum sejahtera.

    BalasHapus